Ini lanjutan “kuliah virtual” bab “perhabiban” yang sempat tertunda cukup lama. Panggilan “habib” sebagai sebuah gelar kehormatan untuk anak-cucu keturan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Muhammad itu hanya populer di Asia Tenggara (khususnya Indonesia dan Malaysia) saja, dan juga Yaman Selatan, khususnya Tarim, Hadramaut. Selebihnya tidak populer. Termasuk di Saudi dan Arab Teluk, sama sekali tidak populer dan jarang yang tahu sebutan “habib” ini.

Sebagian warga Saudi dan Arab Teluk mengerti sebutan “sayyid” atau “syarif” (untuk keturunan Ali-Fatimah binti Muhammad atau populer dengan sebutan Fatimah al-Zahra), bukan “habib”. Ingat ada dua Fatimah yang dinikahi oleh Ali, yaitu Fatimah binti Nabi Muhammad ini (dari Khatijah) dan Fatimah binti Huzam al-Kulabiyah yang populer dengan sebutan Ummul Banin (karena punya beberapa anak) yang dinikahi Ali setelah Fatimah al-Zahra wafat.

Gelar informal “habib” itu ditujukan untuk para sarjana Islam atau ulama yang mumpuni di bidang keilmuan keislaman dari kelompok “sayyid” atau “kaum sadah” ini. Kalau di Indonesia saat ini, yang layak digolongankan atau disebut “habib” itu seperti Habib Muhammad Quraisy Shihab atau Habib Muhammad Luthfi bin Yahya. Perlu diingat bahwa tidak semua sayyid itu habib tapi kalau sebutan/panggilang kehormatan “habib” (di Asia Tenggara / Yaman) sudah pasti sayyid, meskipun ada banyak yang memakai nama “habib” tapi bukan habib.

Di Saudi dan Arab Teluk pada umumnya, keturunan atau anak-cucu Ali-Fatimah al-Zahra ini (baik dari jalur Hasan maupun Hussein) ada yang berpaham Sunni (dari berbagai mazhab), tapi ada pula yang beraliran Syiah (dari berbagai mazhab). Nama-nama klan kaum sadah yang populer di Saudi (baik Sunni maupun Syiah) antara lain al-Qurasyi, al-Mahmud, al-Hasani, al-Attas, al-Jufri, al-Musawi, al-Salman, al-Hussaini, al-Hasyim, al-Musallam, dlsb.

Hubungan antar-klan / sub-suku keturunan Ali ini masih terjalin dengan baik, meskipun berbeda aliran keislaman. Perbedaan Sunni-Syiah tidak lantas membuat mereka bermusuhan. Bagi mereka, jaringan dan ikatan-ikatan kesukuan (“tribal partnership”-sebagai sesama keturunan Ali) jauh lebih kuat dan penting ketimbang “skisme teologi-politik” Sunni-Syiah yang banyak dipolitisir oleh banyak orang. Salah satu asisten risetku, Mahdi al-Mabruk, bahkan mengisahkan kalau di antara mereka juga terjadi kawin-mawin, tidak mempedulikan Sunni atau Syiah.

Dalam konteks kontemporer Saudi dan Arab Teluk, posisi kaum sadah ini sangat lemah dari aspek sosial-politik-budaya dan bahkan wacana keagamaan karena memang bukan suku/klan mereka yang saat ini menguasai jagat perekonomian, perpolitikan, kebudayaan, pendidikan, dan wacana keagamaan di kawasan Arab Teluk ini.

Kaum sadah sendiri juga biasa-biasa saja disini seperti kelompok non-sadah lain. Tidak merasa paling super, apalagi minta dihormati. Yang menentukan “istimewa” dan tidaknya mereka bukan “jalur genealoginya” tetapi tingkat pendidikan dan relasi mereka dengan suku/klan dominan (misalnya dari suku Bani Tamim yang sangat berpengaruh).

Murid-muridku juga cukup banyak yang dari keluarga sadah ini tetapi saya sama sekali tidak mengistimewakan mereka, mereka juga tidak minta untuk diistimewakan. Semua muridku saya perlakukan sama: Sunni-Syiah, sadah-non-sadah, Saudi-non-Saudi. Kalau hasilnya bagus ya lulus, kalau hasilnya jelek ya tidak lulus. Repot amat…(bersambung) [SQ]

Artikulli paraprakArab Tak Berarti Habib (10)
Artikulli tjetërArab Tak Berarti Habib (12)
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.