Salah satu topik yang menjadi perdebatan hangat saat ini adalah tentang rencana pemerintah untuk mengimpor tenaga pengajar perguruan tinggi (dosen). Menteri Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengatakan bahwa agar perguruan tinggi (PT) atau pendidikan secara umum di Tanah Air masuk reputasi atau “kelas dunia”, Indonesia setidaknya membutuhkan sekitar 200 dosen asing.

Kata Menristek Dikti, salah satu indikator untuk mengukur reputasi pendidikan sebuah negara di tingkat internasional adalah staff mobility, yaitu sejauh mana mobilitas dosen asing yang mengajar di negara tersebut dan juga sebaliknya: sejauhmana dosen negara tersebut yang mengajar di Luar Negeri.

Tetapi bukan itu saja yang membuat Indonesia dirasa perlu mengimpor dosen asing. Salah satu faktor krusial lain, menurut Menteri Nasir, adalah minimnya dosen dalam negeri yang berkualitas dunia atau bertaraf internasional. Jumlah dosen di Indonesia diperkirakan sekitar 277.000 yang 5.400 di antara mereka bergelar “profesor” (Guru Besar). Itupun sedikit sekali profesor yang berkelas dunia. 

Pemerintah sendiri sudah menerbitkan sebuah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk menjembatani atau mengfasilitasi upaya perekrutan dosen-dosen dari Luar Negeri agar mengajar dan riset di kampus-kampus Indonesia.

Menteri Nasir juga menandaskan bahwa Indonesia memang membutuhkan dosen asing (tentu saja dosen asing yang berkualitas) karena perguruan tinggi di Tanah Air yang jumlahnya lumayan banyak (sekitar 4.500). Meskipun idealnya Indonesia membutuhkan lebih dari 1.000 tenaga pengajar asing, Kemenristek Dikti tahun ini hanya mampu menganggarkan 200 dosen saja, khususnya dosen-dosen di bidang sains dan teknologi, termasuk matematika, ilmu perikanan, dan pertanian.

Sementara ini konon hanya ada 30 orang saja dosen asing yang mengajar di perguruan tinggi di Indonesia, khususnya dari Jepang, Australia, Korea Selatan, atau Amerika. Itupun status mereka hanya sebatas sebagai “dosen tamu” (visiting professor).

Sebagian besar para dosen asing yang di Indonesia ini digaji melalui teaching fellowship dari negara mereka masing-masing atau sebagai bagian dari program pertukaran atau kerja sama antara perguruan tinggi di Indonesia dan mancanegara. Melalui Perpres ini, tenaga pengajar asing akan digaji penuh oleh pemerintah Indonesia yang konon sekitar 65 juta per bulan plus berbagai fasilitas lain.

Dalam implementasinya, masing-masing perguruan tinggi di Indonesia boleh mengusulkan nama-nama dosen asing untuk didatangkan dan mengajar, nanti pemerintah yang akan mengevaluasi dan menilai layak-tidaknya mereka didatangkan.  

***

Seperti biasa, kebijakan mengimpor dosen asing ini menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Ada yang setuju tapi ada pula yang keberatan dengan gagasan, wacana, dan kebijakan ini.

Ada sejumlah alasan dan argumen kenapa mereka keberatan dengan kebijakan pemerintah ini, antara lain, (1) tentang jarak gaji yang sangat timpang antara “dosen lokal” dan “dosen asing” yang dikhawatirkan dan berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial, (2) perekrutan tenaga pengajar asing dipandang bisa mengancam eksistensi dosen-dosen lokal, dan (3) problem wawasan kebangsaan para dosen asing.

Para pengkritik juga menyarankan kepada pemerintah agar lebih mengfokuskan untuk mengoptimalkan potensi para tenaga pengajar lokal, terlebih mereka yang didikan dari kampus-kampus ternama di Luar Negeri, ketimbang mengimpor dosen yang belum tentu memiliki kualitas yang baik.

Saya sendiri berpendapat bahwa keputusan pemerintah untuk mengimpor dosen asing itu sudah tepat. Jika perguruan tinggi di Indonesia ingin maju dan memiliki reputasi akademik berkelas internasional, maka mau tidak mau mereka harus banyak berbenah dan melakukan banyak perubahan dan terobosan penting, antara lain melalui pengaturan mekanisme perekrutan dosen yang bermutu dan produktif dalam riset, konferensi, dan publikasi akademik dari negara manapun.

Tentu saja jika ada dosen berkualitas dari Tanah Air, mereka perlu diprioritaskan. Tetapi jika tidak ada atau kekurangan stok dosen yang bagus, maka tidak ada salahnya jika pemerintah menjaring atau mengimpor dosen-dosen berkualitas dari mancanegara demi kemajuan pendidikan dalam negeri.   

***

Mekanisme, kebijakan, dan pola perekrutan dosen-dosen berkelas dari berbagai negara itu sudah lama dilakukan oleh berbagai negara maju di dunia ini sehingga membuat kampus-kampus mereka mentereng dan berkibar-kibar ke seantero dunia. Dalam hal ini, Indonesia sebetulnya sudah sangat terlambat dengan negara-negara lain.

Negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia dan berbagai negara di Eropa Barat, bahkan Jepang, Korea Selatan, China, Hongkong, Singapura, dan Malaysia sudah lama menerapkan mekanisme perekrutan model ini. Di negara-negara Arab Teluk seperti Saudi, Qatar, Kuwait, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, atau di kawasan Arab lain seperti Libanon yang memiliki kampus-kampus bagus juga sudah lama menerapkan kebijakan model ini. Di berbagai “negara baru” di Asia Tengah juga sedang gencar melakukan perekrutan dosen asing guna membantu memajukan perguruan tinggi mereka.

Bahkan harus diakui, yang membuat reputasi kampus-kampus di banyak negara, termasuk Arab Teluk, menjadi mentereng karena kontribusi dari para “dosen/peneliti ekspat” (tenaga pengajar/periset asing) ini.

Di kampus-kampus di negara-negara di Eropa Barat, Arab Teluk, dan Singapura bahkan banyak para dosennya yang lebih dari 70% berasal dari mancanegara. Kampus-kampus bagus dan berkualitas umumnya tidak memperdulikan dari negara mana para pelamar dosen berasal. Mereka hanya fokus pada kualitas aplikan dosen, bukan nasionalitas mereka.

***

Selama ini, harus diakui, mekanisme perekrutan dosen di berbagai perguruan tinggi di Indonesia itu belum bermutu karena masih mengandalkan semangat perkoncoan, nepotisme, dan jaringan alumni, selain faktor-faktor politik-keagamaan tertentu. Sependek pengetahuan saya, hanya Sampoerna University yang membuka peluang pendaftaran para aplikan dari Luar Negeri untuk ikut berkompetisi dalam penjaringan dosen.

Sementara, kampus-kampus lain masih menerapkan pola-pola feodal. Sangat disayangkan kampus-kampus besar di Indonesia masih menerapkan mekanisme perekrutan yang tidak bermutu dan profesional, misalnya mereka hanya mau merekrut atau mempertimbangkan untuk dijadikan sebagai dosen kalau si pelamar itu adalah alumnus dari perguruan tinggi tersebut.

Padahal, kampus-kampus bagus di Luar Negeri berlomba-lomba merekrut dosen-dosen hebat alumnus dari kampus-kampus lain, sambil mendorong para alumninya untuk melamar di kampus-kampus lain. Sementara kampus-kampus di Indonesia justru melakukan sebaliknya. Hampir-hampir susah menjadi tenaga pengajar di sebuah kampus besar jika ia bukan alumnus dari kampus tersebut.      

Sudah saatnya di era globalisasi ini dunia pendidikan perguruan tinggi di Indonesia harus membuka diri dan mengikuti model perekrutan terbuka kepada siapa saja dari negara mana saja. Tentu saja semua itu harus dilakukan secara profesional, dengan lebih mempertimbangkan pada kualitas aplikan karena tidak semua dosen luar negeri itu bermutu dan berkualitas, dalam pengertian memiliki reputasi dan rekam jejak mengajar yang baik, riset yang mumpuni, dan publikasi akademik yang memadai. Artinya, pemerintah dan perguruan tinggi harus tetap selektif dalam menjaring para tenaga pengajar asing.

Dengan adanya para dosen asing yang berkualitas tidak perlu membuat para dosen lokal minder. Justru seharusnya bisa dijadikan sebagai momentum untuk untuk bekerja sama dan saling belajar dan berbagai pengalaman tentang sistem mengajar yang efektif, metode dan proses riset yang baik dan ilmiah, serta penulisan karya-karya akademik yang berkualitas internasional. Semoga bermanfaat.  

Sumber : liputan6.com

Artikulli paraprakCatholics, Muslims, and Global Politics in Southeast Asia
Artikulli tjetërThe Tao of Islam: Cheng Ho and the Legacy of Chinese Muslims in Pre-Modern Java
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.