Beranda Opinion Bahasa Surat Buat Justisia

Surat Buat Justisia

911
0

Kembali, tidak bosan-bosannya, saya ucapkan selamat buat Justisia atas ulang tahun kali ini. Semoga Justisia tetap “sehat wal afiat” dan bersemangat melanjutkan visi dan makna “justisia” (Spanish: justitia (Latin: Justus, English: Justice), yang berarti simpel: “keadilan”.

Kata “keadilan” ini sangat fundamental baik dalam konteks kebudayaan maupun keagamaan. Kata inilah yang menggerakkan perjuangan sosial-politik para teolog pembebasan Amerika Latin seperti Oscar Romario, pejuang human rights sejati seperti Martin Luther King (USA), Mahatma Ghandi (India), Desmond Tutu (Afsel), William Lowrey (Sudan), Imam Muhammad Ashafa (Nigeria), Sava Janjic (Kosovo), Jose Inocencio Alas (El Salvador), Friar Ivo Markovic (Bosnia), Father Alex Reid (Northern Ireland), Alimamy Koroma (Sierra Leone), Abuna Elias Chacour (Palestine), Rabbi Menachem Froman (Israel), Sakena Yacoobi (Afghanistan), Benny Giay (Papua), Munir (Indonesia), dan masih banyak lagi.

Kata “keadilan” ini pula yang menjadi ruh, maqhasid shari’ah, dan groundwork agama Islam yang didirikan oleh Yang Mulia Nabi Muhammad—agama yang dipeluk oleh sekitar 1,3 milyar orang di muka bumi ini, angka yang kurang lebih sama dengan penduduk China. Tidak ada agama yang memiliki pesan moral tentang keadilan begitu kuat selain Islam. Sekarang pun kaum “peacebuilders” mulai dari AS sampai Afrika mulai mengusung jargon just-peace—sebuah gerakan perdamaian global berbasis keadilan.

Sebagai pengelola, aktifis, penasehat, maupun simpatisan Justisia, kita semua wajib ain hukumnya untuk mengembangkan dan mengimplementasikan visi keadilan ini dalam setiap karya dan kehidupan kita. Dalam konteks segenap keluarga kecil Justisia memiliki tanjung jawab baik moral maupun intelektual untuk membela “kaum subaltern”—kelompok yang “terlukai” secara politik, sosial, dan agama karena perlakuan seenaknya pihak tertentu yang sering mengaku sebagai “polisi Tuhan” dan polisi negara.

Lebih lanjut, kata “justisia” juga secara implisit bermakna “keadilan wacana” yang berarti anda harus berani melakukan autokritik terhadap agama anda, bangsa anda, negara anda, ideologi anda, kepercayaan anda, suku anda, dan seterusnya. Kritik bukan berarti penghinaan atau pelecehan melainkan sebagai jalan untuk instrospeksi diri bahwa kita dan apa yang kita yakini sesungguhnya bukanlah sesuatu yang sempurna, dan karena itu kita butuh untuk belajar kepada orang dan kelompok lain.

Knowledge dan wisdom bertebaran dimana-mana maka bukalah mata, hati, dan pikiran anda untuk terus-menerus belajar kepada orang lain. Belajar tidak harus kepada dosen, pejabat, birokrat, intelektual, akademikus, pengusaha, ulama, imam, kiai, dan orang-orang “wah,” “intelek,” lainnya atau kepada kaum Muslim saja, tapi juga bisa kepada siapa saja: sastrawan, penyair, pendeta, pastor, bikku, orientalis, musikus, modin, tukang ojek, penyanyi ndangdut, pedagang asongan, dan seterusnya. Nabi Muhammad SAW sendiri jauh-jauh hari sudah bersabda tentang seruan belajar sampai ke China karena memang kebudayaan Tiongkok waktu itu di jaman Kaisar Tai Tsung sangat maju.

Teman-teman, sebagai media, Justisia memiliki peranan sangat strategis untuk mengembangkan karir intelektual anda, mengolah kecerdasan batin anda, dan menajamkan visi sosial anda. Di tengah dunia yang sedang bergolak dan bangsa kita yang terus-menerus didera krisis baik politik, ekonomi, maupun moral, Justisia memiliki tanggung jawab untuk menjaga agar kosmos ini tidak oleng.

Sekecil apapun kontribusi anda akan menjadi sumbangan yang berarti buat peradaban manusia, bangsa Indonesia, dan komunitas IAIN Walisongo. Untuk menjaga tradisi intelektual ini, dibutuhkan kekompakan, semangat, kreatifitas, dan kerja keras para pengelola Justisia dan pihak terkait. Secara pribadi, sebagai orang yang pernah berkecimpung di Justisia untuk waktu yang cukup lama di masa-masa tegang Orde Baru, saya sangat senang mendengar kabar sebagian teman-teman Justisia yang sudah “go national” dan berhasil meraih prestasi akademik yang membanggakan dan mampu “mengebiri” para mahasiswa dari Jogja, Jakarta, dan tempat lain.

Sungguh saya dulu juga merasakan betapa tidak enaknya menjadi mahasiswa IAIN Walisongo yang selalu “dikucilkan,” “diasingkan” dan diremehkan dari percaturan global intelektualisme karena dianggap kering wacana intelektualitas dan tidak strategis karena tidak menjadi “melting pot” tempat hilir-mudik kaum intelektual sebagaimana Jakarta atau Jogja, tetapi anda mampu memecahkan mitos yang tidak sehat itu dengan membuktikan kemampuan pena anda yang mampu menembus perbukitan Ngalian. Harus diakui Justisia-lah yang, antara lain, membuat peta percaturan intelektual IAIN Walisongo diperhitungkan di tingkat nasional. Karena itulah kita termasuk golongan orang-orang yang merugi kalau kita gagal menjaga tradisi akademik yang dirintis Justisia.

Dalam dunia akademik Barat, karya intelektual adalah mutiara. Anda akan menjadi orang yang sangat “powerful” dan dihargai kalau memiliki sederet karya ilmiah. Cambridge, Oxford, Harvard, Boston, Yale, Princeton, Cornell, dan seterusnya menjadi besar karena kampus ini mampu melahirkan orang-orang besar dan brilian dalam berkarya.

Kalau IAIN Walisongo “menghargai” tradisi intelektual itu, tidak mustahil suatu saat nanti nama Ngalian akan bersanding mesra dengan, dan seharum Boston dalam hal karya kesarjanaan. Dan itu sudah dimulai dari Justisia. Karena itu berdosalah kita kalau bukan malah mengembangkan melainkan justru “mematikan” Justisia. Tetapi pesan saya janganlah prestasi itu kemudian membuat anda “orgasme” dan akhirnya lemas tak berdaya tidak mampu melahirkan kembali karya-karya cemerlang.  Jalan masih panjang, berat, dan berliku…..

Akhirul kalam, saya berharap tradisi intelektual (diskusi, menulis, membaca, dll) yang dikembangkan Justisia selama ini tetap dipelihara, dikembangbiakkan, dan dikloning sebanyak-banyaknnya. Tebarkanlah virus intelektual ini ke segenap penjuru dan pelosok agar orang-orang bangkit dan sadar bahwa kemajuan suatu bangsa adalah bermula dari kesadaran dan kecerdasan setiap individu.

Islam tidak akan “berwibawa” dalam percaturan global intelektual kalau umat Islam itu sendiri tidak mampu menggali khazanah keagamaanya sendiri yang begitu melimpah-ruah. Kaum Muslim akan tetap berada dipojok sejarah, sebagai penonton kebudayaan, jika mereka tidak segera bangkit untuk memulai karir intelektual. Percayalah bahwa “pena” adalah kekuatan yang maha dahsyat yang mampu menggerakkan sejarah kemanusiaan. Maksimalkanlah kekuatan pena-pena anda untuk membangkitkan dan menggerakkan roda sejarah peradaban manusia.

Artikulli paraprakStop Kekerasan terhadap Tionghoa
Artikulli tjetërKhittah NU dan Siasat Politik Kiai
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini