Menarik untuk dicatat, jika merujuk sejarah politik Irak, kesamaan suku dan klan tidak secara otomatis menjamin kesamaan atau kesatuan pandangan. Pula, perbedaan aliran keislaman dan keagamaan tidak secara otomatis menjamin perpecahan dan perbedaan pandangan. Ambisi politik dan kepentingan pribadi (atau kelompok) kadang mampu mengalahkan ikatan persaudaraan, tribalisme, pertemanan, dlsb.

Kerena itu sebetulnya mitos saja jika ada yang mengatakan bahwa sesama Sunni/Syiah itu bersatu, sesama Muslim bersatu, sesama sadah bersatu, sesama Arab bersatu, sesama Persi bersatu, sesama Kurdi bersatu, dan seterusnya. Dalam prakteknya atau realitasnya tidak selalu demikian: sangat kompleks dan njlimet dari yang dibayangkan, dikhayalkan, atau diidealkan.

Dalam sejarah Iraq, sesama keturunan Ali bin Abi Talib dan Fatimah al-Zahra (yaitu kaum sadah) juga terlibat oposisi. Misalnya perseteruan antara Raja Faisal I (Raja Irak pertama yang ditunjuk Inggris pada tahun 1921 setelah Inggris diberi mandat oleh Liga Bangsa-Bangsa untuk memerintah/mengntrol Irak sejak 1918 paska tumbangnya otoritas Turki Usmani) dan Perdana Menteri-nya yang pertama, yaitu Sayyid Abdulrahman al-Jailani atau al-Kailani (dalam Bahasa Persi).

Perseteruan itu dipicu oleh ketidaksetujuan Sayyid Abdulrahman atas penunjukkan Faisal I sebagai raja Kerajaan Irak. Setahun sebelum pengangkaan atau penunjukan sang raja, oleh Pemerintah Inggris, Sayyid Abdulrahman ditunjuk sebagai Kepala Dewan Menteri-Menteri Irak.

Para sarjana dan sejarawan mengsinyalir bahwa Sayyid Abdulrahman kecewa kepada Inggris yang tidak menunjuknya sebagai Raja Irak. Untuk “mengobati” kekecewaanya, Raja Faisal I dan Pemerintah Inggris menunjuknya sebagai Perdana Menteri, tetapi Sayyid Abdulrahman memilih untuk mengundurkan diri setelah kurang lebih setahun menjabat. Posisinya kemudian digantikan oleh Abdul Mukhsin al-Sa’dun. Al-Sa’dun adalah suku/klan berpengaruh di Irak sejak zaman Turki Usmani. Ia menjabat sebagai PM Kerajaan Irak hingga tahun 1929.

Penting untuk diketahui, baik Raja Faisal I maupun Sayyid (Syed) Abdulrahman adalah sama-sama keluarga sadah, dan sama-sama keturunan Hasan bin Ali bin Abi Talib. Faisal adalah putra Syarif Hussein bin Ali bin Muhammad bin Abdul Mu’in al-Hasymi (“raja-diraja” Kesyarifan Mekah). Sedangkan Sayyid Abdulrahman adalah keturunan ke-15 dari Sayyid Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (atau al-Kailani), tokoh Sufi legendaris yang banyak pengikutnya di kalangan kaum Muslim di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.

Perseteruan bukan hanya terjadi antara Sayyid Abdulrahman melawan Raja Faisal I saja. Kelak, sejarah perseteruan ini terulang kembali. Pada tahun 1941, Perdana Menteri Sayyid Rasyid Ali al-Jailani juga melakukan kudeta atas kepemimpinan Abdullah, sepupu Raja Ghazi bin Faisal I, yang bertinda sebagai “pelaksana raja” arena Ghazi waktu itu masih kecil.

Sesama etnik Kurdi juga bukan berarti menjamin kesamaan pandangan dan tujuan. Dengan kata lain, tidak semua tokoh Kurdi itu adalah “nasionalis Kurdi” seperti Syaikh Mahmud al-Barzanji (atau al-Birzinji) yang mengcita-citakan pendirian Kerajaan Kurdistan yang otonom atau independen. Bakr Sidqi adalah contoh tokoh Kurdi yang lebih memilih sebagai “nasionalis Irak” ketimbang “nasionalis Kurdi”. Jenderal Kurdi ini kelak terlibat kudeta gagal terhadap Kerajaan Irak yang akhirnya dieksekusi tahun 1937.

Dulu, banyak tokoh Sunni, Syiah, Kristen Nesoria, Yazidi, Assyria dlsb juga bersatu-padu untuk melawan Inggris pasca tumbangnya Turki Usmani. Dalam konteks Irak, benin-benih perseteruan Sunni-Syiah sebetulnya baru terutama sejak zaman Saddam Hussein berkuasa. Pada zaman ketika Irak menjadi kerajaan dan bahkan sebelumnya, Sunni-Syiah di Irak lebih banyak berteman ketimbang bermusuhan (bersambung). [SQ]

Artikulli paraprakArab Tak Berarti Habib (12)
Artikulli tjetërAsal-Usul Habib Rizieq
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.