Sebagaimana komunitas Tionghoa, orang-orang Arab juga sudah datang, meskipun dalam jumlah terbatas, ke kawasan yang kini bernama Indonesia jauh sebelum kedatangan para bangsa Eropa seperti Portugis dan Belanda. Kebanyakan mereka berasal dari Yaman selatan (Hadramaut), meskipun ada juga yang dari kawasan Arab lain, termasuk daerah “Arab hitam” (Afrika).

Karena teknologi pesawat terbang belum ditemukan, maka kelompok migran Arab ini menjadikan laut, khususnya Samudra Hindia, sebagai jalan utama transportasi. Setelah Portugis dan Belanda datang, intensitas migrasi menurun dan jumlah mereka pun berkurang. Kelak, setelah dibukanya Terusan Suez (Suez Canal) pada 1869 dan diperkenalkan teknologi kapal uap, komunitas Arab ini kembali berbondong-bondong ke Asia Tenggara.

Ada sejumlah sarjana dan sejarawan yang membahas tentang komunitas Hadrami Arab (baca, “Arab Hadramaut/Yaman) di Asia Tenggara ini seperti van den Berg, van der Kroef, Engseng Ho, Freitag, de Jonge, Azra, Jacobson, dan masih banyak lagi. Menurut para sejarawan ini, ada banyak motivasi kedatangan mereka disini: dari motivasi keagamaan (dakwah misalnya) sampai motivasi ekonomi. Tetapi pada umumnya motivasi terkuat mereka adalah untuk berdagang dan mencari penghidupan.

Sebab-sebab migrasi atau berkelananya bangsa Arab Yaman ke Asia Tenggara juga bervariasi, termasuk karena kekeringan dan kelaparan serta kekacauan sosial-politik yang melanda Yaman. Mereka berdagang dan mencari penghidupan di Asia Tenggara yang sebagian dikirim ke anggota keluarga di Yaman dengan cara dititipkan ke teman.

Seperti saya katakan sebelumnya, tidak semua kaum migran Arab di Nusantara berasal dari keluarga agamis, apalagi dari “keluarga sadah” atau “keturunan” keluarga Nabi Muhammad. Bahkan yang berasal dari “keluarga sadah” ini tergolong sedikit. Kebanyakan justru dari masyarakat non-sadah maupun awam (seperti kelompok Irshadi, qaba’il, maupun du’afa).

Lucunya, dari dulu, masyarakat Nusantara, khususnya kaum Muslim, menganggap semua orang Arab ini adalah para ahli agama sehingga diserahi tugas untuk mengurus masjid, membaca Al-Qur’an, dan hal-ikhwal ritual keislaman. Padahal, tidak semua dari mereka ini berasal dari keluarga terdidik dan relijius. Banyak sekali dari mereka yang berasal dari keluarga awam dan tak terdidik yang minim wawasan keagamaan. Banyak juga dari mereka yang berlatar pedagang, pekerja kasar, maupun bekas budak.

Dulu, kebanyakan dari kaum migran Arab ini adalah laki-laki sehingga banyak dari mereka yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan lokal di Nusantara. Hasil dari “perkawinan silang” ini disebut “Arab peranakan” atau populer dengan sebutan “muwallad”. Ini seperti kelompok Mestizos di Amerika Latin atau Filpina, yakni warga keturunan hasil perkawinan silang Eropa/Amerika dengan perempuan setempat. Warga Arab yang tidak memiliki “darah campuran” (mixed blood) disebut “wulayati”.

Jadi jelaslah bahwa ada banyak ragam warga Arab di Nusantara, tidak melulu “kaum sadah” apalagi “habaib”. Kelak, sebagian dari mereka, baik yang “kaum sadah” maupun “kaum Irshadi” (masyayikh) ada yang menjadi tokoh penting di Asia Tenggara seperti Sayyid Ali bin Usman bin Shihab (Sutan Siak di Riau), Sayyid Abdurahman al-Qadri (“pendiri Pontianak), Mari bin Amude Alkatiri (mantan Perdana Menteri Timor Leste), dlsb.

Pada zaman Belanda, peranan para tokoh Arab ini bermacam-macam: ada yang anti-kolonial dan pejuang heroik melawan penjajah Belanda seperti Syaikh Salim bin Abdullah bin Sumair. Tapi ada juga yang pro dan berteman setia dengan Belanda dan bahkan menjadi penasehat khusus pemerintah Belanda untuk urusan komunitas Arab seperti Sayyid Usman bin Abdullah al-Alawi al-Hussaini. Beliau menjadi penasehat Belanda atas usulan dari Christian Snouck Hurgronje. Pada waktu tokoh Muslim dan umat Islam di Banten dan sekitarnya mengibarkan perlawanan terhadap Belanda pada 1888, Sayyid Usman justru mengeluarkan fatwa haram melawan Belanda dan “pemerintahan kafir” Hindia-Belanda. [SQ]

Artikulli paraprakArab Tak Berarti Habib (2)
Artikulli tjetërArab Tak Berarti Habib (4)
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.