Beranda Opinion Bahasa Mengikis Rasialisme Anti-Tionghoa

Mengikis Rasialisme Anti-Tionghoa

1051
0

Pada suatu saat, saya pernah diundang oleh Pusat Analisa Ketahanan dan Kepatriotan Indonesia (PATRIA) Jakarta dalam sebuah acara bertajuk “Dialog Kebangsaan Nasionalisme WNI Etnis Tionghoa”. Selain saya, juga tampil Pak Ryamrizard Ryacudu, Kwik Kian Gie, dan KH Said Aqiel Siradj.

Menurut panitia penyelenggara, “Dialog Kebangsaan” ini dimaksudkan untuk mengenang peristiwa Mei 1998 yang tragis itu. Kenapa Mei perlu dikenang? Kita tahu, pada medio Mei 1998, di negeri tercinta ini telah terjadi sebuah tragedi kemanusiaan yang memilukan: penjarahan, pembakaran, pembunuhan dan pemerkosaan. Celakanya, yang menjadi sasaran amuk massa dan pemerkosaan—lagi-lagi—adalah warga Tionghoa. Itulah sebabnya, peristiwa Mei pada hakekatnya adalah kerusuhan terhadap etnis Tionghoa—sebuah bentuk rasialisme.

Saat itu, kemarahan massa yang sulit dikendalikan mencari pelampiasan pada simbol-simbol tertentu. Jika simbolisasi gerakan perubahan politik adalah suksesi atas kepemimpinan nasional dan perubahan struktur politik, maka simbolisasi perubahan sosial-ekonomi adalah penyederhanaan pada satu sasaran, yaitu menyerang simbol-simbol dominasi kekuatan ekonomi etnis Tionghoa.

Pelampiasan yang dilakukan secara anarkis dan keji itu, menyimpan sejuta residu peristiwa yang tak akan bisa dilupakan dengan mudah. Simpul-simpul dan konsentrasi kerusuhan memang telah mencair tetapi memori dan akar peristiwa sampai sekarang tidak bisa dikatakan menghilang, seakan ada energi negatif yang siap menerkam ketenangan setiap saat mengingat perubahan sosial yang dikehendaki belum mengalami kemajuan yang berarti. Sepanjang tatanan sosial-politik dan hukum masih rapuh dan ekonomi masih merosot, maka ancaman terhadap Tionghoa masih terus berlanjut di negeri ini. Sepanjang Pancasila yang menjunjung tinggi pluralitas dan kebangsaan itu belum dihayati secara tulus oleh masyarakat, maka Tionghoa akan tetap menjadi “target operasi” massa yang kalap.

Saya sendiri menilai, peristiwa Mei 1998 hanyalah “buah” dari politik diskriminasi dan segregasi sosial/politik yang diterapkan rezim selama ini sejak kolonial Belanda dan puncaknya pada masa Orde Baru ketika orang-orang Tionghoa hanya diposisikan sebagai sapi (perah), kambing (hitam) dan kelinci (percobaan). Harap dicatat, peristiwa Mei 1998 bukanlah awal dari konflik rasialisme anti Tionghoa di negeri ini. Sudah puluhan kali konflik serupa pernah meledak di negeri yang kemudian bernama “Indonesia” ini. Pada saat Perang Jawa (1825-1830) juga terjadi pembantaian terhadap Tionghoa. Kemudian, rasialisme anti-Tionghoa juga terjadi di Solo, pusat kapital, produksi dan perdagangan batik.

Empat tahun kemudian, 1916, rasialisme anti-Tionghoa meletus di Kudus seperti ditulis Tan Boen Kim dalam Peroesoehan di Koedoes (1918). Setelah bangsa ini merdeka, tepatnya pada masa Orde Lama, juga terjadi lagi pembunuhan massal terhadap etnis Tionghoa masing-masing pada tahun 1946-1948 dan peristiwa rasialis Mei 1963 yang merupakan side effect dari PP No. 10 Tahun 1960 yang diskriminatif itu. Dan pada masa Orde Baru, Tionghoa mengalami puncak penderitaan. Sejak mereka dituding berada di balik layar PKI, kampanye dan pengganyangan anti-Tionghoa terus dilakukan. Ethnic cleansing atas Tionghoa ini tidak hanya dalam pengertian fisik saja tetapi juga pemusnahan segala hal yang berbau Tionghoa termasuk kebudayaan dan tradisi agamanya. Ini adalah bagian dari ironi dan sejarah gelap bangsa Indonesia. 

Jika kita melacak sejarah bangsa ini, maka akan segera tahu bahwa rasialisme anti-Tionghoa terbesar dan pertama kali terjadi pada tahun 1740, sebuah peristiwa yang kemudian dikenal dengan Chineezenmoord (“Pembantaian orang-orang China”) di Batavia. Pada saat itu lebih dari 10.000 nyawa orang China melayang.

Banyak sejarawan menduga otak dari genocide (“pembersihan etnis”) ini adalah VOC karena China dianggap sebagai pesaing strategis dalam bidang perekonomian. Kita tahu, bangsa Tionghoa pada saat itu menguasai di hampir semua sektor perdagangan. Para syahbandar (penguasa pelabuhan) banyak dikuasai Tionghoa. Orang-orang Tionghoa juga banyak yang menduduki jabatan sebagai adipati dan elite kerajaan. Hal ini karena jalinan/relasi Jawa-Tionghoa sudah dibangun sejak klasik jauh sebelum kolonial Belanda datang ke negeri ini. Jan Risconi telah menguraikan cukup baik peristiwa 1740 ini dalam disertasinya Sja’ir Kompeni Welanda Berperang dengan Tjina (1935).

Setelah peristiwa 1740 itu, VOC mengeluarkan sebuah keputusan yang disebut passenstelsel, yaitu keharusan bagi setiap orang Tionghoa untuk mempunyai surat jalan khusus apabila hendak bepergian ke luar distrik tempat mereka tinggal. Dengan adanya surat jalan ini, VOC dapat mengawasi aktivitas sosial Tionghoa, mencegah percampuran budaya (untuk memelihara perbedaan ala rasisme) dan mencegah interaksi sosil-politik-ekonomi mereka dengan penduduk lain.

Selain passenstelsel, VOC juga mengeluarkan peraturan yang disebut wijkenstelsel. Peraturan ini melarang orang Tionghoa untuk tinggal di tengah kota dan mengharuskan Tionghoa untuk membangun satu ghetto yang kemudian dikenal dengan “Pecinan” sebagai tempat tinggal. Tujuan peraturan ini jelas untuk mengisolasi dan memutus kontak Tionghoa dengan penduduk lain. Inilah yang saya sebut dengan politik segregasi.

Politik model inilah yang di-“foto copy” pemerintah Orde Baru selama berkuasa sehingga kita menyaksikan orang-orang Tionghoa ini seperti orang asing di rumahnya sendiri. Berbagai macam peraturan baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Surat Keputusan Kabinet dibuat untuk memberikan pagar pembatas agar jurang perbedaan antara Tionghoa dan etnis lain tetap terpelihara dengan baik. Setidaknya ada sekitar 21 peraturan perundang-undangan yang rasis diterapkan oleh pemerintah Soeharto terhadap Tionghoa.

Bahkan dulu dibuat satu badan intelijen khusus yang bertugas mengawasi masalah China, namanya Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC)—suatu penamaan yang mengesankan bahwa keberadaan Tionghoa di Indonesia memang merupakan masalah. Sampai sekarang BKMC ini belum dibubarkan karena itu setiap saat, jika situasi sosial-politik di negeri ini memungkinkan, bisa diaktifkan kembali. Anehnya, perlakuan diskriminatif ini tidak berlaku bagi “etnis asing” lain seperti Arab atau India. Lebih ironis lagi, berbagai keputusan diskriminatif itu diambil bersamaan ketika pemerintah Orde Baru memakai banyak pengusaha Tionghoa dalam program pembangunan ekonominya. Rupanya, sentimen rasis dipelihara oleh Orde Baru untuk mengontrol kepatuhan Tionghoa terhadapnya.

Meskipun sekarang Orde Baru (konon) sudah tumbang tetapi bukan berarti Tionghoa bisa hidup bebas dan dijamin hak-hak politik mereka sebagai warga negara. Memang ada yang menggembirakan di “era reformasi” ini. Beberapa peraturan diskriminatif seperti Inpres No. 14 tahun 1967 yang dijadikan tameng pembersihan segala hal yang berbau Tionghoa semasa Orde Baru sudah dicabut pada masa pemerintahan Gus Dur untuk kemudian diganti dengan Keputusan Presiden No. 6/2000 yang lebih manusiawi. Stigma “pribumi” dan “non-pribumi” yang menyesatkan itu juga sudah dihilangkan seiring dengan terbitnya Inpres No. 26 Tahun 1998.

Dalam Inpres tersebut juga diinstruksikan agar semua pejabat pemerintah memberikan layanan yang sama kepada setiap warga negara serta menginstruksikan dilakukan peninjauan kembali dan penyelesaian seluruh produk hukum perundang-undangan, kebijakan, program dan kegiatan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Kebijakan tersebut termasuk dalam bidang pemberian layanan dalam perizinan usaha, keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, kesehatan dan kesempatan kerja lainnya. Selain itu, Presiden Habibie juga mengeluarkan Inpres No. 4 tahun 1999 yang menghapuskan Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI) dan izin pelajaran bahasa Mandarin.

Meskipun di tingkat yuridis-formal, politik diskriminasi itu tidak lagi mendapat tempat akan tetapi di tingkat kultur dan mental masyarakat (termasuk para birokrat & pejabat), hal ini tidak sepenuhnya pupus. Di sana-sini kita masih menyaksikan sejumlah perlakuan diskriminatif terhadap warga Tionghoa menyangkut hak-hak sipil, sosial budaya dan politik. Inpres yang mencabut SKBRI diabaikan. Sebaliknya, para pejabat masih memberlakukan UU Kewarganegaraan No. 62/1958 (Lembaran Negara No. 113 tahun 1958) yang sangat terbuka untuk menjadi ladang pemerasan terhadap etnis Tionghoa. Mentalitas pejabat seperti inilah yang harus direformasi.

Ke depan, rezim manapun yang berkuasa di negeri ini harus memelihara kerukunan dan kebersamaan serta menjaga persaudaraan universal antar-manusia. Ingatlah bahwa Indonesia dibangun tidak oleh dan untuk satu atas beberapa etnis saja melainkan suatu konsepsi keberagaman yang utuh dalam wilayah kesatuan dan persatuan dari semua kekuatan etnisitas yang ada di seluruh penjuru Nusantara termasuk Tionghoa sebagai bagian integral dari bangsa ini.

Untuk menatap masa depan bangsa, kita perlu memantapkan spirit nasionalisme bagi kesejahteraan bersama. Bagi masyarakat Tionghoa, keadaan ini adalah tantangan untuk membuktikan kadar nasionalisme mereka secara sungguh-sungguh. Dengan ini hanya mereka sendiri yang bisa menentukan posisi dan peran masing-masing dalam mendorong Indonesia yang lebih makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran sehingga diharapkan peristiwa Mei 1998 yang memilukan itu tidak akan terulang di masa datang. []

Artikulli paraprakQuo Vadis Jaringan Islam Liberal
Artikulli tjetërSeminar China di DPP Partai Golkar
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini