Ini adalah lanjutan “Kuliah Virtual” tentang aliran Ibadiyah (al-Ibadhiyyah) atau Ibadisme atau Ibadi yang sempat tertunda. Bagi yang “mbolos” kuliah silakan dicek-cek dulu materi sebelumnya supaya nyambung. Sebagaimana Kristen yang memiliki banyak denominasi dan kongregasi, Islam juga sama. Ada banyak skisme, aliran, mazhab, sekte, dan organisasi Islam yang bertebaran di seantero jagat raya ini.

Embrio dari denominasi Islam kontemporer ini sudah ada sejak masa-masa awal perkembangan Islam pasca-wafatnya Nabi Muhammad (632 M) dan khususnya sejak tragedi pembunuhan Usman bin Affan (656 M)-khalifah ketiga pengganti Nabi Muhammad setelah Abu Bakar Siddiq dan Umar bin Khattab) dan meruncing sejak terbunuhnya khalifah keempat Ali bin Abi Thalib (661 M) yang kemudian menandai awal berdirinya emperium Islam.

Ada banyak “aliran teologi” utama yang kemudian pecah berkeping-keping menjadi berbagai sub-aliran, mazhab, sekte, ormas, dan partai dalam Islam yang sering kali saling bertentangan dan bermusuhan, meskipun sesama rumpun “aliran teologi” karena perbedaan kepentingan, pandangan keagamaan, tafsir keislaman, dlsb. Beberapa “aliran teologi” utama dalam Islam ini, antara lain, Sunni, Syiah, Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Jabbariyah, Qadiriyah, Dhohiriyah, Ibadiyah, dlsb.

Dari sekian banyak aliran teologi utama itu, ada yang berjaya sampai sekarang, ada yang mati terkubur limbo sejarah, ada yang “reinkarnasi” menjadi “makhluk” baru dengan cita rasa klasik, ada yang menyebar seperti cuka atau garam yang terasa tapi tak tampak, ada yang melakukan “sinkretisme” berbagai “ramuan” ajaran aliran teologi, ada pula yang eksis dalam pemikiran saja bukan berwujud nyata sebuah komunitas, dlsb.

Biasanya, eksis dan tidaknya berbagai aliran teologi ini sangat tergantung dari sukses dan tidaknya mereka membentuk “wadah politik” sebagai rumah pengikut aliran teologi ini. Karena itu jangan heran kenapa berbagai kelompok Islam begitu “gandrung” dengan politik kekuasaan. Mereka tahu, melalui wadah “politik kekuasaan” inilah yang bisa membuat para pengikut aliran eksis.

Dari sekian banyak aliran teologi itu, yang tampak wujud pengikutnya begitu banyak dewasa ini tentu saja Sunni dan Syiah, kemudian disusul Ibadiyah dan Dhahiriyah. Khusus untuk Ibadiyah yang menjadi topik bahasan “Kuliah Virtual” bisa dikatakan menempati rangking ketiga dalam hal populasi atau pengikut. Mereka utamanya tersebar di Oman sebagai satu-satunya “rezim Ibadi” yang eksis di dunia dewasa ini, kemudian di Zanzibar, Libia (di Jabal Nufusah dan Zuwarah), Tunisia (di Kepulauan Jerba), dan Aljazair (di Wad Mzab).

Seperti aliran-aliran Islam lain, Ibadiyah juga punya pandangan keagamaan sendiri, punya wawasan teologi sendiri, punya aturan-aturan Hukum Islam (fiqih) sendiri, punya tafsir keislaman sendiri, punya idola tokoh dan ulama sendiri, punya koleksi Hadis sendiri, dan seterusnya. Menarik untuk dicatat, banyak pihak menyebut Ibadiyah ini adalah “faksi moderat” Khawarij yang dikenal sebagai “faksi ultraradikal” dalam Islam yang terkenal dengan “doktrin takfiri” (hobi mengafirkan Muslim lain yang tidak sepaham dengan mereka) dan “doktrin pembunuhan”.

Memang dalam berbagai literatur awal Ibadiyah, termasuk para sarjana Oman, mereka sering menyebutnya sebagai “Khawarij” dan menyebut kelompok Islam ultraradikal tadi sebagai “al-Khawarij al-Jaur” (Khawarij tidak adil). Apapun namanya, yang jelas embrio Ibadiyah ini (dan juga Khawarij) adalah sebuah komunitas yang disebut “al-Muhakkimah” (diambil dari motto atau slogan mereka: “La hukma illa Allah”–“Tiada hukum selain Allah) yang terbentuk sejak peristiwa tragis pembunuhan Khalifah Usman tadi.

Kelak, dipimpin oleh Abdullah bin Ibad al-Tamimi (dari figur inilah nama “Ibadiyah” disematkan) yang merupakan “mentor politik” Ibadiyah, sebagian anggota al-Muhakimah memisahkan diri dari kubu lain yang dipandang terlalu ekstrim dan radikal. Ada sejumlah konflik internal dan perbedaan pandangan yang sangat fundamental yang membuat anggota al-Muhakimah pecah dan kemudian membenuk faksi-faksi sendiri termasuk Ibadiyah ini (bersambung). [SQ]

Artikulli paraprakAlgail
Artikulli tjetërAl-Qur’an itu “Kitab Liberal”
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.