Tanggal 9 Maret 2005, Jaringan Islam Liberal (JIL) genap berusia 4 tahun, sebuah usia yang relatif belia untuk mengukur sebuah capaian prestasi. Untuk memperingati kelahirannya yang ke-4, sejak Februari, JIL telah mengadakan serangkaian kegiatan seperti SWOT, pameran buku, roundtable discussion sampai pemutaran berbagai film yang bernuansa kritik agama seperti Osama, The Magdalene Sister, Monsieur Ibrahim, The Afghan Alphabet, Flying to the Heaven, the Believer dll. Di antara kegiatan JIL yang sangat penting adalah SWOT yang diadakan akhir Februari lalu di Bogor. Dalam pertemuan yang dihadiri para pionir dan mentor JIL ini (saya diundang sebagai “peninjau” bersama Fathi Aris Omar, aktivis-intelektual dari Malaysia), telah dibahas beberapa agenda penting mengenai strategic planning JIL ke depan, di samping tentu saja sebagai ajang evaluasi dan kritik internal JIL sejak dideklarasikan 4 tahun silam.
Kritik atas JIL
Walau belum cukup dewasa sebagai sebuah gerakan, JIL secara bertubi-tubi telah mendapatkan kritik dan sorotan amat tajam dari pelbagai pihak. Pandangan-pandangan keagamaan yang liberal, pluralis, humanis dan demokratis yang disiarkan JIL lewat berbagai media (seminar, talk show, tulisan dll) kerap menimbulkan resistensi dari para tokoh agama, bukan hanya kelompok fundamentalis-radikal saja tetapi juga oleh ulama yang dikenal moderat. Oleh mereka, JIL dianggap (dituduh) telah menciptakan keresahan di tengah masyarakat muslim, melakukan kegiatan yang bermuara pada pendangkalan akidah, penghinaan agama Islam beserta doktrin-doktrin keislaman dan semacamnya.
Sudah banyak buku yang ditulis khusus untuk mendiskreditkan JIL seperti Bahaya Islam Liberal yang ditulis Hartono Ahmad Jaiz, seorang mantan wartawan, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal (Adnin Armas), Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya (Adian Husaini) dan lain-lain. Ini belum termasuk berbagai tulisan di media massa.
Tidak hanya kaum agamawan yang mengkritik JIL, para aktivis-intelektual juga banyak yang melontarkan kritik tajam pada komunitas yang dikoordinatori Ulil Abshar-Abdalla ini. Jika para agamawan mengkritik JIL lebih banyak karena faktor “teologis” maka kaum aktivis intelektual mengkritik JIL lebih pada platform, visi, misi, dan agenda gerakan JIL. Masdar Farid Mas’udi misalnya, mengkritik JIL karena dianggap terlalu banyak menekankan pada aspek wacana dan persoalan “remeh-temeh” keislaman lain (jilbab, jenggot, cadar dll) ketimbang pada persoalan kebutuhan dasar yang dihadapi umat Islam seperti pengangguran, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan lain-lain. Atas dasar ini, maka Masdar membentuk Jaringan Islam Emansipatoris yang tujuan utamanya adalah mendialogkan Islam dengan problem real yang dihadapi umat tadi.
Ada juga kaum aktivis intelektual seperti Bisri Effendy, Ahmad Baso dan “jaringan Islam postra” mengkritik JIL karena dianggap mengabaikan tradisi lokal yang begitu melimpah di Indonesia. Menurut mereka, tradisi, kultur dan kebudayaan lokal adalah bagian dari local wisdom (“kearifan lokal”) yang sudah semestinya harus ditempatkan secara proporsional dalam wacana keislaman. Tradisi lokal—termasuk Islam lokal atau agama lokal lain—harus dibela sebab banyak kelompok keislaman yang “atas nama pemurnian ajaran Islam” kemudian melakukan tindakan pemaksaan teologis kepada mereka. Hal ini bertentangan dengan wawasan inklusif dan watak demokratis yang dikembangkan Islam.
Selain dua kelompok di atas, ada lagi para aktivis-intelektual (terutama mazhab Jogja dengan LKiS sebagai “sponsor utama” dan dalam hal tertentu keislaman yang dikembangkan The Wahid Institute) yang mengkritik JIL karena dipandang terlalu “ke-Barat-Barat-an,” corong modernisme, mengembangkan wawasan sekularisme, kapitalisme global dan lain-lain. Menurut mereka, wajah Islam yang mestinya ditampilkan adalah “Islam Kiri” sebagai kritik atas hegemoni kebudayaan Barat yang mencengkram di hampir semua kawasan Islam bukan malah “berlindung” di balik jubah modernisme Barat.
Dan masih banyak lagi kritikan yang dialamatkan ke JIL.
Fenomena ini sekaligus menepis anggapan Prof. Abu Su’ud (SM, 4/3), yang menganggap JIL ini sebagai wadah anak muda NU liberal. Harap diketahui, mungkin hanya 20% para aktivis JIL yang berlatar belakang NU, selebihnya adalah para aktivis-intelektual Islam modernis yang tidak ada hubungannya dengan NU. Mereka tergabung dalam “sindikat JIL” karena memiliki wawasan dan semangat yang sama untuk membangun peradaban Islam yang gemilang di masa depan sekaligus mengikis gerakan fundamentalisme agama yang menyesatkan. Selain itu, para aktivis-intelektual NU—meskipun berpandangan “liberal”—tidak mesti tergabung dalam sindikat JIL, sebab mereka mempunyai wadah sendiri-sendiri seperti Jaringan Islam Emansipatoris (JIE), Post-Tradisionalisme, Islam Kiri dan lain-lain. Dalam beberapa kesempatan, kaum muda NU ini berdebat sengit mengenai agenda gerakan keislaman dan corak keislaman yang sesuai dengan semangat zaman dan tidak jarang di antara mereka terjadi perbedaan yang sangat tajam.
Dinamika Pemikiran
Sesungguhnya fenomena di atas sangat lumrah dan wajar. Hal itu merupakan bagian dari dinamika sejarah pemikiran manusia. Di manapun dan kapan pun, sebuah pemikiran yang “menyimpang” dari mainstream akan selalu mendapatkan resistensi dari kelompok lain. Itu tidak hanya terjadi dalam sejarah Islam saja tetapi juga dalam sejarah agama-agama dan bahkan sejarah ideologi di dunia ini. Dalam menyikapi berbagai kritik (maupun fatwa sesat ulama/kiai), JIL hendaknya tidak reaksioner dan membalas dengan “kekerasan” yang sama melainkan melalui diskusi akademik-ilmiah yang sangat demokratis dan terbuka. Ini perlu saya tekankan di sini mengingat ada beberapa aktivis JIL yang ingin melawan (tepatnya membalas) sikap kasar dan vandalistic yang dilakukan para aktivis Islam fundamentalis-radikal terhadap JIL.
Sebagai sebuah arus pemikiran baru, maka sangat wajar jika kehadiran JIL menimbulkan banyak kritik. Sepanjang kritik itu masih proporsional, akademik dan ilmiah, maka harus disikapi secara positif. Dunia, kata Abdul Karim Soroush—seorang intelektual publik terkemuka Iran, seperti sebuah pasar, tempat tukar-menukar ide dan gagasan. Dunia adalah “pasar bebas ide” (free market ideas) di mana setiap orang boleh bertransaksi dengan bermacam pendapat dan pikiran asalkan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah melalui metode-metode keilmuan. Haram hukumnya sebuah tindakan pelarangan terhadap sebuah pemikiran yang bebas, otonom, independen dan merdeka. Jika dalam Islam, tuak diharamkan karena dikhawatirkan bisa merusak akal sehat dan pikiran manusia, maka perbuatan atau tindakan orang atau kelompok keagamaan yang membelenggu sebuah pemikiran jelas lebih diharamkan.
Atas dasar pemikiran ini, maka berbagai faksi pemikiran yang terjadi antar aktivis-intelektual (diluar Islam fundamentalis) di atas hendaknya jangan sampai mengarah pada kecaman saling memboikot dan menyudutkan satu sama lain. Sebagai sebuah NGO pemikiran dan gerakan Islam, masing-masing memiliki “keunikan” dan karakteristik sendiri-sendiri. Justru seharusnya mereka saling melengkapi untuk membendung laju/arus fundamentalisme Islam yang semakin menguat.
Kelompok yang mengkritik JIL hanyalah “NGO wacana” tidak melakukan tindakan nyata di masyarakat, tidak menyadari bahwa “tindakan lahir dari sebuah pemikiran”. Pikiran yang sehat akan melahirkan perbuatan yang sehat dan sebaliknya pikiran yang kotor akan melahirkan tindakan jahat. Fundamentalisme radikal yang melakukan sejumlah tindakan dehuman: teror, bom, membunuh, merusak dll pada dasarnya lahir dari pikiran yang tidak sehat, yakni menganggap komunitas di luar Islam sebagai kafir dan sesat serta menganggap kelompok keislaman di luar mereka sebagai “menyimpang” dan “salah jalan”. Inilah yang diutamakan JIL: melakukan restorasi pemikiran! Dari sini diharapkan akan melahirkan suatu pemikiran keislaman yang jernih, humanistic, inklusif dan demokratis sehingga akan melahirkan sebuah tindakan keislaman yang ramah terhadap yang lain, menghargai human rights dan civil rights, terbuka terhadap keberagaman dan sebagainya.
Mewaspadai JIL
Satu hal yang harus dicermati oleh para penggiat JIL adalah jangan sampai arus atau model pemikiran yang dikembangkan mengarah pada bentuk konservatisme baru. Ingatlah sejarah Protestantisme. Awalnya, mazhab agama ini bersikap sangat liberal dan kritis terhadap dogma-dogma Katolik. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, justru di dalam Protestan itulah tumbuh subur sekte-sekte keagamaan yang sangat eksklusif, konservatif dan fundamentalis (meskipun ada faksi liberal dalam Protestan seperti yang dikembangkan mazhab Graduate Theological Union, Berkeley). Mengapa bisa terjadi? Di samping faktor politik, mereka berpegang kukuh dan meyakini akan kebenaran tafsir baru kekristenan mereka.
Ke depan, JIL harus “mewaspadai” fenomena ini. Meskipun mengembangkan model atau jenis pemikiran baru keislaman yang berlawanan dengan model kelompok fundamentalis, jangan sampai tafsir pemikiran baru itu diyakini. Produk pemikiran tetaplah relatif sehingga tidak bisa dimutlakkan. Ketika JIL sudah memutlakan sebuah corak pemikiran keislaman yang dikembangkan, maka disitulah mulai muncul benih-benih konservatisme dan fundamentalisme sehingga harus dilawan!