Tanggal 19 Maret lalu, DPP Partai Golkar menggelar seminar sehari bertajuk “Kontribusi Tionghoa dalam Penyebaran Islam di Indonesia”. Seminar ini dimaksudkan untuk—selain memperingati tahun baru Islam dan Imlek—juga dalam rangka untuk menyambut 600 tahun ekspedisi Cheng Ho (Zeng He) ke Nusantara. Tahun 2005 ini (tepatnya bulan Agustus nanti) memang genap 600 tahun sejak tokoh legendaris Tiongkok, Cheng Ho menginjakkan kakinya untuk pertama kali di negeri ini tahun 1405. Karena itu pula, banyak komunitas masyarakat, Tionghoa khususnya yang mengadakan berbagai acara untuk mengenang mendiang Cheng Ho.
Sebagai pembicara dalam seminar ini selain saya, tampil beberapa tokoh dan intelektual penting Tanah Air, al, Prof. Azyumardi Azra, Prof. A. Dahana, Prof. Hembing Wijayakusuma, Prof. Hasan Muarif Ambary, Benny G. Setiono dan lain-lain. Seminar ini menjadi menarik bukan lantaran temanya melainkan penyelenggaranya (baca, Partai Golkar). Kita tahu, PG yang merupakan “partai mimikri” dari Golkar adalah partai bentukan Orde Baru. Dan Orde Baru adalah rezim yang membuat orang-orang Tionghoa merana di negeri ini. Orang-orang Tionghoa mengalami penderitaan yang luar biasa oleh rezim Orde Baru sejak mereka dituding terlibat dalam Baperki dan berada dibalik peristiwa Gerakan 30 September yang mengerikan itu. Di sini mereka lupa bahwa tidak semua orang-orang Tionghoa bergabung dalam Baperki sebagaimana tidak semua orang-orang Jawa ikut Nica.
Tetapi apa lacur, tuduhan (tepatnya, kambing hitam) itu sudah terlanjur terjadi. Dan akhirnya, Tionghoa menjadi “korban sejarah” rezim. Banyak peraturan pemerintah dan undang-undang yang dibuat untuk menghabisi warga Tionghoa. Di antara sekian puluh peraturan yang bersifat diskriminatif itu, al, Instruksi Presiden No. 14/1967 yang berisi larangan segala kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat China dilakukan di Indonesia. Sejak itu, Konghucu sebagai agama leluhur China dihapus statusnya dari “agama resmi” pemerintah menjadi agama terlarang. Kemudian rezim juga membuat UU Kewarganegaraan No. 62/1968 yang memberlakukan status SKBRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia). Penerbitan peraturan ini mengingatkan pada masa kolonial Belanda dulu yang membuat peraturan passenstelsel (keharusan bagi orang Tionghoa untuk mempunyai surat jalan khusus apabila hendak bepergian ke luar distrik tempat mereka tinggal) dan wijkenstelsel (peraturan ini melarang Tionghoa untuk tinggal di tengah kota dan mengharuskan mereka untuk membangun suatu ghetto yang kemudian terkenal dengan “Pecinan” sebagai tempat tinggal).
Ini adalah bagian dari ironi sejarah Orde Baru (OB), dan Golkar—sebagai mesin politik OB—tentu saja turut andil di dalamnya. Karena itu, sungguh sangat aneh—tapi sekaligus menarik—jika PG belakangan ini mengadakan seminar tentang Kontribusi Tionghoa dalam Penyebaran Islam di Nusantara. Secara implisit dan eksplisit, melalui seminar ini mereka mengakui adanya partisipasi/kontribusi China/Tionghoa dalam proses penyebaran Islam di Nusantara—sesuatu yang diingkari oleh rezim OB dulu. Saya katakan mereka mengingkari peran China dalam islamisasi Nusantara sebab rezim OB-lah, melalui Djaksa Agung telah menerbitkan surat keputusan No. 043 tahun 1971 yang melarang beredarnya buku sejarawan Prof. Slamet Mulyana yang berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu-Djawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Dalam buku ini, Mulyana secara eksplisit dan terang-terangan menyebut adanya partisipasi orang-orang Tionghoa bermazhab Hanafi dalam proses penyebaran Islam di Nusantara. Alasan pelarangan itu jelas, yakni karena buku Mulyana itu dianggap kontraproduktif dengan kebijakan rezim OB yang ingin menghilangkan jejak-jejak sejarah China.
Seminar ini semakin “aneh”—sekaligus semakin menarik—mengingat figur Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Partai Golkar yang juga Wakil Presiden selama ini dinilai publik kurang apresiatif terhadap masyarakat Tionghoa. Jusuf Kalla juga pernah melontarkan kalimat yang dinilai “menyakitkan” (kalau tidak menyudutkan) para pengusaha Tionghoa. Jusuf Kalla juga dinilai masih mempunyai sejumlah “PR” terkait dengan masalah kerusuhan berbasis etnis di Makasar beberapa waktu lalu yang hingga kini belum terselesaikan. Dengan melihat latar belakang ini, sangat patut untuk dikemukakan sebuah pertanyaan: apa maksud PG mengadakan seminar dengan tema ini? Saya sendiri berharap, seminar ini merupakan bagian dari niatan baik dan tulus PG untuk merajut kembali hubungan dengan masyarakat Tionghoa yang selama ini mereka “lukai”.
Untuk menunjukkan komitmen positif itu, sangat tidak cukup kalau hanya melalui forum seminar. Ini dibutuhkan kebijakan, sikap dan gerakan yang konkret untuk menghapus segala macam diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa. Sebab seperti kita tahu, meskipun banyak produk peraturan pemerintah dan perundang-undangan OB yang diskriminatif itu sejak era reformasi sudah banyak yang dihapus akan tetapi di tingkat praktek tidak sepenuhnya bunyi. Mentalitas para pejabat dan birokrat masih menggunakan “lagu lama” yang berwatak diskriminatif terhadap warga Tionghoa. Meskipun dunia politik sudah berubah, mereka masih menganggap Tionghoa sebagai “orang asing” yang harus dicurigai. Ini bisa “dimaklumi” mengingat para pejabat dan birokrat kita sebagian besar masih orang-orang lama warisan rezim OB karena itu mentalitas, watak dan perilakunya masih mirip-mirip OB.
Ada beberapa kasus atau contoh yang patut menjadi bahan refleksi bersama. Pada tahun 1998, Presiden Habibie sudah mengeluarkan Inpres No. 26/1998 yang menghapuskan penggunaan istilah “pribumi” dan “non pribumi”, memberikan arahan agar semua pejabat pemerintah memberikan layanan yang sama kepada setiap warga negara serta menginstruksikan dilakukan peninjauan kembali dan penyelesaian seluruh produk hukum perundang-undangan, kebijakan, program dan kegiatan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Kebijakan tersebut termasuk dalam bidang perizinan usaha, keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja. Akan tetapi di tingkat lapangan, peraturan ini tidak sepenuhnya bunyi. Di Jogjakarta belum lama ini terjadi keluhan seorang warga bernama Samuel Cahyadi yang kesulitan memproses Hak Milik tanahnya hanya karena dia seorang Tionghoa. Dan saya rasa masih banyak kasus seperti Samuel Cahyadi ini.
Presiden Habibie saat itu juga telah mengeluarkan Inpres No. 4 tahun 1999 yang menghapuskan SKBRI dan izin pelajaran Bahasa mandarin. Dalam Inpres tersebut, al, berbunyi “ Tentang Pelaksanaan bukti kewarganegaraan RI, bagi warga negara RI yang telah memiliki KTP atau Kartu Keluarga atau Akta Kelahiran, pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk kepentingan itu cukup menggunakan KTP, KK atau akta kelahiran tersebut.” Jadi jelas dan gamblang bahwa SKBRI tidak lagi dibutuhkan dalam pelayanan publik. Namun Inpres tersebut selama ini diabaikan oleh para pejabat dan birokrat khususnya Departemen Imigrasi. Sebaliknya mereka tetap memberlakukan UU Kewarganegaraan No. 62/1968 (Lembaran Negara No. 113 Tahun 1958) karena bisa dijadikan sebagai proyek pemerasan (khusus bagi para calo atau broker) terhadap etnis Tionghoa. Banyak orang-orang Tionghoa yang mengeluh lantaran ketika mengurus paspor dan surat penting lain masih saja ditanyai soal SKBRI ini meskipun mereka sudah menunjukkan akta kelahiran dan KTP.
Hal lain yang juga patut untuk dicermati adalah meskipun Instruksi Presiden No. 14/1967 yang berisi larangan segala kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat-istiadat Tionghoa yang dilakukan di Indonesia sudah dicabut pada masa pemerintahan Gus Dur, dan sebagai gantinya diterbitkan Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 yang membolehkan etnis Tionghoa mengekspresikan kebudayaan termasuk menjalankan agama leluhur China (Konghucu) di Indonesia, namun lagi-lagi, di tingkat praktek di lapangan sama sekali tidak berlaku.
Beberapa tahun lalu kita bahkan dikejutkan oleh ulah para pejabat Departemen Agama dalam hal ini Departemen Litbang dan Diklat Keagamaan yang membuat RUU Kerukunan Umat Beragama yang sangat diskriminatif antara Muslim dan non-Muslim dan Konghucu tidak lagi mendapat tempat disini. Sampai sekarang, Departemen Agama juga belum membuat direktorat agama Konghucu yang khusus melayani komunitas agama ini. Konghucu juga belum bisa dimasukkan sebagai agama dalam KTP. Akhirnya banyak orang-orang Tionghoa (dan mungkin non-Tionghoa) yang beragama/berkeyakinan Konghucu tetapi dalam KTP tertulis Kristen atau Buddha dan lainnya yang dianggap sebagai “agama resmi” pemerintah. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat paradoks: satu sisi para pejabat publik/pemerintah berbicara berapi-api di koran, TV dan media lain bahwa diskriminasi tidak lagi mendapat tempat di Indonesia akan tetapi di pihak lain praktek diskriminasi itu masih menggurita dimana-mana! Dari paparan di atas, apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah ke depan adalah sebuah gerakan atau kebijakan yang konkrit dalam tindakan bukan kebijakan di atas kertas, kebijakan dan gerakan yang total tidak ambigu dan ambivalen seperti tampak selama ini. Pemerintah jika ingin berkomitmen untuk memberantas praktek diskriminasi maka harus diwujudkan dalam tindakan nyata: menegakkan hukum, menangkap para calo, makelar dan oknum yang nakal serta konsisten dalam menjalankan produk undang-undang dan peraturan. Kecurigaan hanyalah akan melahirkan dendam kesumat yang berkepanjangan. Jika kita menganggap Tionghoa sebagai bagian dari bangsa dan negara ini, maka sudah selayaknya dan seharusnya jika mereka juga ditempatkan dan diperlakukan sejajar dengan etnis lain dalam segala hal kehidupan. Ini menjadi tanggung jawab kita bersama termasuk Partai Golkar.