Miris rasanya memperhatikan berita tentang banyaknya para pejabat negara (dan juga anggota dewan) yang terjerat kasus korupsi, lebih-lebih yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT). Sangat memalukan. Lebih memalukan lagi kadang-kadang kasus korupsi itu dilakukan secara berjamaah: bapak-anak, suami-istri, atau anggota keluarga dan saudara.

Meskipun berbagai aturan untuk meminimalisir kasus korupsi sudah dibuat sedemikian rupa, pengawasan juga dilakukan cukup ketat, dan hukuman penjara juga sudah diterapkan bagi para koruptor tetapi praktik korupsi tetap saja marak dari pusat hingga daerah dan para koruptor, baik yang kelas kakap maupun kelas ikan teri. Mereka seolah tak perah jera.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional VI tahun 2000, juga pernah mengeluarkan fatwa haram untuk kasus korupsi (ghulul) dan suap (risywah). Hal yang sama juga dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dan sejumlah ormas Islam lain. Tetapi sejumlah kepala daerah, pejabat, birokrat, dan elit politik Muslim tetap saja terjerat kasus korupsi.   

Menurut data dari Mahkamah Agung (MA), penanganan kasus korupsi menempati urutan kedua setelah kasus narkotik. Itu menunjukkan bahwa masalah korupsi memang masih menjadi masalah besar di Indonesia. Menurut catatan MA bukan hanya birokrat dan politisi saja yang terjerat masalah korupsi tetapi juga pejabat hukum itu sendiri (seperti hakim, jaksa dan lainnya).

Khusus untuk kepala daerah yang terlibat korupsi, Korupsi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut ada sebanyak 361 kepala daerah di Indonesia yang terlibat korupsi. Sementara Kementerian Dalam Negeri mencatat ada sekitar 343 bupati/walikota dan 18 gubernur yang tersangkut kasus korupsi. Itu data tahun 2016. Tahun 2017 lalu, menurut catatan KPK, ada 643 pejabat yang ditangkap KPK karena kasus korupsi. Itu baru kasus korupsi pejabat yang ditangani oleh KPK, belum lembaga hukum lain.

Dengan banyaknya kasus korupsi itu, sudah triliunan rupiah negara dirugikan. Selama kurun 2010–2014 saja, KPK mengklaim telah berhasil menyelamatkan keuangan negara dengan memberi kontribusi kepada negara sebesar 270 triliun kegiatan pencegahan korupsi.

Uang negara yang dikorupsi oleh segelintir pejabat negara dan elit politik itu kiranya lebih dari cukup untuk membiayai pendidikan dan kesehatan gratis serta membangun swasembada pangan demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di seluruh pelosok Indonesia.

***

Sulit untuk dinalar, kenapa birokrat, anggota dewan, pejabat pemerintah, atau pejabat publik yang sering disebut-sebut sebagai “abdi negara” atau “pelayan masyarakat” melakukan tindakan korupsi yang merugikan rakyat dan negara itu sendiri. Mereka bukannya menggunakan uang rakyat itu untuk membangun sarana dan prasarana dan berbagai fasilitas untuk kemajuan dan kemakmuran rakyat dan negara tetapi malah mengeruknya untuk dirinya sendiri, keluarga, atau kelompoknya.

Berbagai alasan dikemukakan kenapa pejabat negara atau pemerintah melakukan tindakan korupsi. Alasan klise yang sering dikemukakan adalah soal gaji pejabat yang kecil sehingga mendorong mereka untuk mencari tambahan penghasilan. Tetapi alasan ini sama sekali tidak valid karena banyak pejabat yang sudah kaya-raya tetapi tetap saja melakukan korupsi dan memupuk harta-benda.

Soal kecilnya gaji pejabat negara, kepala daerah, atau anggota dewan bukan hanya terjadi di Indonesia saja. Di banyak negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, atau negara-negara di Eropa, gaji mereka juga kecil, kalah jauh dengan pelatih dan pemain sepak bola dan jenis olah raga lain. Gaji mereka juga tidak seberapa bila dibandingkan dengan direktur sebuah perusahaan misalnya. Tetapi kenapa mereka jarang sekali terlibat skandal korupsi? Jangankan korupsi atau penyuapan dalam skala jumbo, praktik korupsi/penyuapan yang jumlahnya mini pun jarang sekali terjadi.

Ini menunjukkan bahwa praktik korupsi dan penyuapan yang marak di Indonesia itu bukan soal besar-kecilnya gaji melainkan soal watak, karakter, dan tabiat masing-masing individu pelaku tindakan korupsi itu yang memang penuh dengan keserakahan dan kerakusan, baik keserakahan akan harta-benda maupun kerakusan terhadap jabatan dan kekuasaan. Seketat apapun aturan dibuat dan seketat apapun pengawasan dilakukan tetapi para koruptor selalu pandai dan licin mencari celah untuk “menyalurkan hobi” korupsi.

Korupsi marak juga bisa jadi karena faktor ringannya hukuman bagi koruptor sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi para pelaku tindakan korupsi. Meski dihukum penjara, mereka masih menyimpan banyak uang dan harta benda hasil korupsi sehingga membuat para koruptor tidak pernah kapok melakukan aksi-aksi kejahatannya.

Faktor lain adalah tiadanya “hukuman sosial” dari publik masyarakat terhadap para koruptor. Di Jepang dan negara-negara maju lain seperti Salandia Baru, Denmark, Finlandia dan sebagainya korupsi dipandang sebagai sebuah “aib sosial” dan  kejahatan kemanusiaan yang sangat memalukan sehingga siapapun yang terjerat dan tertangkap atas kasus ini menundukkan kepala dan merasa malu karena bisa mencoreng nama baik dan martabat dirinya, keluarga dan kelompoknya.

Di Indonesia, pemandangan sebaliknya justru yang terjadi. Para koruptor bisa senyam-senyum dan tertawa riang gembira di hadapan awak media seolah mereka melakukan tindakan mulia dan bermartabat. Sama sekali tidak ada rasa malu secuilpun di wajah-wajah mereka. Hal itu bisa jadi karena korupsi bukan dipandang sebagai sebuah “aib sosial” dan masyarakat tidak menjatuhi sanki dan hukuman sosial berat kepada para koruptor.   

Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah soal pandangan sebagian masyarakat bahwa korupsi “bisa dimaafkan” dan “diampuni” Tuhan asal sebagian uang hasil korupsi itu didonasikan untuk kegiatan-kegiatan keagamaan, pembangunan tempat-tempat ibadah (masjid, gereja, dlsb), menyumbang institusi-institusi sosial, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan (sekolah, madrasah, pesantren, dlsb), membantu fakir-miskin dan yatim-piatu, dan lain-lain.

Bahkan ada persepsi publik yang menganggap tindakan korupsi bisa diampuni dengan melakukan ibadah individual dan menjalani ritual keagamaan seperti rajin sembahyang ke gereja, salat di masjid, ibadah umroh/haji, membaca kitab-kitab suci, atau dengan melafalkan ritual-ritual keagamaan tertentu. 

***

Menurut data dari Transparency International, Indonesia masih jauh dari kategori “negara bersih” dan bebas korupsi. Tingkat korupsi di negari ini masih sangat tinggi meskipun pemerintah dan lembaga-lembaga terkait yang menangani masalah korupsi seperti kepolisian, KPK, atau Pengadilan Tipikor sudah melakukan berbagai cara dan upaya untuk menangkap dan memenjarakan para koruptor serta mempersempit ruang gerak para pelaku kejahatan korupsi.

Tapi tugas pemberantasan masalah korupsi bukan hanya dibebankan kepada pemerintah dan lembaga terkait saja. Jika ke depan, Indonesia ingin maju dan bersih dari korupsi, maka masyarakat non-pemerintah pun seharusnya ikut berkontribusi dalam mengawasi kasus-kasus korupsi dan memberi sanksi dan hukuman sosial bagi para koruptor. Korupsi harus dihukumi sebagai kejahatan kemanusiaan yang buruk seperti kanker ganas yang bisa menggerogoti tubuh bangsa dan negara Indonesia.

Para tokoh agama juga harus berpartisipasi secara aktif untuk memberantas korupsi, bukan malah berpatron atau menjalin koalisi dengan para koruptor. Mereka harus aktif mengkhotbahkan di mimbar-mimbar keagamaan tentang bahaya korupsi bagi masyarakat, agama, bangsa dan negara. Para tokoh agama juga harus berani menyerukan korupsi sebagai tindakan “kejahatan keagamaan”, bukan hanya “kejahatan kemanusiaan”, yang akan mendapat sanksi berat dari Tuhan.  

Pemerintah juga perlu meningkatkan hukuman yang lebih keras lagi bagi para koruptor agar bisa menimbulkan efek jera. Hanya dengan memadukan strategi “tactical countercorruption” (menangkap, mengadili, memenjarakan, dan memiskinkan para koruptor) dan “strategic countercorruption” (seperti memberi sanksi dan hukuman sosial kepada para korupor, pendidikan antikorupsi, pemberdayaan warga masyarakat, menjadikan korupsi sebagai musuh agama, dan sebagainya), praktik dan “budaya korupsi” di Indonesia bisa dihilangkan atau minimal diminimalisir di kemudian hari. Semoga bermanfaat.    

Sumber : liputan6.com

Artikulli paraprakMenghindari Jebakan “Politik SARA” dalam Pilkada 2018
Artikulli tjetërCalling for “Islamic Protestantism” in Indonesia and Beyond: Towards Democratic and Pluralistic Islam
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.