Nahdlatul Ulama (NU) kembali kehilangan kiai panutannya. Tidak tanggung-tanggung, kali ini yang dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa adalah Rais ‘Aam PBNU yang juga Ketua Umum MUI, KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (selanjutnya Kiai Sahal) yang wafat pada Hari Jum’at, 24 Januari 2014, pada usia 78 tahun. Jasad Kiai Sahal dikebumikan di kompleks makam Kiai Ahmad Mutamakin yang oleh masyarakat NU dianggap sebagai waliyullah dan leluhur para kiai di Kajen, Pati, Jawa Tengah, tempat Kiai Sahal dilahirkan. Kakek-buyut Kiai Sahal, kecuali ayahnya, KH Mahfudh Salam yang jasadnya hingga kini belum diketahui karena dibunuh tentara Jepang di penjara militer Ambarawa, juga dimakamkan disini sehingga oleh masyarakat setempat pusara ini disebut kompleks makam para wali.
Kiai yang sangat bersahaja ini bukan sembarang kiai di lingkungan NU. Mantan pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda dan Perguruan Islam Mathali’ul Falah ini adalah salah satu ulama yang turut membidani lahirnya sejumlah keputusan mahapenting di Tanah Air, baik menyangkut kepentingan NU, umat Islam, maupun bangsa dan negara Indonesia. Kontribusi penting Kiai Sahal untuk negeri ini tidak hanya terbatas di bidang pengembangan fiqih (hukum Islam) dan pemikiran keislaman saja melainkan juga di bidang pendidikan, perekonomian, jurnalistik, keormasan, serta politik-kenegaraan dan kebangsaan. Kiai Sahal juga seorang ulama yang gigih membela “empat pilar kebangsaan”: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Tidak seperti sejumlah tokoh ormas atau parpol pendatang baru berlabel Islam lain yang “gatal” ingin mengganti ideologi negara, meski tidak ikut berdarah-berdarah membela Tanah Air, Kiai Sahal berpendapat bahwa empat pilar kebangsaan ini merupakan harga mati bagi sebuah negara majemuk seperti Indonesia.
Lagi, tidak seperti sejumlah ulama dan tokoh agama lain yang “kemaruk kekuasaan”, Kiai Sahal tetap tidak mau “berpolitik praktis”, sembari terus melakukan “politik kultural” untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilainya menyeleweng dan tidak berorientasi pada kemaslahatan umat. Meski kritis terhadap pemerintah, Kiai Sahal tidak antipati terhadapnya. Baginya, institusi publik seperti pemerintah tidak bisa serta merta disalahkan karena semua tergantung pada orang yang mengelolanya. Juga, berbeda dengan sejumlah kiai dan pemimpin Islam lain yang berpenampilan “serba wah” dan bergaya hidup mewah bak kaum selebritis, Kiai Sahal tetap tampil sederhana dengan sarung dan kemeja khasnya. Rumahnya juga jauh dari kemewahan. Sebuah teladan yang semakin langka di negeri ini. Juga, jauh berbeda dengan para “ustad karbitan” yang meskipun hanya mengetahui sejumlah ayat dan hadis tapi berbuih-buih ceramah dimana-mana, Kiai Sahal tidak pernah mengumbar kata meski sangat dalam ilmu dan wawasan keislamannya.
Di bidang pemikiran keislaman, salah satu kontribusi penting Kiai Sahal adalah apa yang kemudian dikenal dengan sebutan “fiqih sosial,” yakni fiqih tidak lagi dipahami sebagai “kebenaran ortodoksi” yang berwatak hitam-putih melainkan sebagai “pemaknaan sosial” yang sangat dinamis dan kritis. Dalam pemahaman ini, fiqih tidak lagi berfungsi sebagai alat legitimasi kekuasaan, melainkan sebagai medium kritik sosial. Dengan berkelakar, Kiai Sahal pernah mengatakan, “pekeh” (baca, fiqih) itu kalau rupek ya diokeh-okeh.” Artinya, fiqih itu kalau menemui “jalan buntu” yang diubah—disesuaikan dengan kondisi perkembangan zaman. Berbeda dengan kaum “tradisionalis-konsevatif” yang bersikukuh pada tekstualitas atau “makna tersurat,” Kiai Sahal berpendapat bahwa fiqih sebagai produk pemahaman manusia sangat terbatas dengan ruang dan waktu, dan karena itu wajib hukumnya untuk terus diperbaharui. Bagi Kiai Sahal, umat Islam harus memperhatikan “makna tersirat” dan “tujuan hukum” (baca, maqashid shari’ah) dari sebuah teks keagamaan, dan bukan ketentuan-ketentuan verbal-formal yang tersurat dalam produk-produk hukum Islam.
Gagasan fiqih sosial Kiai Sahal sangat penting dan perlu terus dilestarikan apalagi iklim keagamaan dan pemikiran keislaman di Indonesia saat ini sedang menunjukkan tren kemunduran dengan maraknya ormas-ormas Islam pendatang baru, baik produk lokal maupun impor, yang mengusung ide-ide Islam “zaman batu” seperti khilafah, negara Islam, dan seterusnya. Ide-ide ini mereka kampanyekan tanpa mempedulikan kontekstualitas konsep-konsep tersebut bagi masyarakat Indonesia yang sangat majemuk ini serta, dan ini yang lebih penting, tanpa mengindahkan fondasi kenegaraan dan kebangsaan yang sudah dengan susah payah diperjuangkan—dengan tenaga, pikiran, harta, dan nyawa—oleh para pahlawan dan pendiri republik ini termasuk ayah kandung dan kakek-buyut Kiai Sahal.
Sebagai manusia biasa, Kiai Sahal tentu lumrah jika pernah melakukan kesalahan. Terlepas dari sejumlah kekhilafan (semoga Allah SWT mengampuninya), teladan penting yang bisa dipetik dari seorang Kiai Sahal adalah tentang keteguhan, kerendahatian, dan kesederhanaan. Tiga hal ini semakin susah dicari di bumi pertiwi ini yang semakin penuh-sesak dengan manusia-manusia plin-plan, angkuh, dan serakah. [SQ]
Sumber: Gatra, January 2014