Salah satu prestasi yang membanggakan dari proses pemilu yang berlangsung di Indonesia sejak 5 April (Pemilu legislatif), 5 Juli (Pilpres I) dan 20 September 2004 (Pilpres II) adalah berlangsungnya proses pemilihan umum yang demokratis, bebas, terbuka dan damai. Berbagai prediksi yang mengatakan bahwa pemilu langsung akan menimbulkan anarki karena ketidaksiapan rakyat dalam berdemokrasi juga tidak terbukti. Berlangsungnya proses pemilu yang demokratis dan damai ini merupakan barang langka khususnya di kawasan negara berbasis Islam.
Jika kita mengamati berbagai negara berbasis Islam di dunia ini sebagian besar masih hidup di bawah sistem politik otoriter dan represif. Dalam konteks seperti ini, maka pemilu yang melibatkan partisipasi publik rakyat persis batu mulia yang amat langka. Regulasi kekuasaan ditentukan (tepatnya dikendalikan) oleh segelintir elite penguasa (baik sipil maupun militer) yang menguasai sebuah negara/kerajaan Islam.
Kalaupun ada pemilu yang diselenggarakan di dunia Islam, biasanya terjadi dalam tiga kemungkinan. Pertama, di bawah ancaman kekuasaan militer yang selalu siap membatalkan hasil pemilu yang kurang menguntungkan kepentingan kaum tentara seperti tampak dalam kasus Turki dan Aljazair.
Kedua, di bawah bayang-bayang kaum mullah atau wilayatul faqih seperti dalam kasus Iran. Meskipun di negeri ini, dalam pemilu beberapa tahun lalu mengantarkan figur reformis, Khattami ke kursi presiden namun bukan jaminan bahwa regulasi kepolitikan dan kenegaraan bisa berjalan dalam frame demokrasi karena masih kuatnya otoritas kaum mullah dalam mengendalikan kekuasaan dan menentukan policy pemerintahan. Ketiga, pemilu berlangsung di bawah kekuasaan politik yang semi-otoriter dan represif seperti di Malaysia. Negara tetangga kita ini sering dijadikan sebagai acuan/barometer negara muslim yang demokratis di bidang politik.
Tetapi jika kita amati lebih seksama yang terjadi di negeri jiran ini adalah “pseudo-democracy” (demokrasi semu atau “demokrasi seolah-olah”). Sebab demokrasi yang mengandaikan kebebasan partisipasi sipil tanpa memandang gender dan ideologi keagamaan tidak terjadi di sini. Sejak 1974, pemilu didominasi oleh Barisan Nasional (BN) yang merupakan front bersama dari 12 partai politik. UMNO (United Malays National Union) adalah penyokong terbesar di BN.
Sebagai partai penguasa, BN telah menguasai infrastruktur, dana, jaringan dan media sehingga mampu mengontrol konstituen sekaligus digunakan untuk menggembosi partai politik saingannya, yakni Partai Islam Se Malaysia (PAS), Democratic Action Party (DAP) dan terakhir Partai Keadilan yang didirikan oleh Wan Azizah, istri Anwar Ibrahim yang tersingkir.
Bukan rahasia lagi jika partai “berbasis dan berideologi Islam” di negeri ini dipangkas akses kekuasaan politiknya. Padahal dalam sebuah sistem demokrasi harus menghargai segala aspirasi politik rakyat meskipun barangkali bertentangan dengan ideologi kelompok mainstream. Ini mengingatkan kita pada kekuasaan Orde Baru yang menjadikan partai diluar Golkar sebagai “pelengkap penderita.”
Pelajaran Berharga
Apa yang kita saksikan dalam tiga tahapan pemilu di Indonesia belakangan ini sungguh merupakan pelajaran yang sangat berharga khususnya bagi negara-negara berbasis Islam. Kita menyaksikan pemilu yang berlangsung dalam suasana yang “relatif” bebas dari ketiga tekanan di atas: militer, kaum agamawan dan elite sipil. Tentu peristiwa politik ini patut mendapatkan perhatian khusus dari umat Islam bukan saja di Indonesia tetapi juga di dunia Islam pada umumnya. Karena itu tidak terlalu meleset jika belum lama ini sejumlah politisi Iraq melakukan studi banding Pemilu di negeri ini untuk mencari input buat negaranya yang akan menggelar Pemilu Januari mendatang.
Mereka, al, Gevara Youkhana dari Gerakan Demokratik Assyiria, Mahdi Jaber Mahdi dari Partai Komunis Iraq dan Muhammad Abdul Kader dari Uni Patriotik Kurdistan. Situasi kepolitikan Indonesia yang merupakan transisi dari pemerintahan otoriter ke demokrasi dinilai memiliki kesamaan dengan Iraq saat ini
Selama ini, di antara umat Islam telah terjadi diskusi yang begitu panas seputar kompatibilitas atau kesesuaian antara Islam dan demokrasi. Ada kubu “rejeksionis” yang menolak demokrasi karena dianggap produk sekularisme dan liberalisme Barat, dan karena itu tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Kubu ini misalnya diekspresikan oleh sejumlah “fundamentalis” dan fanatikus Islam yang selama ini gembar-gembor mengkampanyekan Islam sebagai ideologi negara. Di pihak lain, ada kelompok “akomodasionis” yang menerima demokrasi karena berpandangan dalam segi-segi tertentu Islam dan demokrasi memiliki titik-titik temu khususnya dari segi filosofi dasar.
Misalnya, sebagaimana demokrasi, Islam juga mengembangkan prinsip-prinsip universal yang sering disebut al-mabadi al-khams seperti syura atau musyawarah dalam penyelenggaraan kepentingan umum, keadilan (‘adalah), persamaan (musawwah), solidaritas sosial (ta’awun) dan kebebasan / kemerdekaan (hurriyah).
Islam juga menolak kekuasaan tanpa batas—dengan demikian juga menolak segala bentuk despotisme—sebagaimana yang dianut dalam sistem demokrasi. Hanya saja ada pertanyaan mendasar yang susah dijawab oleh kelompok “akomodasionis” ini, yakni jika Islam memang sesuai dengan demokrasi, mana buktinya? Mengapa negara-negara Islam umumnya hidup di bawah sistem otoriter yang jauh dari prinsip-prinsip demokrasi? Nah, pemilu di negara kita yang berlangsung tahun ini merupakan bukti empiris bahwa Islam dan demokrasi bukan dua hal yang bersifat antitesis atau berlawanan.
Ada beberapa hal menarik yang patut kita catat dalam proses pemilihan umum baik pemilu legislatif maupun pilpres yang berlangsung di negeri ini. Pertama, tidak lakunya partai politik maupun pasangan capres/cawapres yang menjadikan Islam / syari’at Islam sebagai “ideologi dasar” dan alat kampanye.
Gagalnya Partai Bulan Bintang dalam mencapai electoral threshold maupun kempesnya suara untuk pasangan Hamzah-Agum pada Pilpres putaran pertama menunjukkan bahwa rakyat Indonesia (yang 89% muslim ini) tidak menghendaki bentuk formal Islam dalam praktek penyelenggaraan kepolitikan negara. Kita tahu baik PBB maupun Hamzah selalu mencitrakan diri sebagai partai politik dan figur yang “islami.” Ini adalah fakta empiris yang tak terbantahkan.
Kaum muslim di Indonesia ternyata tidak terpengaruh oleh simbol-simbol formal Islam melainkan lebih menghendaki pada “substansi” atau nilai-nilai universal dari Islam itu sendiri yang memperjuangkan keadilan, kemakmuran, kebebasan dan semacamnya. Formalitas Islam hanyalah “unsur komplemen” saja sementara prinsip universal Islam dijadikan sebagai “unsur utama” dalam kognisi publik muslim Indonesia.
Ini adalah fakta yang menggembirakan sekaligus menjadi “peringatan” bagi kalangan fundamentalis yang sering mengatasnamakan umat Islam untuk memaksakan kehendak politiknya dalam memperjuangkan formalisasi syariat maupun ideologisasi Islam. Bagaimanapun “Islam formal” tidak bisa dipaksakan untuk diterapkan di Indonesia yang multikultural, multietnis dan multiagama ini.
Kedua, Pilpres (hampir dipastikan) telah mengantarkan pasangan SBY-JK sebagai presiden dan wakil presiden. Pasangan ini berhasil meraup lebih dari 60% pemilih. Ini berarti bahwa pasangan ini telah dipilih oleh konstituen dari berbagai partai politik. Ini memperlihatkan bahwa pola pilih dalam pemilu presiden sekarang ini lebih cenderung bersifat individual ketimbang kolektif. Di sini, fatwa kiai, imbauan partai atau ormas, atau pengaruh kharismatis tokoh-tokoh masyarakat hanyalah salah satu dari sekian faktor yang menentukan pilihan konstituen. Bahkan fatwa kiai maupun “koalisi kebangsaan” tidak lagi mempan membendung hasrat rakyat untuk menentukan pilihan politik berdasarkan “hati nuraninya.”
Masyarakat makin cenderung berperilaku sebagai “individu” ketimbang sebagai anggota dalam kolektivitas besar (partai, ormas dan lainnya). Saya memandang hal ini sebagai proses menuju “pematangan” atau “pendewasaan politik” rakyat.
Dalam jangka panjang, proses ini sangat positif dalam kerangka penguatan organisasi sosial seperti NU atau Muhammadiyah agar tidak menjadi “mangsa” yang diperebutkan kekuatan-kekuatan politik. Sebab, jika pematangan ini berlangsung secara progresif di masa mendatang pilihan warga tidak semata-mata ditentukan oleh fatwa kiai atau instruksi elite keagamaan melainkan oleh kalkulasi mereka sendiri sebagai subjek yang otonom. Hal di atas merupakan “kapital budaya” (modal kultural) yang sangat kita butuhkan untuk memperkukuh landasan kultural bagi demokrasi di negeri kita.
Menuju Demokrasi Substansial
Sudah tentu, ini semua baru bab pembuka atau “pengantar” bagi proses demokratisasi pada level yang lebih substansial di masa datang. Apa yang sedang kita jalani sekarang ini barulah pada proses demokratisasi pada level prosedural (ini istilah Ulil Abshar) yang harus diteruskan lagi pada level yang lebih mendasar: demokrasi substansial, yakni terwujudnya nilai-nilai demokrasi seperti keadilan, kebebasan, persamaan dan prinsip-prinsip universal kemanusiaan lain dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada tahap ini, maka dibutuhkan pengawalan ekstra ketat dari semua komponen masyarakat dan institusi publik lain (LSM, ormas, media) agar rezim terpilih tidak melenceng dari prinsip demokrasi. Sebab tidak jarang, pemilu yang berlangsung demokratis, di kemudian hari justru melahirkan pemerintahan yang otoriter dan represif. Tentu kita tidak menginginkan pemilu yang menghabiskan banyak dana, tenaga dan pikiran ini justru menghasilkan para pemimpin dan elite politik yang tiran, otoriter, represif dan korup.