Pernyataan Jusuf Kalla bahwa untuk mencegah aksi terorisme pemerintah akan mengawasi dan membatasi ruang gerak pesantren memang layak mendapat kritik. Setidaknya ada dua alasan mendasar kenapa pernyataan itu pantas dikritik.
Pertama, pernyataan itu akan menimbulkan stigma buruk pada dunia Islam dan pesantren. Sebab di balik pernyataan itu ada asumsi bahwa “pesantren (dan Islam) merupakan sumber dan sarang terorisme”—sebuah pengkambinghitaman yang sangat konyol. Secara tidak langsung pemerintah menganggap pesantren sebagai “pemasok teroris” sehingga keberadaannya harus “diinteli”. Memang ada para pelaku pengeboman seperti Imam Samudra, Amrozi, Ali Imron, dll yang merupakan jebolan pesantren, akan tetapi itu menjadi tanggung jawab pribadi mereka masing-masing bukan pesantren sebagai institusi pendidikan Islam. Dengan kata lain, meskipun ada beberapa pelaku pengeboman yang merupakan bekas santri tetapi kita tidak bisa meng-“gebyah uyah” (menggeneralisir) bahwa pesantren adalah sumber terorisme. Pernyataan itu sungguh patut disesali apalagi keluar dari seorang Wapres yang katanya salah satu tokoh Islam itu.
Kedua, proposisi Wapres itu juga layak dikritik ramai-ramai karena pernyataan itu berpotensi memunculkan otoritarianisme baru seperti yang dulu pernah dilakukan Orde Baru (OB). Dalam beberapa kesempatan, Wapres yang pedagang ini memang melontarkan pernyataan bahwa untuk menanggulangi maraknya aksi terorisme, pemerintah akan menggunakan cara-cara keras seperti yang dilakukan OB termasuk mengawasi segala aktivitas keislaman. Kita masih ingat pada zaman “almarhum” OB dulu, pemerintah—dengan dalih menjaga keamanan dan ketertiban—mengadakan program “waskat” (pengawasan melekat”) sampai ke dusun-dusun.
Para kiai, ustadz, khatib, mubaligh/dai dan penceramah agama harus mempunyai izin (baca, SIM: Surat Izin Mubaligh). Kegiatan keislaman seperti pengajian juga harus mengantongi izin dari pihak kepolisian. Jangan harap para dai dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) atau para dai kritis waktu itu mendapatkan izin mengisi pengajian. Gambaran otoritarianisme OB itu segera terulang kembali jika pemerintah merealisasikan pernyataan sang Wapres. Indikasi ke arah sana sebenarnya sudah ada, misalnya dengan dibukanya (kembali) koter (komando teritorial) dan babinsa. Alasannya kurang lebih sama, yakni untuk mengantisipasi merebaknya terorisme. Belakangan juga ada kabar 10 anggota Jama’ah Tabligh (JT) yang sedang menggelar pengajian rutin ditangkap dan diinterogasi polisi di Banyuwangi. Apa artinya ini?. “Orba-nisasi” sudah terbayang di depan mata.
Saya menganggap pernyataan Wapres itu sebagai “statement orang kebingungan” karena sampai saat ini polisi belum bisa mengidentifikasi para pelaku bom bunuh diri (suicide bombing) dan menangkap otak bom Bali II. Polisi juga gagal menangkap buron dr. Azhari dan Noordin M. Top yang disebut-sebut sebagai “master mind” sejumlah aksi pengeboman di Indonesia. Akhirnya dicarilah “kambing hitam”. Seperti kata pepatah “buruk muka cermin dibelah”. Begitulah pemerintah saat ini, gagal menangkap aktor pengeboman, kelompok lain yang disalahkan. Celakanya yang dijadikan kambing hitam adalah pesantren dan Islam. Padahal kita masih ingat, dulu waktu kampanye JK mengatakan dengan tegas tidak ada hubungannya antara Islam dan terorisme. Untuk menarik simpati masyarakat pesantren, JK (juga SBY) juga keluar-masuk ke kantong-kantong pesantren. Tetapi kenapa dia sekarang (seolah) menuding pesantren (dan Islam) sebagai sumber terorisme?
Memang tidak bisa dipungkiri ada kitab-kitab keislaman yang ditulis para intelektual Islam modern seperti Sayyid Qutub, Sa’id Hawa, Muhammad Qutub, dll, yang bernada profokatif dan mengandung semangat kebencian terhadap Barat, tepatnya kaum “salibis” (Kristen) dan “zionis” (Yahudi). Kitab-kitab yang ditulis para ideolog dan aktivis Ikhwanul Muslimin (IM) ini sering dijadikan sebagai rujukan intelektual sekaligus “basis dan legitimasi teologis” oleh kaum teroris muslim untuk melakukan penghancuran terhadap Barat dengan segala ikonnya.
Gembong teroris kelas wahid, Usamah Bin Ladin (Osama Ben Laden) misalnya, dalam sebuah wawancara sebelum tragedy 11 September 2001 yang memilukan itu mengakui bahwa kitab “Fi Dhilal al-Qur’an” karya Sayyid Qutub, seorang ideolog IM, merupakan bacaan yang paling mempengaruhi dirinya. Sayyid Qutub adalah tokoh IM yang merumuskan Islam sebagai ideologi negara. Dia jugalah yang menafsirkan kata “jihad” sebagai “offensive teaching” dalam bentuk perang, pengeboman, dan tindakan penyerangan lain. Padahal jihad sebetulnya adalah, meminjam istilah Gamal Albana, “bukanlah bagaimana mati di jalan Allah melainkan bagaimana kita hidup di jalan-Nya”.
Selain Sayyid Qutub, karya-karya Muhammad Qutub juga sering dijadikan sebagai “bacaan wajib” kaum fundamentalis yang sering merusak properti modern. Misalnya saja yang populer kitab “Jahiliyyah fi Qarn al-‘Isyriin” (“Jahiliyah Abad 20). Dalam kitab ini dijelaskan bahwa produk-produk modernitas Barat dianggap sebagai “berhala modern” yang harus dihancurkan. Karena itu tidak heran kenapa kaum fundamentalis muslim menolak keras wacana pluralisme, feminisme, demokrasi, dll karena dipandang sebagai ikon dunia Barat yang “kafir”.
Saya tidak tahu persis apakah kitab-kitab tersebut juga diajarkan di beberapa pesantren di Indonesia. Kalaupun ada pesantren yang mengajarkan kitab-kitab itu, kita tetap saja tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan kekerasan, misalnya, dengan menutup dan memberhentikan izin pesantren tersebut dan membubarkan para santri dan pengasuh. Meskipun ada banyak buku-buku keislaman yang profokatif dan berpotensi menumbuhkan spirit terorisme akan tetapi tetap saja kita tidak dibenarkan untuk memusnahkan dan membakar karya-karya intelektual.
Apalah artinya memberantas kemungkaran jika dilakukan dengan cara-cara munkar? Memberantas kemaksiatan dengan cara-cara maksiat? Termasuk kategori mungkar adalah apabila kita mengawasi, membatasi, menyeleksi segala aktivitas keislaman. Pemerintah baru dibolehkan melakukan “eksekusi” apabila sudah dibuktikan melalui pengadilan bahwa pesantren itu memang terbukti melanggar hukum karena terlibat aksi kejahatan kemanusiaan seperti terorisme. Jika tidak, dengan dalih apapun, negara/pemerintah tidak mempunyai wewenang sedikitpun untuk mengintervensi masalah keagamaan.
Hal lain yang harus diingat terorisme adalah masalah yang sangat kompleks. Ada banyak faktor yang memicu munculnya aksi terorisme dari masalah sosial-politik, hukum, ekonomi sampai agama. Anggapan bahwa hanya agamalah yang menjadi sumber terorisme adalah tuduhan yang “sesat dan menyesatkan”. Karena itu JK hendaknya segera mengoreksi pernyataannya sekaligus meminta maaf pada publik Islam dan kalangan pesantren khususnya atas pernyataan yang menyakitkan hati mereka.
Yang dilakukan pemerintah sekarang ini seharusnya segera menangkap pelaku dan otak pengeboman kemudian divonis seberat-beratnya termasuk menggelandang dan menghukum para aktivis kelompok Islam tertentu yang sering melakukan tindakan oligarkis dan vandalistic yang jelas-jelas merupakan bagian dari tindakan terorisme yang mengganggu ketertiban, keamanan, dan kenyamanan masyarakat, bukan malah mencari kambing hitam sana-sini.
Selain itu, pemerintah juga harus meningkatkan kinerja para intelijen dan polisi yang sering salah tangkap itu, supaya bisa bekerja lebih profesional. Dan satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya adalah perbaikan di bidang politik-hukum-ekonomi. Tanpa melakukan pembenahan-pembenahan tadi terorisme tidak akan pernah berhenti dari muka bumi ini. []