Indonesia, seperti kita tahu, adalah sebuah negeri plural yang dihuni beragam etnis, suku dan agama. Saya kira tidak ada negara di dunia ini yang memiliki tingkat pluralitas seperti Indonesia. Kemajemukan negara ini tidak hanya dari aspek suku, ras, etnis, dan agama saja tetapi juga dari aspek bahasa, seni, dan budaya. Seperti dicatat linguis James Sneddon (2004), Indonesia yang memiliki 17.508 pulau dan negara terbesar keempat di dunia dengan jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa ini mempunyai lebih dari 550 bahasa etnis, yakni sekitar 1/10 dari semua bahasa yang ada di muka bumi ini.
Data-data kuantitatif-sosiologis tentang Indonesia yang majemuk ini jelas tidak tertandingi oleh negara-bangsa manapun di dunia ini dalam hal “kualitas pluralitas.” Kebanyakan negara di muka bumi ini hanya dihuni oleh segelintir kelompok etnis (kecuali beberapa negara Afrika seperti Sudan yang sangat plural). Atau jika ada negara yang memiliki tingkat kemajemukan tinggi seperti Amerika itu disebabkan oleh intensitas dan arus migrasi yang begitu tinggi yang datang dari berbagai negara.
Amerika memang disebut-sebut sebagai “melting pot”—tempat perjumpaan berbagai kelompok etnis dan agama. Mereka datang ke negara ini dengan berbagai alasan: dari alasan mencari suaka aman (bagi para korban perang dan kekerasan politik dan agama seperti suku Kurdi, Syi’ah, Pasthun, dlsb.) sampai alasan untuk “mengais rejeki” (misalnya kelompok Latinos yang datang dari berbagai negara di Amerika Tengah dan Selatan).
Berbeda dengan Amerika yang menjadi plural karena faktor influx migrasi berbagai “ethnic group” dari beragam bangsa dan negara yang berlangsung terutama sejak abad ke-20, Indonesia menjadi “negeri plural” karena memang sejak dahulu kala dihuni oleh berbagai kelompok etnis dan suku-bangsa. Catatan dari para sejarawan terkemuka seperti Anthony Reid, Dennys Lombard, dan M.C. Ricklefs menunjukkan bahwa sudah sejak zaman pra-modern, Indonesia (dulu “Nusantara”) sudah menjadi “masyarakat plural” yang dihuni oleh tidak hanya penduduk lokal yang beraneka ragam etnis tetapi juga suku-bangsa dari berbagai negara: China, Persia, Bangladesh, Gujarat, India, Arab/Timur Tengah, dan masih banyak lagi.
Oleh karena itu sangatlah tepat, arif, dan bijak jika para founding fathers bangsa ini merumuskan motto Indonesia: Bhineka Tunggal Ika (“Beragam Tapi Satu” atau “Kesatuan dalam Keragaman”). Motto ini tidak hanya berisi cerminan atau refleski atas fakta-fakta sejarah dan sosiologis kemajemukan bangsa dan masyarakat Indonesia seperti digambarkan di atas. Akan tetapi juga berisi sebuah harapan untuk generasi dan anak bangsa yang memimpin dan mendiami negeri ini—siapapun mereka, apapun agama mereka, dan darimanapun etnis mereka—agar menjaga kesatuan (keesaan) dan integritas masyarakat yang beraneka ragam yang mendiami teritori bernama Indonesia ini. Dengan kata lain, menjaga keesaan masyarakat plural adalah tanggung jawab bersama semua “anak negeri” termasuk komunitas Gereja tentunya.
Penegasan ini penting mengingat dewasa ini, khususnya pasca tumbangnya Orde Baru, gerakan-gerakan keagamaan baik yang bersifat lokal maupun trans-nasional yang sangat militan, puritan, konservatif, dan radikal sangat marak di Indonesia. Kelompok “Islam ekstrim”dan kaum puritan agama ini meskipun jenis organisasi, platform, afiliasi politik, dan aliran keagamaan mereka berbeda-beda (dari aliran neo-Wahabi sampai neo-Salafi, dari “sekedar” memperjuangkan syari’at sampai pendirian khilafah Islam, dari yang pro-PKS sampai anti-PKS dan seterusnya) tetapi mereka memiliki spirit dan semangat yang kurang lebih sama: anti-pluralisme, kontra non-Muslim, dan memusuhi ide-ide demokrasi yang mereka anggap “tidak islami” dan produk “kebudayaan kafir”.
Pada masa Orde Baru, kelompok-kelompok Islam militan ini “tiarap” atau hengkang ke negara-negara lain (seperti kasus Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar yang kabur dan bersembunyi di Malaysia) karena memang Suharto tidak memberi ruang sedikitpun buat mereka untuk bergerak (kecuali di akhir kekuasaanya di mana ia “menghidupkan” dan membentuk organisasi Islam militan untuk menandingi sayap moderat Islam yang menuntut penggulingan Suharto dari kursi kepresidenan). Setelah Orba tumbang, mereka pun bak cendawan di musim hujan, dan tumbuh subur terutama di kota-kota.
Didorong oleh “nafsu” untuk mengislamkan atau “memperjuangkan” Islam sebagai kekuatan ideologi dan sistem politik, atau membuat kelompok agama tertentu supaya menjalankan pemahaman dan praktek keagamaan seperti yang mereka lakukan, kelompok “Islam ekstrim” dan kaum puritan agama ini sering kali “campur tangan” terhadap pemikiran, pemahaman, dan praktek keagamaan kelompok lain yang mereka anggap “belum lurus.” Pada gilirannya kelompok ini jelas mengancam keutuhan dan pluralitas bangsa dan masyarakat. Pula, karena wataknya yang anti-pluralisme, kelompok radikal agama ini jelas membahayakan sistem, struktur dan tatanan kenegaraan dan kebangsaan yang dibangun di atas, atau didasarkan pada, premis-premis kemajemukan.
Terhadap kelompok ekstrimis agama ini, semua kaum beriman—umat Kristen tak terkecuali—harus berani melakukan “jihad kolektif” lintas-agama dan budaya. Tentu saja kata “jihad” disini bukan berarti melakukan serangkaian tindakan kekerasan fisik seperti pengeboman sebagaimana dilakukan kaum teroris atau pemaksaan, pembakaran, pengusiran, dan pengrusakan seperti yang dilakukan secara konsisten oleh FPI, FUI, dan kelompok agama sejenis. Jihad yang dimaksud disini adalah usaha keras tanpa kenal lelah untuk melakukan “pencerahan” terhadap kelompok-kelompok keagamaan ini dengan jalan dialog yang sehat, santun, dan beradab baik melalui tulisan-tulisan akademik maupun forum-forum diskusi ilmiah yang bermuara pada pentingnya sikap keberagamaan yang humanis-pluralis dan toleran-inklusif.
Jihad melawan ektrimis agama ini juga bisa diekspresikan melalui demonstrasi damai lintas budaya dan agama, sit-in, penyebaran pamflet, statemen bersama, dan masih banyak lagi termasuk upaya-upaya informal (“jalan belakang”) guna menyelesaikan konflik dan ketegangan kelompok yang bertikai. “Jihad pluralis” juga bisa dilakukan di forum-forum keagamaan yang selama ini menjadi medium umat beragama untuk berkumpul sekaligus menyebarkan wawasan keagamaan. Karena perbedaan adalah sebuah “rahmat” (blessing) maka janganlah perbedaan itu kita sikapi dengan jalan kekerasan. Apapun bentuknya. Melawan tindakan kekerasan dengan kekerasan bukanlah penyelesaian terbaik dalam teori-teori “resolusi konflik” dan peacebuilding.
Di Harian Kompas (20 Februari 2010), saya pernah menulis tentang pentingnya “jihad pluralis” untuk melawan kelompok “ekstremis agama”, khususnya kaum Islamis yang mengusung panji-panji Pan-Islamisme dan Pan-Arabisme. Ada beberapa alasan fundamental kenapa umat beragama perlu—dan harus—berjihad melawan mereka.
Pertama, tindakan keagamaan mereka yang menggunakan cara-cara kekerasan (baik “kekerasan fisik” maupun “kekerasan kultural”) dalam setiap penyelesaian masalah, jelas membahayakan perdamaian dan keamaan global (peace and global security) antar dan inter umat beragama serta mengancam eksistensi hak-hak dasar manusia, terutama hak-hak untuk beragama dan berkeyakinan.
Dalam konteks politik yang lebih luas, tindakan kekerasan ini berpotensi kuat menciptakan destabilitas bangsa dan negara. Dalam konteks ekonomi, aksi-aksi kekerasan ini juga membawa dampak buruk bagi perkembangan dunia usaha yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat dan warga negara. Sulit bagi pengusaha atau pebisnis untuk menanam investasi dan modal di negeri kita jika situasi keamaan masih belum terjamin dengan baik.
Kedua, alasan yang tidak kalah pentingnya mengapa kita harus berjihad melawan kelompok ekstrimis agama, khususnya kelompok “Islam ekstrim” di negeri ini adalah karena Indonesia adalah negara majemuk yang didalamnya tinggal dan hidup berbagai kelompok etnis, agama dan kepercayaan yang masing-masing mempunyai sistem spiritual, simbol, pemahaman, kepercayaan, ajaran, ritual, dan tradisi keagamaan yang berlainan. Watak kelompok “ekstrimis agama” termasuk kaum Islamis-konservatif yang anti-pluralitas dan pluralisme ini jelas akan mengancam sendi-sendi “nation building” yang dibangun dengan susah payah oleh para pendiri bangsa di atas fondasi kemajemukan.
Perlu ditegaskan kembali bahwa negara yang bernama “Indonesia” ini adalah hasil dari jerih payah semua elemen bangsa dari berbagai agama dan kepercayaan. Dengan kata lain, kelompok “Islam ekstrim” dan konservatif yang marak pasca rontoknya Orba yang selalu memaksakan keyakinan dan pemahaman keagamaannya untuk diterapkan di negeri yang berdasar pada Pancasila ini jelas akan mengancam eksistensi kewarganegaraan (citizenship), kaum minoritas (baik minoritas etnis maupun agama) serta karakter pluralitas bangsa itu sendiri.
Sebagai sebuah ideologi dan dasar negara, Pancasila sudah sangat ideal dengan karakter bangsa Indonesia yang majemuk karena Pancasila berwatak flexible dan merangkul semua komponen bangsa: Muslim-non-Muslim, Jawa-non-Jawa dan seterusnya. Karena itu NU tidaklah salah ketika memutuskan untuk mempertahankan Pancasila sebagai landasan fundamental berbangsa dan bernegara.
Berdasar latar belakang inilah, maka semua elemen bangsa—termasuk umat Gerejawi—harus menindak tegas bahkan bila perlu pemerintah harus berani menghukumi “makar” terhadap setiap upaya dan gerakan untuk mengganti Pancasila dengan ideologi tertentu (misalnya ideologi Islam seperti diusung HTI dan kelompok “Islamis” lain). Pula, pemerintah dan semua komponen bangsa dan elemen masyarakat harus bersikap tegas dan berani melawan terhadap berbagai gerakan dan tindakan kekerasan yang bermuara pada anti pluralitas seperti yang sering kita saksikan di negeri ini. Disinilah, antara lain, Gereja harus banyak berperan mengingat pemikiran dan gerakan “mereka” tidak hanya mengancam pluralitas keberagamaan saja tetapi lebih jauh mengancam sendi-sendi kenegaraan dan kebangsaan.
Penting saya tegaskan disini bahwa kelompok anti-pluralitas dan pluralisme yang membahayakan eksistensi masyarakat plural ini tidak hanya “kaum Islamis” saja melainkan juga kelompok militan-konservatif lainnya tak terkecuali kaum puritan Kristen yang memiliki semangat “evangelisme sempit” serta pemikiran dan ideologi puritanisme yang sangat dangkal.
Dalam beberapa kasus “kekerasan agama” di Indonesia dewasa ini (lihat survei The Wahid Institute di http://wahidinstitute.org) konflik, ketegangan, dan kekerasan sering terjadi antara kelompok “militan Islam” dengan “kaum puritan” Kristen. Oleh karena itu sebagai institusi keagamaan yang sangat penting dan salah satu pilar utama “civil society”, Gereja harus terlibat aktif membaur dengan komunitas lain yang memiliki visi dan missi untuk memperjuangkan dan mempertahankan pluralitas dan pluralisme.
Secara spesifik, sebagai wadah Gereja-Gereja Protestan di Indonesia sekaligus sebagai bagian dari “civic organization”, PGI harus berani tampil di garda depan guna mengibarkan “bendera perlawanan” terhadap kelompok “ekstremis-militan agama” dan kaum konservatif-puritan demi terwujudnya kehidupan keberagamaan dan kebangsaan yang damai dan toleran-pluralis yang menghargai perbedaan dan kemajemukan. Gereja tidak boleh “eksklusif” hanya mengurusi umat Kristen saja tetapi harus “go public” menyapa seluruh umat manusia tanpa kecuali.
Disinilah maka kata “jemaat” hendaknya tidak dipahami secara eksklusif sebagai hanya “jemaat Kristus” saja tetapi juga umat beragama lain. “Domba-domba Allah” bukanlah hanya mereka yang mengimani ketuhanan Yesus saja tetapi juga mereka yang tidak mempercayai Tuhan sekalipun. Gereja tidak hanya sebuah “bangunan fisik” dengan menara dan lonceng saja melainkan dunia ini pada hakekatnya adalah sebuah “gereja”. Karena itu jadikanlah alam semesta ini sebagai lahan dan medium untuk berdedikasi dan beribadah sesuai dengan semangat Yesus yang peaceful, nir-kekerasan, dan penuh cinta-kasih kepada sesama manusia. Hanya dengan spirit dan visi seperti inilah saya kira yang mampu membuat Yesus tersenyum bangga dengan para pengikut-Nya.