Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), tahun 2018 ini akan digelar Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak di 171 daerah di seluruh Indonesia. Rinciannya adalah 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan melangsungkan “pesta demokrasi” untuk memilih kepala daerah.

Sebagai orang non-partisan, saya tidak begitu menghiraukan tentang dukung-mendukung pasangan calon (paslon) yang diusung partai politik (parpol) tertentu. Saya hanya melihat kualitas kandidat dan proses Pilkada tersebut. Jika kandidat yang maju saya nilai berkualitas, mumpuni, kredibel dan layak menjadi kepala daerah, maka pasti akan saya dukung secara moral-intelektual.

Saya tidak peduli parpol apapun yang mengusungnya, apapun etnis dan agama paslon. Bagiku ukurannya adalah kualitas, kredibilitas, dan kemampuan menjadi pemimpin politik-pemerintahan, bukan masalah agama, etnis, ormas atau parpol.  

Sebaliknya, jika paslon yang berlaga saya nilai tidak berkualitas, tidak mumpuni, tidak kredibel, dan tidak layak menjadi pemimpin daerah, maka saya pun ikut mengkritiknya.

Tak peduli parpol apa yang mengusungnya, tak peduli paslon itu dari ormas, agama dan etnis mana. Bagiku semua itu tidak penting karena dalam konteks ini kita sedang memilih pemimpin politik-pemerintahan, bukan memilihi pemimpin ritual-keagamaan.  

Begitu pula, jika prosesi pemilihan kepala daerah tersebut berlangsung dengan sehat, fair dan beradab tanpa ada bumbu “politik SARA” (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan), saya pun akan ikut mendukung proses demokrasi tersebut.

Tetapi jika ada kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara tidak sehat, tidak fair, tak beradab, dan memakai “politik SARA” untuk memenangkan paslon idola mereka dan menghancurkan paslon lain, maka saya akan bersuara lantang melawan mereka seperti yang saya lakukan dalam Pilkada Jakarta tahun 2017 lalu.

***

Sependek pengetahuanku, proses Pilkada Jakarta 2017 adalah yang terburuk dalam sejarah Pilkada di Indonesia. Terburuk karena ada sejumlah kelompok tertentu (bisnis, politik dan agama) yang dengan gigih menggunakan, memainkan, dan mengembangkan politik SARA yang sangat memalukan dan memuakkan demi memenangkan paslon idola mereka.

Bagaimanapun, politik SARA di Pilkada Jakarta telah merusak basis pluralisme sipil, sendi-sendi kebangsaan dan bangunan kenegaraan yang sudah dibangun dengan susah payah oleh para pendiri Republik tercinta ini.

Cukuplah Jakarta yang menjadi “tumbal politik” Pilkada. Jangan sampai itu terulang kembali di daerah-daerah lain di Indonesia. Dan alhamdulilah, dari 101 yang menggelar Pilkada serentak tahun 2017, saya perhatikan politik SARA hanya terjadi di Jakarta.

Dalam Pilkada serentak 2018 ini, saya berharap parpol, paslon dan semua lapisan masyarakat semakin dewasa dan demokrat dalam menjalani proses demokrasi ini. Kesuksesan sebuah “pesta” demokrasi bukan hanya diukur dari hasil atau output saja, melainkan juga dari proses dan mekanisme dalam menjalankan demokrasi itu.

Penjelasan dan peringatan ini penting mengingat banyak sekali kelompok masyarakat yang, atas nama demokrasi, kemudian mengembangkan cara, strategi, taktik, mekanisme dan proses-proses politik yang justru berlawanan dengan spirit atau ruh demokrasi itu sendiri. Politik SARA adalah salah satu jenis perilaku politik yang bisa “mengubur” spirit demokrasi itu.  

Oleh karena itu menjadi tanggung jawab semua lapisan masyarakat, baik elit maupun wong cilik, untuk menjaga jalannya proses Pilkada serentak tahun 2018 ini jangan sampai politik SARA yang terjadi di Pilkada Jakarta terjadi lagi di daerah-daerah lain.

Masyarakat juga perlu mewaspadai sekaligus menghalau sejumlah individu dan kelompok sektarian, baik yang berbasis politik, etnis maupun agama, yang masih mencoba menggunakan dan membangkitkan politik SARA demi mengegolkan paslon yang mereka usung.   

Pula, masyarakat harus turut menjaga jangan sampai tempat-tempat ibadah dijadikan sebagai ajang kampanye paslon tertentu dan medium untuk mendiskreditkan paslon lain. Masjid, musala, gereja, kuil dan sebagainya hendaknya bebas atau steril dari aktivitas politik praktis sektarian yang bisa memecah-belah harmoni sosial dan kerukunan masyarakat.

Masyarakat juga harus waspada terhadap sejumlah tokoh politik, agama dan masyarakat yang mencoba memolitisir dan memprovokasi isu-isu SARA demi kemenangan paslon tertentu.

Para tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh politik seharusnya menciptakan dan membangun kultur masyarakat yang santun, sehat, beradab, toleran dan pluralis, bukan malah berpartisipasi dalam aktivitas kepolitikan dan keagamaan yang jauh dari nilai-nilai keadaban, moralitas, toleransi dan pluralisme.

***

Indonesia adalah “rumah bersama” berbagai kelompok agama, suku, etnis, ras, dan golongan. Republik ini merupakan buah perjuangan berbagai kelompok masyarakat, bukan hanya Muslim saja, bukan hanya orang Jawa saja.

Muslim, Katolik, Protestan, Hindu, Buda, Konghucu, serta berbagai agama dan kepercayaan lokal di Nusantara turut berkontribusi pada pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Demikian pula, orang Jawa, Melayu, Betawi, Sunda, Bali, Batak, Aceh, Ambon, Manado, Makassar, Dayak, Madura, Arab, Tionghoa, dan sebagainya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu turut menyumbangkan darah, harta, pikiran dan tenaga demi lahirnya republik tercinta ini.

Sebagai rumah bersama, maka sejatinya tidak ada “mayoritas” dan “minoritas” di negeri ini. Semua memiliki tanggung jawab, kewajiban, tugas dan hak-hak sipil yang sama sebagai warga negara yang dijamin oleh Konstitusi. Masing-masing kelompok suku dan agama di Indonesia berkewajiban untuk memelihara, merawat, dan melestarikan “rumah bersama” ini dari ancaman kelompok-kelompok rasis dan etnosentris yang ingin merusak fondasi negara-bangsa ini.     

Politik SARA, baik dalam konteks Pilkada maupun dalam kehidupan sosial sehari-hari, hanya akan membawa keburukan dan kerusakan “rumah bersama” bernama Indonesia ini di kemudian hari.

Saya berharap Pilkada serentak tahun ini berjalan dengan santun, jurdil, beradab, dan steril dari isu-isu SARA. Saya sangat berharap paslon beserta parpol pengusung berlomba-lomba menyajikan rancangan atau desain program-program kerja terbaiknya untuk memajukan daerah mereka masing-masing, bukan berlomba-lomba menggunakan cara-cara kerdil dan biadab seperti memelintir isu-isu SARA atau berlomba-lomba memprovokasi masa dan menghujat lawan politik mereka. Semoga bermanfaat.         

Sumber : liputan6.com

Artikulli paraprakPublic Islam in Southeast Asia: Late Modernity, Resurgent Religion, and Muslim Politics
Artikulli tjetërPejabat Negara Kok Korupsi?
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.