Banyak orang bilang, kalau sebuah negara sudah menerapkan secara legal-formal konstitusi, dasar negara, perundang-undangan dan tetek-bengek aturan lain yang “serba agamis”–serba Kristen, serba Islam, dan serba agama lain–maka penduduk atau warga negara itu, dari atasan sampai bawahan, akan menjadi orang-orang bijak, baik dan saleh karena mereka takut, tunduk dan patuh pada “aturan Tuhan”.
Boleh-boleh saja berpendapat begitu. Tetapi dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Anggapan bahwa negara akan menjadi subur makmur, gemah ripah loh jinawi kalau negara itu sudah menerapkan secara formal Syariat Islam atau Syariat Kristen, misalnya, hanya ada di alam dongeng. Karena orang itu pada dasarnya bukan takut kepada “Tuhan Besar” tetapi kepada “Tuan Besar”.
Lihatlah, misalnya, negara-negara yang secara ketat memberlakukan aturan-aturan agama, apakah orangnya dengan sendirinya agamis? Sama sekali tidak. Tidak sama sekali. Di ruang publik, mereka pura-pura agamis, di ruang privat lain lagi. Di negaranya, mereka seperti “kelinci manis”, diluar mereka seperti “komodo liar”. Kenapa itu terjadi? Karena mereka takut kepada “Tuan Besar” tadi bukan kepada “Tuhan Besar”. Jika taat kepada “Tuhan Besar”, maka mereka akan menjadi manusia-manusia bijak, kapanpun dan dimanapun mereka berpijak, tidak memandang ruang dan waktu.
Silakan luangkan waktu sedikit saja untuk membaca berbagai hasil penelitian, kajian dan karya-karya akademik tentang negara-negara yang dikenal ketat memberlakukan “aturan Tuhan”. Apa coba hasilnya? Apakah aturan-aturan itu “berbanding lurus” dengan perilaku masyarakat? Tidak. Hasilnya nol besar. Aturannya begini, orangnya begitu. Coba saja lihat Afganistan di zaman Taliban misalnya? Bobrok-njebrok negara ini di tangan para “bandit agama.”
Aturan dibuat sering kali untuk dilanggar atau untuk dijalankan warga “kelas kere” atau kaum yang tidak memiliki otoritas dan akses terhadap kekuasaan. Aturan (dari manapun dasar dan sumbernya) juga sering kali dibikin oleh “para penggede” atau penguasa (penguasa agama maupun politik) sebagai “mekanisme kontrol” warga negara saja agar begini, tidak begitu.
Karena itu jangan bermimpi lah kalau Indonesia kelak akan menjadi makmur dan sejahtera kalau sudah menerapkan dasar negara Islam, syariat Islam, konstitusi Islam, dlsb. karena yang “berislam” hanya dasar negaranya, syariatnya, konstitusinya, dll, bukan orangnya. Kalau orangnya mah sama saja, meskipun bajunya mungkin beda.