Beberapa bulan terakhir ini saya bergumul dengan sejumlah persoalan yang cukup pelik: yakni pilihan berkarir di Indonesia atau tetap di “lurneg” (luar negeri) atau mancanegara. Memang sudah lebih dari 12 tahun saya berkelana menggeluti rimba belantara dunia akademik di Amerika Serikat kemudian Arab Saudi.

Ke depan, haruskah saya “mudik” permanen ke Tanah Air atau tetap menjelajah di dunia luar? Saya pernah menolak tawaran dua kampus bagus di Eropa dan tetap memilih berkarir di Saudi karena alasan tertentu yang bagi saya sangat fundamental. Tetapi belakangan muncul berbagai permintaan dan “desakan” sejumlah pihak agar saya “turun gunung” ikut nimbrung memberi “pencerahan” pada berbagai problem intelektual-keagamaan di Indonesia.

Saya sendiri sebetulnya mempunyai keinginan kuat suatu saat nanti (entah kapan, bisa cepat bisa lama) untuk “turun gunung” ikut berkontribusi dan membangun Indonesia sesuai dengan kemampuan dan kapasitas saya tentunya. Sebetulnya saya secara pribadi pernah mengutarakan keinginan untuk mudik ini kepada sejumlah petinggi kampus, tetapi tampaknya mereka sangat berat hati untuk saya tinggalkan, bahkan mereka menaikkan gaji saya secara signifikan. Mereka juga memberiku mandat dan amanat sebagai kepala penelitian di bidang ilmu-ilmu sosial yang cukup berat dan menantang. Mereka minta saya tetap mengabdi di kampus sampai tua ikut mengembangbiakkan ilmu-ilmu sosial dan humanities disini.

Satu sisi memang sangat berat sekali meninggalkan para kolega dan murid-murid Saudiku yang sangat baik dan juga humoris. Masyarakat Saudi, kesanku, adalah masyarakat yang memiliki selera humor tinggi, kontras dengan para “Arab KW” di Indonesia yang sukanya marah-marah. Rating mengajarku selalu tinggi mendekati sempurna yang menandakan kesukaan mahasiswa terhadap sistem belajar-mengajar yang saya terapkan.

Tetapi haruskah saya selamanya di Saudi atau di “lurneg” entah dimana? Haruskah saya terus mengajar untuk “orang-orang dari bangsa lain”? Apalah artinya hidup ini kalau tidak memberi kontribusi kepada masyarakat dan bangsanya sendiri? Apalah artinya hidup ini kalau hanya untuk menyenangkan dan memenuhi kebutuhan diri sendri atau keluarga saja tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat banyak?

Saya sadar, banyak tantangan yang luar biasa besar jika saya memutuskan untuk mudik suatu saat nanti. Dibutuhkan semangat perjuangan dan dedikasi yang lumayan serta pengorbanan yang tidak sedikit jika saya harus mudik. Tetapi bagiku, orang hebat itu bukan orang yang meniti karir akademik di luar negeri tetapi orang yang mampu mempengaruhi dan membawa “orang-orang asing” itu untuk datang ke dalam negeri: ke Indonesia dan belajar tentang keindonesiaan. [SQ]

Artikulli paraprakAntara Koh Ahok dan Habib Rizieq
Artikulli tjetërAntara Pluralitas dan Pluralisme
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini