Beranda Opinion Bahasa Tentang Kartun Nabi Muhammad SAW Antara Kebebasan dan Keadaban

Tentang Kartun Nabi Muhammad SAW Antara Kebebasan dan Keadaban

1573
0

Gelombang protes umat Islam belum juga usai menyusul pemuatan 12 kartun kontroversial Nabi Muhammad di koran Denmark, Jyllands-Posten akhir September tahun silam. Dalam kartun itu, Nabi Muhammad, digambarkan sedang bersurban dengan aksesori bom bersumbu (a bomb-shaped turban), sebagai orang Badui dengan mata terbelalak menghunus pedang ditemani dua wanita berbusana hitam. Beliau juga digambarkan sedang memberi penghargaan kepada para pengebom bunuh diri (suicide bombers). Kartun satiris Nabi  Muhammad itu tidak hanya dimuat di koran Denmark tetapi juga di berbagai negara Eropa bahkan ada kartun-kartun yang lebih galak menyerang umat Islam. Banyak pengamat menilai, kartun-kartun itu hanyalah sample ekspresi kebencian publik Denmark terhadap Islam akibat “provokasi” dari Ratu Denmark Margaret II. Dalam biografinya yang terbit April 2005, ia menyatakan, “Mari kita tunjukkan perlawanan kita kepada Islam.” 

Kontan saja, umat Islam di seantero jagat menjadi murka tidak hanya di Denmark saja yang merupakan agama terbesar kedua (sekitar 3% dari total 5,4 juta penduduk Denmark) setelah Kristen Lutheran. Mereka melampiaskan kemarahannya dengan protes, demonstrasi, menyerbu kedutaan besar, memboikot produk-produk, merusak properti, membakar bendera sampai melakukan sweeping warga negara Denmark. Maka, bentrokan antara massa umat Islam dengan aparat pun tidak bisa dihindari, bahkan puluhan diberitakan meninggal seperti terjadi di Afghanistan, Bangladesh, Syria, dll. Sementara pemerintah Denmark bereaksi dengan cara menutup (sementara) Kedutaan Besar dan mengeluarkan daftar negara-negara yang harus dihindari; Qatar, Afghanistan, Jordania, Aljazair, Marokko, Oman, Sudan, Tunisia, Uni Emirat Arab termasuk Indonesia.

Salah satu penyebab eskalasi kekerasan itu hingga meluas ke kawasan-kawasan dunia Islam, karena terjadi kebuntuan dialog (deadlock) antara para pemimpin Muslim dengan pemimpin Barat terutama Denmark sejak pemuatan kartun tersebut. Para pemimpin muslim menilai koran Denmark tidak mempunyai hak sedikit pun untuk mempublikasikan karikatur / gambar Nabi Muhammad karena akan melukai perasaan keimanan umat Islam, sementara pemerintah Denmark—meskipun menyatakan penyesalan yang mendalam—tetap menolak untuk meminta maaf kepada publik muslim dengan alasan bahwa kebebasan merupakan hak fundamental bagi dunia pers (Time, Feb 05, 2005). Seandainya sejak pemuatan kartun (30 Sept), pemerintah juga media Denmark segera bertindak proaktif dengan meminta maaf kepada publik Muslim dan mencabut kartun itu, mungkin tidak akan terjadi reaksi sekeras dan seluas ini.

Sejak dulu memang ada masalah fundamental antara seni dan agama. Dalam Islam, keduanya sulit bertemu. Seni mengandaikan kebebasan (tanpa batas?) sebagai konsekuensi human dignity yang diberikan oleh Tuhan, sementara agama menghendaki “kebebasan terbatas”. Pembatas dalam agama bisa berbentuk “norma”, “dogma”, “scriptures” dll. Seni dianggap bersumber pada sesuatu yang “profan” sementara sumber agama adalah sesuatu yang “sakral” dan Supernatural Being, yaitu Tuhan. Karena itu, sering kali terjadi ketegangan antara “seniman” di satu pihak dengan “agamawan” di pihak lain. Ingat kasus Salman Rushdie dengan “The Satanic Verses”-nya, H.B.Jasin dengan puitisasi Al-Qur’an-nya, atau Anjasmara dengan photo (setengah) bugilnya.  

Karikatur adalah bagian dari karya seni, dan karena itu kartunis adalah bagian dari keluarga seniman. Bagi (sebagian) kartunis tentu akan membela 12 kartun satiris Nabi Muhammad itu sebagai ekspresi “kebebasan seorang seniman” seperti ditunjukkan oleh kartunis Finn Graff, seorang kartunis Norwegia yang pernah menggambar kartun satiris tentang Jesus. Ekspresi pembelaan tidak hanya ditunjukkan kaum seniman tetapi juga para “pemuja kemerdekaan ekspresi”. Ketika Minggu ini majalah US News mengadakan polling tentang kartun-kartun itu, lebih dari 71% responden menyatakan pembelaan kepada kartunis atas dasar kemerdekaan dan kebebasan berekspresi. Sementara di pihak agamawan (Muslim) tidak akan pernah menerima kartun, gambar atau lukisan tentang Nabi Muhammad (meskipun mengekspresikan image yang positif tentang beliau) karena dasarnya jelas: diharamkan karena bisa mengarah pada pemberhalaan (idolatry). Disinilah masalahnya. Lalu dimana posisi media? Pada seni atau agama-kah seharusnya media berpihak?

Satu sisi media merupakan instrumen demokrasi yang sangat strategis dalam melakukan kritik dan mengontrol kebijakan negara sehingga posisinya harus “netral” dan “merdeka” dari segala intervensi (termasuk intervensi agama). Kebebasan berpendapat dan kemerdekaan berpikir adalah salah satu pondasi penting dalam masyarakat demokrasi. Prinsip ini juga berlaku bagi media—baik elektronik maupun cetak—yang berfungsi sebagai “jembatan” untuk menyebarkan informasi kepada publik. Karena itu dalam negara-negara demokrasi seperti Eropa dan AS, kebebasan pers sangat dijunjung tinggi dan dijamin selain oleh UU setempat, juga oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi HAM Eropa sebagai payung hukum yang lebih tinggi. 

Akan tetapi di pihak lain, pers atau media massa juga merupakan alat komunikasi publik. Sebagai alat komunikasi publik, media massa diharapkan menghargai kata “massa” disitu yang mengandaikan heterogenitas atau pluralitas masyarakat. Di sinilah maka media harus mampu menjaga “perasaan publik tertentu” (sensibility). Dengan kata lain, selain menjunjung tinggi kemerdekaan dan kebebasan, media massa juga harus menjunjung tinggi “keadaban” (civility). Editor US News & World Report, John Leo, menulis dengan sangat menarik dan simpatik: “Free speech is important, but, if millions of people think their faith is compromised by illustrations of a particular religious figure, why not just drop the illustrations?”. Dia mengulangi pendapatnya ini di Tawnhall.com. Dasar dari pemikiran Leo itu adalah “keadaban” (civility) tadi. Apalah artinya sebuah kebebasan kalau pada akhirnya hanya menciptakan kebencian dan kekerasan?

Sebaliknya, meskipun perasaan umat Islam terlukai oleh kartun-kartun tadi, bukan berarti mereka dihalalkan untuk merusak properti, melakukan intimidasi dan kekerasan kepada warga Denmark (atau orang Barat lain) yang tidak tahu menahu. Jika umat Islam melakukan ekspresi pembalasan dengan cara-cara kekerasan, mereka sama saja dengan pers Denmark tadi: sama-sama mengekspresikan kebebasan dengan tanpa mengindahkan keadaban.

Artikulli paraprakKhittah NU dan Siasat Politik Kiai
Artikulli tjetërApakah Tuhan Bahagia?
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini