Banyak yang bertanya mengenai apa dan bagaimana dasar, rationale, serta arah reformasi Arab Saudi. Banyak pula yang merespon, baik positif maupun negatif, proses reformasi yang sedang berlangsung di negara terbesar di kawasan Teluk Arab ini. Bagi yang kontra, mereka menganggap proses reformasi tersebut salah arah, tidak akan langgeng, menodai nilai-nilai keislaman, serta bagian dari tanda-tanda akhir zaman. Tetapi bagi kelompok yang pro, mereka akan memandang proses reformasi yang berlangsung saat ini sudah on the right track menuju “Saudi baru.”
Saya termasuk kelompok yang mengapresiasi dan menyambut positif proses reformasi sosial-ekonomi yang diprakarsai oleh Raja Salman dan Putra Mahkota Muhammad Bin Salman (MBS) karena sejumlah alasan mendasar. Pertama, Arab Saudi memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) melimpah dan warisan pusaka budaya yang kaya tetapi selama ini tidak dikelola dengan baik dan bahkan cenderung diabaikan oleh pemerintah sebelumnya. Kedua, Arab Saudi juga memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) potensial dan melimpah, termasuk kalangan cendekia, perempuan, dan pemuda (misalnya ribuan alumni program beasiswa King Abdullah Schlarship Program yang belajar di berbagai kampus mancanegara), tetapi lagi-lagi, tidak dimanfaatkan dengan baik untuk ikut membangun dan memajukan negara-kerajaan ini.
Tidak dioptimalkannya potensi SDA dan SDM tersebut karena selama ini, khususnya sejak awal 1980an, arah dan kebijakan pemerintah Saudi bisa dikatakan terlalu berorientasi agama dan didominasi perspektif militansi-konservatisme Islam yang dalam banyak hal anti-kemajuan, kemodernan, dan progresivisme sehingga bidang-bidang diluar agama seperti ekonomi, bisnis, sains, teknologi, budaya, pendidikan, dlsb nyaris tidak terjamah apalagi dikembangkan. Pemerintah sibuk mengurusi masalah keagamaan serta fokus perawatan eksistensi Islam Wahabi atau lebih tepatnya Islam Hanbali yang menjadi mazhab resmi negara. Mereka tidak terlalu mempedulikan masalah perekonomian karena sudah dimanjakan oleh berkah “emas hitam” (minyak).
Krisis Minyak
Keadaan mulai berubah ketika terjadi krisis minyak, yakni anjloknya harga minyak di pasar global hingga 70 persen, khususnya antara tahun 2014 dan 2016, yang menurut Rob Davies, dipicu oleh percekcokan antara Arab Saudi dan Iran mengenai pemangkasan produksi minyak. Para pengamat minyak dari Bank Dunia seperti Marc Stocker, John Baffes, dan Dana Vorisek menganggap anjloknya harga minyak kala itu sebagai yang terburuk sejak Perang Dunia II.
Tak pelak, anjloknya harga minyak tersebut mempengaruhi sektor-sektor lain: ekonomi, bisnis, pendidikan, kesehatan, pelayanan, dan lainnya. Krisis minyak juga mempengaruhi buget pemerintah karena 80 persen pendapatan negara dihasilkan dari minyak. Tahun 2016, Bank Dunia mencatat rendahnya harga minyak tersebut menyebabkan defisit anggaran negara Saudi hingga US$ 118 Milyar (sekitar 16 persen dari PDB) dan US$ 97 Milyar pada 2017.
Krisis minyak tersebut kemudian mendorong pemerintah memutar otak agar kondisi perekonomian tidak semakin memburuk. Untuk menanggulangi masalah ini, beberapa program dan kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah seperti meminjam uang dari lembaga-lembaga donor internasional (seperti IMF), memangkas anggaran atau buget pengeluaran untuk beberapa sektor (misalnya pertahanan, pelayanan publik, subsidi minyak, dlsb), menaikkan harga air dan listrik, menerapkan pajak VAT (Value-Added Tax) untuk semua barang dan jasa semula 5 persen kemudian naik menjadi 15 persen sejak 2020, serta menangkap para koruptor dan meminta mereka mengembalikan uang korupsi ke kas negara.
Visi Saudi 2030
Dari sekian program dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, yang paling fenomenal adalah apa yang disebut dengan Visi Saudi 2030 (ru’yah al-su’udiyah) yang dicanangkan tahun 2016. Visi 2030 adalah sebuah agenda nasional dan kerangka strategis reformasi sosial-ekonomi yang masif, ekstensif, dan ambisius yang dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan perekonomian negara pada minyak (dan gas), memperluas sumber-sumber ekonomi, serta mengembangkan dan memajukan bidang-bidang pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi, dan turisme.
Sejak awal Visi 2030 bukan hanya berdimensi ekonomi tetapi juga sosial-budaya. Hal ini dikarenakan masalah ekonomi dan sosial-budaya itu, ibarat organ tubuh, saling bertautan satu sama lain sehingga perubahan di satu sektor akan mempengaruhi sektor lainnya. Pula, Visi 2030 mencerminkan keseriusan pemerintah untuk memaksimalkan potensi SDM dan SDA Saudi yang selama ini terbengkelai dan nyaris tak tersentuh karena mereka sibuk mengurusi masalah keislaman, ritual keagamaan, dan “moralitas publik” rakyatnya.
Sejak peluncuran Visi 2030, dengan dukungan dana dari Saudi Public Investment Fund dan sejumlah donor internasional, pemerintah langsung tancap gas mereformasi semua sektor dari ekonomi dan bisnis hingga sosial dan budaya (termasuk pendidikan, turisme, keagamaan, dan lainnya). Milyaran dollar pun digelontorkan untuk menginisiasi berbagai mega/giga proyek di berbagai bidang.
Diantara proyek-proyek raksasa tersebut adalah NEOM (sebuah kota cerdas futuristik berbasis teknologi canggih seluas 26,500 km di kawasan Tabuk), Red Sea Project (sebuah proyek untuk menyulap kawasan lebih dari 28,000 km di sekitar Laut Merah, termasuk 90 pulau, menjadi destinasi turisme internasional), Green Riyadh (sebuah proyek penghijauan dengan menanam sekitar 7,5 juta pohon guna mengtransformasi padang pasir Riyadh menjadi kawasan hijau yang ramah lingkungan), Saudi Green Initiative (sebuah inisiatif untuk menjadikan Arab Saudi sebagai negara berbasis clean energy), Al Ula Project (sebuah proyek penggalian situs-situs arkeologis dan sejarah serta untuk menjadikan kawasan Al Ula di Saudi utara sebagai salah satu pusat arkeologi dunia dan destinasi heritage tourism), dan masih banyak lagi.
Selanjutnya, pemerintah juga membangun sejumlah kebun binatang yang bertujuan, antara lain, untuk mengonservasi berbagai hewan langka yang nyaris punah, menyulap padang gurun menjadi lahan pertanian, serta menghidupkan kembali berbagai dunia hiburan dan rekreasi (termasuk membuka gedung-gedung bioskop) yang selama hampir 40 tahun “matisuri” karena dilarang oleh kelompok Islam militan-konservatif yang mengontrol kebijakan kebudayaan dan keagamaan pemerintah.
Reformasi Pendidikan dan Keagamaan
Bukan hanya itu saja, pemerintah juga mereformasi dunia pendidikan. Berbagai konten, buku ajar, dan kurikulum yang bernuansa militan, kebencian, rasisme, dan etnosentrisme ditarik dari peredaran diganti dengan yang berhaluan moderat-toleran dan berorientasi pada spirit kemajuan, kemajemukan, dan kebersamaan. Guru-guru dan pengelola sekolah yang dipandang radikal-intoleran diberhentikan atau ditraining dan “diinstall” ulang mindset dan perilaku mereka.
Dunia keagamaan (keislaman) juga tidak luput dari reformasi. Bisa dikatakan, dalam konteks Arab Saudi, agama menjadi salah satu faktor terbesar dan terberat yang menjadi “batu sandungan” dan pengganjal agenda reformasi. Menyadari akan hal ini, pemerintah kemudian “menertibkan” segala aturan, diskursus, dan praktik keislaman yang tidak bersahabat dan mendukung kemajuan dan reformasi sosial-ekonomi. Lembaga-lembaga keislaman yang berorientasi militan-radikal, termasuk lembaga Polisi Syariat, dibekukan.
Para penceramah dan khatib yang suka menebar hate speech, anti-reformasi dan kemajuan, dan berpotensi menyulut perpecahan masyarakat “dirumahkan.” Institusi-institusi sosial-keislaman (termasuk lembaga ulama Council of Senior Scholars atau hai’ah kibar al-ulama, Shuro Counsil, dan masjid) yang semula dipenuhi para sarjana dan tokoh Islam militan-konservatif diganti dengan yang berhaluan dan berwawasan moderat, toleran, dan progresif serta mendukung kebijakan dan program-program reformasi pemerintah.
Peran Perempuan dan Pemuda
Lebih lanjut, pemerintah juga meningkatkan peran kaum perempuan dan pemuda di ruang/sektor publik yang sebelumnya diabaikan. Sekitar 42,36 persen populasi Saudi adalah perempuan, dan sekitar 65 persen berusia antara 15 dan 50. Kini, baik perempuan maupun generasi muda, banyak menempati pekerjaan sektor publik dan bahkan menduduki pos-pos penting, baik di lembaga pemerintah maupun swasta (seperti perusahaan, media, sekolah, dlsb).
Sebelumnya, khususnya sejak 1980an, perempuan hanya boleh bekerja sebagai guru atau perawat (untuk perempuan). Tetapi sekarang, nyaris tidak ada sektor pekerjaan, termasuk di bidang pertahanan dan keamanan, yang tidak ada kaum perempuan. Emansipasi perempuan betul-betul terjadi di semua lini, dan bahkan 30 persen anggota Shuro Council yang bertugas memberi nasihat berbagai kebijakan publik pemerintah dan kerajaan juga kaum perempuan.
Respon Masyarakat
Bagaimana respon masyarakat terhadap perubahan dan reformasi di Saudi? Tentu saja dimana-mana selalu ada pro-kontra tetapi saya amati secara umum masyarakat Saudi menyambut gembira dan positif terhadap proses reformasi dan perubahan yang terjadi di negaranya. Siapa yang tidak senang, perempuan yang sebelumnya tidak bisa dan tidak boleh bekerja diluar rumah, kini bisa bekerja sehingga bisa turut membantu ekonomi keluarga. Banyaknya proyek pembangunan artinya terbuka lebar kesempatan bagi warga, khususnya pemuda/i, untuk mendapatkan pekerjaan.
Masyarakat juga bisa dengan leluasa mengekspresikan hobi dan kesukaan seni-budaya mereka di ruang publik (misalnya menikmati hiburan, pertunjukan seni, atau gaya berbusana) tanpa rasa takut dibayang-bayangi oleh Polisi Syariat. Positifnya respon masyarakat juga bisa dilihat dari Indeks Kebahagiaan warga Saudi yang cukup tinggi. Indeks tersebut dikeluarkan oleh United Nations Sustainable Development Solutions Networks yang setiap tahunnya merilis World Happiness Report. Apakah reformasi ini bisa langgeng? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Keterangan: artikel ini semula diterbitkan di Kompas pada tanggal 21 Maret 2023
Semoga reformasi di Arab Saudi berjalan lancar. Karena, apa yang diterapkan di Arab Saudi akan berpengaruh kepada negara mayoritas muslim Sunni seperti Indonesia.