Namanya Umar Bin Abdul Azis. Kita, umat Islam khususnya, hampir dipastikan mengenal tokoh sejarah yang luhur ini. Ia populer dengan sebutan Umar II. Umar I-nya adalah Umar Bin al-Khaththab: seorang sahabat nabi sekaligus khalifah di zaman Khulafaur Rasyidin. Ia dikenal sebagai panglima perang yang saleh, jujur, tegas, pemberani dan bersahaja. Meskipun jika ia mau, ia dapat menumpuk harta dan menyimpan ribuan dinar. Tapi Umar tidak. Begitupun dengan Umar II, Umar Bin Abdul Azis.
“Umar Junior” ini adalah seorang khalifah (pemimpin tertinggi negara) Dinasti Umayyah pada akhir abad ke-7 M yang dikenal dalam literatur Islam klasik sebagai pemimpin yang adil, bersahaja, jujur dan tak kenal kompromi. Makanannya adalah makanan rakyat biasa, dan ia hanya membelanjakan 2 dirham sehari.
Umar tidak membangun rumah pribadi dan lebih suka tinggal di kemah kecil. Sementara istana kepresidenan yang megah diserahkan kepada pendahulunya, Sulaiman Bin Abdul Malik beserta keluarga, untuk ditempati. Umar II juga menolak pengawalan bahkan membubarkan 600 personil pengawal (semacam Paspampres) karena merasa pengawalan ketat hanya akan membuat jarak khalifah dengan rakyatnya. Sebelum menjadi khalifah, harta penghasilan pribadinya 50.000 dinar per tahun. Tetapi segera setelah menduduki kursi kepala negara, ia menyuruh hartanya dilelang dan diserahkan ke Baitul Mal (semacam kas negara). Pendapatannya kemudian merosot menjadi—hanya—200 dinar setahun.
Suatu hari, Umar II mengundang makan malam beberapa pejabat tinggi Umayyah. Sebelumnya dia sudah menginstruksikan para koki agar menunda dulu penyajian santapan. Ketika para undangan mulai tampak kadang-kadang menyentuh perut mereka (pertanda lapar), barulah Umar menyuruh agar para pelayan menyiapkan makan. Tapi lebih dulu agar disajikan roti bakar. Makanan sederhana itu langsung disantap Umar yang kemudian diikuti oleh para tamu. Tak berapa lama santapan makan terhidang. Sang Khalifah mempersilakan. Tapi para tamu menolak lantaran sudah kenyang. Disitulah Umar berkata, “Saudara-saudara. Jika kalian bisa memuaskan nafsu makan dengan makanan sederhana, mengapa harus serakah, sewenang-wenang sampai-sampai harus merampas milik orang lain?”. Hadirin yang merupakan para petinggi negara pun dibuatnya kecut, tertunduk malu. Itulah Umar: adil, tegas dan sederhana.
Keadilan dan kesederhanaannya itulah yang membuat ia setelah meninggal (w. 719 M) disesali banyak orang. Ia meninggal di Darus Siman—sebuah kompleks pesantren di dekat Himsh dan Homs. Ketika wafat, ia hanya meninggalkan harta pribadi 17 dinar. Itupun dengan wasiat agar sebagiannya dibayarkan untuk sewa rumah tempatnya tinggal dan sebagian lagi untuk membeli tanah makamnya.
Seorang Raja Bizantium (Romawi Timur) berkomentar dengan murung, menyesali kematian Umar, “Saya tidak terlalu heran melihat pertapa meninggalkan kesenangan duniawi agar dapat hanya menyembah Tuhan. Tapi saya sungguh kagum menyaksikan seorang pemilik kesenangan duniawi, yang tinggal mengambilnya dari telapak tangan malah menutup mata dan memilih hidup dalam kesalehan. Setelah Yesus, kalau ada orang yang mampu menghidupkan orang mati, Umar-lah orangnya.”
eorang Raja Bizantium (Romawi Timur) berkomentar dengan murung, menyesali kematian Umar, “Saya tidak terlalu heran melihat pertapa meninggalkan kesenangan duniawi agar dapat hanya menyembah Tuhan. Tapi saya sungguh kagum menyaksikan seorang pemilik kesenangan duniawi, yang tinggal mengambilnya dari telapak tangan malah menutup mata dan memilih hidup dalam kesalehan. Setelah Yesus, kalau ada orang yang mampu menghidupkan orang mati, Umar-lah orangnya.”
Umar memang berprinsip bahwa agama hanya dapat dipelihara dengan baik bila terdapat keadilan dan kebajikan. Suatu saat ia pernah menulis surat kepada Gubernur Kufah, “Jangan coba-coba mengurangi apa yang menjadi hak rakyat. Jangan paksa rakyat melakukan sesuatu diluar kemampuan mereka.” Kekuasaan di mata Umar adalah “titah Tuhan” yang harus dipelihara dan dijaga dengan baik. Kekuasaan bukanlah hadiah atau rizki nomplok yang bisa dibuat apa saja. Tapi ia—kekuasaan itu—adalah mandat yang suatu saat akan diminta pertanggungjawabannya baik oleh rakyat dan lebih-lebih oleh Tuhan—sang pemberi mandat. Sebagai mandat Tuhan, maka sudah seharusnyalah jika para pemimpin bersikap adil, jujur, tegas dan sederhana.
Keadilan, kejujuran, ketegasan dan kesederhanaan adalah komponen-komponen dasar untuk menyelenggarakan sebuah kekuasaan agar berjalan dengan baik. Kata-kata Umar itu bukanlah sejenis “kata mutiara” yang kosong-hampa tanpa makna yang dilontarkan seorang pemimpin di atas menara gading seperti kebanyakan pemimpin di bumi ini tetapi betul-betul dipraktekkan dalam tindakan nyata.
Kehadiran Umar dalam panggung kepolitikan Umayyah saat itu seperti air di tengah musim paceklik yang panjang atau di tengah gurun pasir yang kering-kerontang. Kita tahu, Umayyah adalah salah satu kerajaan Islam klasik yang didirikan di atas basis militerisme yang bengis dan kejam. Para pemimpin Umayyah sejak Mu’awiyah Bin Abu Sofyan dikenal dalam lembaran sejarah Islam sebagai pemimpin yang bengal dan tiran yang tidak segan-segan memanipulasi simbol-simbol agama untuk kepentingan pragmatis kekuasaan.
Rakyat dipaksa tunduk mengikuti logika-logika kekuasaan tiranik yang dikembangkan para khalifah dan jaringannya. Di tengah negeri yang hampir bangkrut dan di saat rakyat mengalami keputusasaan itulah, hadir Umar Bin Abdul Azis. Sedikit demi sedikit ia menata negeri Umayyah dari puing-puing kehancuran: ekonominya, politiknya, kebudayaannya. Ia mencoba menghidupkan kembali sistem demokrasi yang dimatikan oleh rezim Umayyah. Sayang kekuasaan Umar hanya beberapa tahun saja namun demikian ia telah memberi pelajaran berharga buat para pemimpin sampai hari ini.
Rakyat dipaksa tunduk mengikuti logika-logika kekuasaan tiranik yang dikembangkan para khalifah dan jaringannya. Di tengah negeri yang hampir bangkrut dan di saat rakyat mengalami keputusasaan itulah, hadir Umar Bin Abdul Azis. Sedikit demi sedikit ia menata negeri Umayyah dari puing-puing kehancuran: ekonominya, politiknya, kebudayaannya. Ia mencoba menghidupkan kembali sistem demokrasi yang dimatikan oleh rezim Umayyah. Sayang kekuasaan Umar hanya beberapa tahun saja namun demikian ia telah memberi pelajaran berharga buat para pemimpin sampai hari ini.
Kisah Umar adalah kisah kegetiran sekaligus harapan. Getir karena Umar hidup dalam sebuah masyarakat yang persis seperti digambarkan dalam cerpen Anton Chekhov, yang penuh kebusukan: sogok-menyogok, korupsi, konspirasi, penipuan, kekonyolan terjadi di hampir semua tingkatan masyarakat dari pejabat tinggi sampai pegawai rendahan—sebuah gambaran hidup yang juga menimpa masyarakat kita sekarang. Kisah Umar juga menyimpan sebuah harapan meskipun barang kali hanya secuil. Meski kita hidup dalam keterpurukan di semua level, kita tidak boleh menyerah pasrah, emoh politik, apriori terhadap kekuasaan. Sikap eskapisme (termasuk aneka pementasan atau “pameran spiritual” yang marak akhir-akhir ini) tidak akan menyelesaikan sebuah persoalan bangsa yang menggunung ini. Kita harus berbuat “sesuatu” bukan malah “pasrah-bongkoan” kepada Tuhan.
Bagi kita, bangsa Indonesia, yang saat ini hendak memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, kisah Umar bisa menjadi pelajaran yang sangat bernilai bagi rakyat juga buat pejabat negara. Bagi rakyat ada sebuah pelajaran supaya kita dalam memilih pemimpin negeri nanti tidak asal-asalan, hanya didasarkan pada pertimbangan ideologis-pragmatis saja tidak didasarkan pada pertimbangan integritas, kapabilitas atau singkatnya kompetensi personal sang calon pemimpin. Sejarah membuktikan, pemilihan berdasarkan pertimbangan ideologis-pragmatis lebih banyak menimbulkan madlarat (baca, kerugian/kemunduran) ketimbang manfaat/maslahat. (baca, keadilan sosial). Pilihlah sosok pemimpin yang memiliki kompetensi personal memadai sehingga mampu mengangkat bangsa ini dari keterpurukan.
Pemilu Juli mendatang adalah momentum berharga buat rakyat Indonesia untuk memilih sang pemimpin yang memiliki kualifikasi integritas dan kapabilitas memadai bukan pemimpin yang hanya bisa berkampanye dengan suara lantang dan bergemuruh tapi kosong tak bermakna, pemimpin yang mengobral janji mau dekat dengar rakyat miskin atau bahasa sekarang “merakyat” tetapi hidup di rumah mewah dan bergelimangan harta sementara tetangganya hidup melarat tak terurus. Kalaupun mereka sekarang mau blusukan ke pasar menemui pedagang atau nelayan atau petani hanya sebatas untuk mengais dukungan publik dan jangan lupa supaya dianggap “merakyat” itu tadi.
Lalu apa pelajaran kisah Umar buat para pemimpin? Tidak lain, buat siapapun yang terpilih sebagai pemimpin di negeri ini, Umar adalah sejarah yang berharga. Ketegasan, keadilan, kejujuran dan kesahajaan adalah prinsip hidup yang dipraktekkan Umar sehingga mampu memulihkan citra Umayyah yang bopeng. Prinsip inilah yang hendaknya juga dijalankan para pemimpin terpilih nanti agar krisis yang melanda bangsa ini segera berakhir. Tetapi apakah mereka mampu?.