Dalam sebuah konferensi di forum the Middle East Studies Association of North America tahun 1993, aktivis dan feminis Mesir, Nawal Sa’dawi (l. 1931) mengatakan, “there are no secular states. All states are religious.” Pernyataan Sa’dawi yang merupakan salah satu proponent “Islam progresif” ini tentu saja sebuah sindiran: sindiran terhadap para rezim dan elit politik, birokrat dan tokoh partai yang tampil “agamis” tidak hanya di negara-negara berbasis Muslim tapi juga di negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat.

Jamak diketahui jika AS, negara yang dianggap sebagai “kampium demokrasi” dan “sarang sekularisme,” dalam realitas politik-nya juga tampil sangat “religious” tidak hanya “Republicans” yang memang dikenal sangat “agamis” dan konservatif, bahkan bagi para pendukung Partai Demokrat itu sendiri yang dipandang “liberal” juga tampil religious dalam pengertian mengapresiasi simbol-simbol, jargon, dan diskursus keagamaan dalam arena politik sekuler.

Apa makna semua ini? Apakah ini pertanda kematian ajaran-ajaran Nietzsche? Sosiolog Boston Universoty Peter Berger suatu saat bercerita kepada saya bahwa ia pernah melihat sebuah mobil di Boston bertuliskan: “Nietzsche is dead!”. Tentu yang dimaksud si penulis ini bukanlah jasad Nietzsche yang mati karena memang ia telah meninggal lebih dari seabad yang lalu. Yang ia maksud tentu saja adalah “doktrin Nietzsche” yang meramalkan “kematian Tuhan” itulah yang telah mati.

Memang sejak 1990-an, agama kembali menjadi sorotan publik intelektual setelah sekian lama mati suri “dibunuh” oleh ajaran sekularisasi. Pemicunya tentu saja adalah munculnya gelombang religiously marked social and political movements sejak 1980-an dari “fundamentalisme” Islam di Timur Tengah dan Afghanistan sampai “teologi pembebasan” Katolik di Amerika Latin. Sejak era itu, agama-agama di seluruh dunia “keluar dari sarang”: dari ruang privat (private sphere) ke kehidupan publik (public life)—sebuah fenomena yang menyebabkan munculnya “deprivatisasi agama” atau, meminjam istilah Peter Berger (1999), “desekularisasi dunia” dalam kehidupan modern.

Munculnya gelombang agama ke ruang-ruang kehidupan publik ini (termasuk dunia politik) mendorong sosiolog agama ternama Jose Casanova dari Georgetown University menulis sebuah buku menarik dan berpengaruh luas, Public Religions in the Modern World (1994). Buku ini secara khusus mengeksplorasi gerakan keagamaan dari dua tradisi agama, Katolik dan Protestan, di empat negara: Spanyol, Brazil, Amerika Serikat, dan Polandia.

Perlu dicatat bahwa fenomena “public religions” ini tidak hanya terjadi di kawasan berbasis Katolik atau Protestan saja tetapi juga merambah ke “dunia Islam.” Fenomena “public Islam” ini baik di Arab/Timur Tengah maupun kawasan berbasis Islam lain seperti Asia Tenggara, Afrika Utara, Asia Selatan, Turki, dll telah banyak ditulis oleh para sarjana dan spesialis kajian-kajian masyarakat Muslim seperti Dale Eickelman, John Esposito, Robert Hefner, James Piscatori, Augustus Norton, Mansoor Moaddel dan masih banyak lagi. Tulisan-tulisan mereka misalnya bisa dilihat dari buku yang diedit oleh antropolog Boston University, Robert Hefner, Remaking Muslim Politics: Pluralism, Contestation, and Democratization, juga sebuah buku yang diedit oleh sosiolog dari Eastern Michigan University, Mansoor Moaddel: Values and Perceptions of the Islamic and Middle Eastern Publics.

Inti dari karya-karya para ilmuwan sosial tadi adalah untuk mempertanyakan kembali tesis-tesis klasik teori sekularisasi yang berakar pada tradisi intelektual Eropa abad ke-19 yang meramalkan bangkrutnya peran agama di sektor publik seiring dengan proses modernisasi (dan dengan demikian sekularisasi) di negara-negara Eropa maupun non-Barat. Seperti kita tahu para pemikir sosial klasik seperti Comte, Spencer, Durkheim, Weber, Marx, Freud, Nietzsche, dll percaya bahwa peran agama akan layu dan mengalami gradasi signifikan sejalan dengan hadirnya masyarakat industri pasca Pencerahan Eropa.

Mereka tidak sendirian. Para filfuf, sosiolog, antropolog, psikolog, dan ilmuwan politik sampai pertengahan abad ke-20 juga berbondong-bondong meramalkan tumbangnya peranan agama dari kehidupan publik dan praktek politik. Mereka mengpostulasikan bahwa jenis-jenis takhayul teologis (theological superstitions), ritual-ritual simbolis (symbolic liturgical rituals) dan “praktek-praktek suci” (sacred practices) yang menjadi “trade-mark” dan produk masyarakat tradisional agraris akan lenyap dari muka bumi, dan berganti dengan kehidupan modern dan sekuler yang serba rasional dan anti-agama.

Mereka berasumsi bahwa modernisasi beserta “rombongannya” (sekularisasi, rasionalisasi, urbanisasi, birokratisasi, dst.) adalah kunci revolusi historis yang mampu mengtransformasi masyarakat agraris pertengahan yang ditandai dengan kehidupan serba sakral dan “agamis” baik dalam pemikiran, praktek, maupun institusi, ke bangsa-bangsa industri modern yang rasionalistik dan jauh dari dunia agama, klenik, dan megis. Meminjam istilah ‘tokoh sekuler’ dan humanis dari Harvard University, Harvey Cox, proses modernisasi akan membawa manusia ke sebuah “kota sekuler” (secular city). Pippa Norris dan Ronald Inglehart dalam Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide dengan tepat menulis, “the death of religion was the conventional wisdom in the social sciences during most of the twentieth century” (Norris dan Inglehart 2007: 3).

***

Dengan meluasnya gerakan-gerakan sosial-politik berlabel agama sejak 1980-an dan 1990-an, tesis-tesis teori sekularisasi yang meramalkan “kematian agama” tadi mulai mendapat kritik tajam bahkan dari para pendukungnya sendiri. Faktor-faktor yang menjadi basis untuk mengkritik teori sekularisasi itu dan mendukung teori “revitalisasi agama,” al, munculnya fenomena “vitalitas agama” di panggung publik seperti trend konservatisme Kristen di AS, gerakan spiritualitas New Age di Eropa Barat, revivalisme kaum Evangelis di Amerika Latin dan Asia Timur, kekerasan berbasis agama di berbagai belahan dunia, dan tentu saja, pertumbuhan gerakan fundamentalisme dan “neo-fundamentalisme” agama (ini istilah Oliver Roy), kaum Salafi, dan partai-partai berbasis agama di “dunia Islam.”

Melihat fenomena menguatnya kembali peran dan fungsi agama di domain publik ini, para ilmuwan sosial yang dahulu menjadi pengusung teori sekularisasi kemudian “balik kanan” mengkritik teori ini. Peter Berger, misalnya, yang pada 1960-an menjadi salah satu advokat teori sekularisasi bersama Harvey Cox, Thomas Luckman, David Martin, Brian Wilson, dll, kemudian berbalik menyerang para “pengecer” teori ini. Pada 1999, Peter Berger mengedit sebuah buku yang menjadi “titik balik” pandangannya: Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics.

Dengan semangat, Berger menegaskan, “the assumption we live in a secularized world is false…. The world today is as furiously religious as it ever was.” Kini, Berger sedang menekuni gerakan puritanisme agama khususnya kaum Evangelis yang menjadi salah satu penanda tumpulnya teori sekularisasi dan revitalisasi agama tadi. Lebih lanjut, Rodney Stark dan Roger Finke bahkan menyarankan untuk “mengubur” doktrin-doktrin sekularisasi yang mereka anggap telah gagal dalam menyikapi fenomena masyarakat modern.

Tanpa bermaksud mengamini pendapat Berger dan para kritikus doktrin sekularisasi, sejak dua dasawarsa terakhir agama memang kembali menjadi faktor penting dan identitas budaya yang paling diperhitungkan dalam kehidupan politik. Dalam konteks sejarah Islam modern, suksesnya Imam Khomeini dalam menumbangkan “ikon sekuler” rezim Pahlevi dalam sebuah “Revolusi Islam Iran” tahun 1979 menjadi titik awal bangkitnya gerakan-gerakan keagamaan yang mengusung simbol-simbol, ideologi, dan identitas keislaman. Nilai-nilai konservatisme Shi’ah ini dilestarikan oleh para rezim politik pasca Khomeini. Hanya mantan Presiden Khatami yang berakar pada tradisi moderat Shi’ah.

Kesuksesan Khomeini ini disusul oleh gemilangnya pasukan Mujahidin di bawah komando Abdullah Azam (pendiri Hamas) dan para “landlord” Afghan seperti Ahmad Sjah Massoud, Gulbuddin Hekmatyar, Abdul Rasul Sayyaf, dll yang mampu memukul mundur “Tentara Merah” Uni Soviet dari Afghanistan dan Pakistan Utara pada akhir tahun 1980-an. Kekalahan telak Uni Soviet menyebabkan bercokolnya kaum Islamis impor dari Arab di negera yang mendapat sebutan “jalan raya penaklukan” itu. Sejak itulah Osama Bin Laden mulai nenanamkan otoritasnya dengan menjadikan Taliban dan Mullah Omar sebagai “pion”-nya. Kemenangan tentara Mujahidin ini memberi inspirasi munculnya sayap “Islam garis keras” yang membentang dari Mesir sampai Philipina Selatan, dari Saudi Arabia sampai Indonesia.

Gerakan “Islam politik” juga kembali mendapatkan momentum signifikan di Turki, negara yang menjadi “ikon sekularisme” dunia Islam, setelah Justice and Development Party (dikenal dengan AKP) berhasil dengan gemilang meyakinkan “publik sekuler” Turki sejak akhir 1990-an/awal 2000-an, dan berturut-turut dalam setiap pemilu mampu menjungkalkan rezim Kemalis-Sekuler-Nasionalis yang sejak pendirian negara Turki modern tahun 1923 menjadi “the ruling blocs” (untuk meminjam istilah Gramsci) di negeri itu. Meskipun AKP tidak bisa dikatakan sepenuhnya sebagai “partai Islamis” karena dasar-dasar pergerakannya yang pro-Barat dan jauh dari proyek “Islamisasi” masyarakat dan negara, tapi appeal mereka terhadap simbol-simbol keislaman telah menyebabkan partai ini “dianggap” representasi golongan umat Islam tertentu.

Sementara itu di negara-negara Arab dan Timur Tengah terutama di kawasan berbasis Sunni, meskipun kelompok “Islam politik” belum berhasil menggoyang “rezim sekuler,” mereka mendapat dukungan publik sangat signifikan seperti yang dialami kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir atau kelompok Hamas di Palestine. Di negara-negara dimana Shi’ah menjadi kelompok agama utama seperti Iran, Iraq, dan Lebanon, kelompok “Islam politik” juga bergaung dengan kencang.

***

Bagaimana dengan Indonesia? Di negara ini, gerakan “Islamisme,” yakni sebuah gerakan keagamaan yang tidak hanya menganggap Islam sebagai sebuah “ideologi politik” tetapi juga penerapan ide-ide tradisional Islam sebagai “an all encompassing religion to modern society,” mulai tumbuh subur sejak akhir tahun 1980-an/awal 1990-an, ketika Presiden Suharto waktu itu mulai mengubah kebijakan politik yang semula sangat strict terhadap kelompok umat Islam dan lebih menyukai gaya kepemimpinan yang sekuler-abangan, menjadi “pro-Muslim.”

Saat itu, Suharto menolerir organisasi dan gerakan-gerakan keislaman sepanjang tidak berorientasi pada kegiatan politik yang mengancam eksistensi negara dan rezim Orde Baru. Sejak itulah, mulai bersemi kelompok “islamis,” kaum Salafi, atau “Gerakan Tarbiyah.” Gerakan Tarbiyah dan “Islamisme” yang semula berorientasi pada dakwah dan kesalehan individual ini kemudian aktif secara politik sejak 1998 ketika Orde Baru oleng—dan akhirnya tumbang—akibat serbuan badai krisis ekonomi dan moneter yang mengguncang Asia.

Runtuhnya Orde Baru mendorong Jamaah Tarbiyah untuk mendirikan sejumlah organisasi dan partai yang aktif dalam kegiatan politik, al, KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dan Partai Keadilan (kemudian menjelma menjadi Partai Keadilan dan Sejahtera sejak 2003). Penting untuk dicatat bahwa gerakan “Islamisme” di Indonesia—juga negara-negara berbasis Muslim lain pada umumnya—bukanlah sebuah gerakan monolitik dan “seragam” seperti yang diasumsikan oleh sebagian pengamat dan komentator.

Gerakan ini sangat variatif baik dari segi motif, kepentingan, niat, interpretasi, strategi, aksi, serta formasi dan struktur organisasi keagamaannya: dari Jama’ah Islamiyah yang ‘clandestine’ dan radikal sampai Hizbut Tahrir yang, meskipun sangat ideologis, menggunakan strategi dan aksi yang relatif peaceful (dan “pro-militer”), dari Front Pembela Islam dan kelompok sejenis yang frontal dan urakan sampai PKS yang selalu mencitrakan diri sebagai partai “bersih” dan “islami” serta berusaha tampil simpatik di hadapan publik dengan memperjuangkan demokrasi dan toleransi, meskipun sebetulnya berwatak islamis-idelogis dan intoleran.

Gerakan PKS yang “pseudo-democratic” ini mirip dengan fenomena Hizbul Wasat (“Partai Tengah”), sebuah pecahan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Seperti ditulis oleh Anthony Bubalo dan Greg Fealy di Joining Caravan? The Middle East, Islamism, and Indonesia, ada persamaan-persamaan mendasar antara PKS dan Hizbul Wasat sehingga mendorong asumsi adanya pengaruh gerakan kader-kader muda Ikhwanul Muslimin Mesir ini di tubuh PKS.

Beberapa persamaan antara PKS dan Hizbul Wasat yang diidentifikasi oleh Bubalo dan Fealy (2005: 70-3), al, (1) keduanya sama-sama partai berbasis kader, (2) keduanya juga menggunakan “community service” untuk memikat rakyat banyak seperti pelayanan kesehatan, bencana alam, dst; dan (3) keduanya meninggalkan strategi dan taktik para pendahulu mereka (Ikhwanul Muslimin untuk Hizbul Wasat dan kelompok Tarbiyah untuk PKS) yang kental dengan “kosakata” keislaman dalam semua urusan publik ke bahasa demokrasi dan reformasi ekonomi, serta sedikit membuka diri terhadap kelompok non-Muslim.

Jika Hizbul Wasat membuka “pendaftaran” untuk kaum Kristen Koptik, PKS juga melakukan hal yang sama dengan membuka peluang buat kelompok non-Muslims meskipun kemudian mendapat protes keras dari kader-kadernya sendiri. Sementara kelompok Tarbiyah menganggap islamisasi masyarakat, ekonomi, dan negara sebagai “cornerstone” perjuangan mereka, PKS “mengesampingkan” isu-isu ini—setidaknya dalam setiap kampanye pemilu—dan fokus, rethorically, pada tema-tema sekuler seperti perang melawan korupsi, perjuangan persamaan sosial-ekonomi dan reformasi politik.

Tentu saja hal itu bukan berarti bahwa para pemimpin PKS telah meninggalkan “komitmen keislaman” dan mengabaikan “identitas Islam.” Apa yang mereka lakukan hanyalah bagian dari strategi, taktik, atau “ritual” dalam “panggung politik” untuk mengais dan mendapatkan support publik semata. Politik, menurut antropolog F.G. Bailey dalam buku klasiknya Stratagems and Spoils, adalah “orderly competitive game.”

 Mendiang Clifford Geertz juga pernah menggambarkan negara ibarat sebuah “teater” atau “panggung sandiwara.” Sebagaimana halnya sebuah “game” atau panggung teater, politik juga berisi para aktor dan agen (pemain lapangan, sutradara/mastermind, dst) yang saling berebut pengaruh dan berkompetisi guna memenangkan sebuah pertandingan. Siapa yang berhasil menguasai “aturan main” (rules/scripts) dan mengerti “psikologi massa,” maka merekalah yang akan memenangkan pertandingan tadi.

Berdasarkan kerangka pemikiran inilah, kita hendaknya harus membaca gerak-gerik para tokoh dan elit politik secara hati-hati apalagi menjelang pemilu seperti saat ini, banyak para aktor politik berkeliaran dalam panggung teater bernama “Indonesia.” Mereka saling memamerkan simbol dan identitas (baik agama, etnis, bahasa, dst.) dan berebut massa dengan menampilkan “citra” yang agamis, toleran, dan pro-rakyat. Dalam konteks “panggung teater” ini pulalah, hendaknya kita membaca secara cerdas perilaku para tokoh/elit dan partai politik tertentu.

Meskipun para “jubir” PKS berbusa-busa mengatakan partainya sebagai partai yang komitmen pada demokrasi, toleransi, dan pluralisme, dokumen-dokumen training PKS dan website mereka mengindikasikan sebaliknya (Bubalo dan Fealy 2005). Tidak hanya elit PKS, para tokoh/elit politik dari parpol lain yang tiba-tiba di setiap menjelang pemilu berubah atau “bermimikri” menjadi islami, saleh, demokratis, toleran, dan pro-rakyat kecil juga harus kita sikapi dengan penuh kewaspadaan dalam setting “panggung teater” politik tadi. Warga negara yang cerdas adalah warga yang mampu membaca dan membedakan antara “on stage” (di atas panggung politik) dan “off stage” (di belakang panggung). Sering kali apa yang terjadi di “atas panggung” adalah sejenis “politik kamuflase” yang jauh dari realitas yang sebenarnya (“di belakang panggung”).

Dengan demikian, menguatnya peran agama di dunia politik dan public life seperti diuraikan di atas harus kita baca dalam kerangka “politisasi agama” yang bermuara pada kepentingan pragmatis individu, kelompok, atau aktor agama tertentu, dan bukan demi kepentingan agama, apalagi Tuhan.[SQ]

Sumber: Nawala, No. 09, July/2009 (http://wahidinstitute.org)

Artikulli paraprakBerpulangnya “Kiai Fiqih Sosial”
Artikulli tjetërKaum Perempuan dalam Tradisi Kristen dan Islam
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.