Di negara manapun di dunia ini—baik negara yang sudah maju maupun belum maju—cerita dan sejarah perempuan di dunia pendidikan selalu tidak mengenakkan: penuh dengan perjuangan heroik “kaum hawa” untuk menuntut hak-hak fundamental mereka yang dirampas oleh “bani Adam”. Dalam sejarah umat manusia, “rezim Islam” (baik rezim politik maupun “rezim agama”) bukan satu-satunya yang menjadi penghalang bagi kemajuan kaum perempuan. “Rezim Kristen” (lagi, baik “rezim politik” maupun “rezim agama”) juga sama. Sejarah perempuan dalam tradisi Kristen tidak jauh berbeda dengan Islam.

Sudah tidak asing lagi jika kedua agama besar yang jumlah pengikutnya mendominasi para pemeluk agama di jagat raya ini dalam sejarahnya sama-sama kurang memberi apresiasi positif terhadap kaum perempuan. Ada banyak karya akademik, baik dalam Kristen maupun Islam, yang mengulas fenomena ketidakberuntungan kaum perempuan ini baik dalam bidang pendidikan maupun di peran-peran publik sebagai aktor politik misalnya atau sektor keagamaan seperti peran perempuan dalam kependetaan atau keulamaan. Sebagaimana dalam Islam seperti nanti saya uraikan, Kristen juga dalam sejarahnya sangat membatasi peran perempuan dalam memimpin ritual-ritual agama misalnya. Mereka harus jungkir balik memperjuangkan hak-hak kekristenan mereka di hadapan jamaah laki-laki sampai akhirnya dengan cukup gemilang mampu membawa kaum perempuan ke “maqam” yang sama dengan laki-laki.

Saya ingin memaparkan dengan singkat sejarah dan perjuangan kaum perempuan dalam Kristen dengan mengambil contoh Amerika, negara yang oleh sosiolog Peter L. Berger dalam Religious America, Secular Europe disebut sebagai “sangat agamis” dibanding dengan “pendahulu” mereka di Eropa. Amerika ini menarik untuk disimak mengingat negara ini didirikan oleh para tokoh Kristen Protestan yang dalam slogan-slogannya menentang Katolik yang dianggap sebagai “agama tradisional” dan kurang peka terhadap perubahan zaman termasuk menyangkut hak-hak azasi kaum perempuan tentunya. Meskipun Protestan ini mengklaim sebagai “agama reformis” yang peka terhadap kemodernan dan peran perempuan dalam keagamaan dan domain publik, sejarah perempuan di negara Paman Sam ini, terutama sejarah mereka di dunia pendidikan, tidak selalu berjalan mulus.    

Dalam sejarah Kristen Amerika misalnya (dan sejarah kekristenan pada umumnya) perempuan pernah dianggap tidak layak menempuh pendidikan tinggi karena hal itu sama saja dengan menyalahi “kodrat kewanitaan”. Jika ada perempuan yang gemar belajar, membaca buku atau meningkatkan pengetahuan, masyarakat (terutama laki-laki) mengejeknya sebagai “unsexed” atau ia tidak lagi berminat menjadi seorang perempuan yang menurut pandangan kaum laki-laki Amerika waktu itu harus di dalam rumah untuk mengurus dan membesarkan anak, melayani suami atau mengurus kebutuhan domestik rumah tangga. Kalaupun ada perempuan yang berpendidikan tinggi itupun di bidang yang menyangkut keahlian domestik rumah tangga seperti menjahit, menyulam, memasak dan sejenisnya.

Pada masa kolonialisme Eropa di Amerika (terutama Inggris, Perancis, Spanyol dan Belanda) sampai pada masa-masa awal pendirian negeri Paman Sam ini (Amerika Serikat memproklamirkan kemerdekaan dari Inggris pada tanggal 4 Juli 1776), perempuan memang dianjurkan atau diajari menulis dan membaca tapi hanya sebatas di rumah saja tidak boleh di sekolah. Mereka baru diperbolehkan masuk sekolah formal kalau ada bangku sekolah yang masih kosong atau tidak ada siswa laki-lakinya, dan itu biasanya terjadi di musim panas pada saat laki-laki berangkat kerja.   

Realitas sejarah kaum perempuan Kristen yang tidak mengenakkan ini tentu saja sangat disayangkan mengingat peran kaum perempuan begitu penting dalam sejarah kekristenan sangking pentingnya sehingga Yesus Kristus dan Injil menempatkan mereka di tempat yang mulia seolah sebagai “penjelmaan” dari Bunda Maria. Dalam Women in Church History, Joanne Turpin menulis, “Jesus made no secret about his feelings toward women. He gifted them with his healing touch, invited them to be among his disciples and welcomed them as friends. In turn, they supported his mission, followed him along the dark road to Cavalry and remained faithfully near the tomb. Jesus rewarded their fidality with the supreme joy of being the first witnesses to his Resurrection.That is where the story of women in the church begins and a glorious beginning it is.”

Turpin tidak berlebihan dalam memberikan gambaran tentang “kaum perempuan yang fenomenal” dalam tradisi Kristen ini. Sejarah mencatat kaum perempuan Kristen memang menjadi salah satu ikon pergerakan moral yang heroik dan advokat perubahan sosial yang tanpa kenal lelah. Sejak Prisca the Evangelist di abad pertama Roma sampai para pejuang perempuan Kristen di abad modern seperti Bunda Teresa di India, Dorothy Stang di Brazil, atau Leymah Gbowee di Liberia, semua adalah para perempuan perkasa yang memperjuangkan hajat hidup orang banyak di berbagai sektor kehidupan: ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan, pelayanan sosial dan seterusnya. Teolog Mary T. Malone telah mendokumentasikan dengan baik sepak terjang kaum perempuan yang sangat inspiratif dalam perannya masing-masing baik sebagai misionaris, pendidik, penulis, pejuang sosial, aktivis perdamaian dan lain-lain dalam sejarah Kristen sejak abad pertama Masehi hingga kini dalam tiga jilid bukunya: Women and Christianity.

Meski peran kaum perempuan tidak bisa diabaikan dalam sejarah kemanusiaan dan teks-teks utama keagamaan (seperti Injil dan Al-Qur’an) juga mengakui secara positif kedudukan dan kontribusi mereka, fakta-fakta sejarah kadang-kadang menunjukkan cerita yang memilukan atas nasib kaum Hawa ini. Seperti saya singgung diatas, Amerika sebagai salah satu “negara Kristen” utama di dunia (khususnya Protestan), sejarah kaum perempuan juga tidak selamanya mengenakkan sampai munculnya gelombang feminisme di abad ke-19 dan ke-20 yang menentang keras supremasi kaum laki-laki. Dilatarbelakangi oleh asumsi adanya ketidakadilan terhadap perempuan dalam diskursus kekristenan, sebagian kaum feminis di Amerika membangun premis-premis feminisme di atas fondasi sekularisme yang menyerang doktrin-doktrin keagamaan yang dinilai bias gender.

Sampai awal abad ke-20, hanya segelintir kampus di Amerika yang mau menerima kaum perempuan. Kampus pertama yang bersedia menerima kaum Hawa sebagai murid adalah Oberlin College di Ohio. Kampus yang didirikan oleh Marvin Krislov pada 1833 ini tercatat sebagai kampus pertama di AS yang mau menerima perempuan dan warga kulit hitam keturunan Afrika sebagai mahasiswa untuk level S1. Almamater saya, Boston University (BU), juga tercatat sebagai “kampus terbuka” yang sejak abad ke-19 sudah membuka peluang bagi perempuan dan kulit hitam untuk menempuh di jenjang perguruan tinggi tidak hanya di level S1 seperti di Oberlin College tapi bahkan sampai S3. Tercatat BU adalah kampus pertama di AS yang meluluskan doktor warga kulit hitam keturunan Afrika. BU juga mencatat sebagai kampus pertama yang memperkerjakan perempuan.

Baru abad ke-20 ada banyak kampus di Amerika yang bersedia menerima mahasiswa perempuan campur dengan laki-laki. Sebelumnya kampus-kampus di AS pada umumnya mengikuti kebijakan “sex-segregated school systems”, yakni kebijakan pendidikan yang memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu tidak mengherankan jika di AS dalam sejarahanya kalaupun ada kampus yang bersedia menerima kaum perempuan sebagai mahasiswa, mereka biasanya ditempatkan di kampus khusus perempuan, seperti pondok pesantren putri di Jawa, yang terpisah dengan “kampus laki-laki.” Kampus sekarang tempat saya bekerja misalnya, University of Notre Dame (populer dengan sebutan Notre Dame), dulunya adalah khusus untuk mahasiswa laki-laki saja sementara mahasiswa perempuan ditempatkan di Saint Mary’s College yang lokasinya tidak jauh dari Notre Dame. Baru pada tahun 1970-an, Notre Dame bersedia menerima mahasiswa perempuan setelah melalui perjuangan keras yang dilakukan oleh tokoh legendaris Theodore Hesburgh (Father Ted, kini 97 tahun), seorang tokoh “Katolik progresif”, aktivis anti nuklir dan rasialisme, dan pejuang perdamaian global. Father Ted yang pernah menjadi Presiden Notre Dame selama hampir 40 tahun itu berjuang keras meyakinkan para teolog dan tokoh agama Katolik bahwa perempuan harus ditempatkan sejajar dengan kaum laki-laki dalam sistem pendidikan. Berkat kerja keras Father Ted inilah Notre Dame sekarang menjadi kampus yang gencar memperjuangkan hak-hak kaum perempuan di segala bidang kehidupan.

Di Amerika, perjuangan untuk meningkatkan dunia pendidikan kaum perempuan memang telah diupayakan sejak pertengahan abad ke-18 tetapi gemanya hampir tidak bergema. Pada 1848, misalnya telah diselenggarakan sebuah konvensi kaum perempuan di Secena Falls, New York, yang kemudian terkenal dengan sebutan “Secena Falls Convention” yang merupakan pertemuan atau konferensi kaum perempuan pertama dalam sejarah AS (bahkan mungkin dalam sejarah Barat). Konferensi historis ini dipimpin oleh dua orang aktivis perempuan dari Quaker: Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton. Konferensi ini dimaksudkan untuk membahas dan mencari dukungan atas hak-hak perempuan di dunia pendidikan dan sektor lain yang menyangkut hak-hak fundamental mereka termasuk hak untuk berbicara di ruang publik. Penting untuk diketahui, kaum perempuan dulu juga dilarang untuk berbicara di forum publik yang dianggap sebagai “forumnya laki-laki”. Lucretia Mott, seorang orator ulung, dianggap sebagai perempuan Kristen pertama di AS yang membongkar tabu ini.

Meski begitu dampak dari konferensi ini dan berbagai upaya perjuangan feminisme lain pada abad ke-19 masih sangat kecil bagi kaum perempuan. Hal itu disebabkan dalam kultur Amerika waktu itu, kaum perempuan masih dianggap sebagai “properti laki-laki” bukan individu yang otonom dalam masyarakat. Dalam kultur ini yang tentu saja sangat dipengaruhi atau dibentuk oleh diskursus teologi kekristenan, kaum laki-lakilah yang menentukan masa depan kaum perempuan termasuk tentu saja masa depan mereka di dunia pendidikan. Baru sejak 1930-an Amerika mengalami perubahan besar-besaran dalam memperlakukan perempuan di dunia pendidikan setelah melalui berbagai upaya tanpa kenal lelah dari kaum feminis Kristen. Sejak itu pula pelan tapi pasti perempuan berada di tempat sejajar dengan laki-laki baik di dunia pendidikan maupun di sektor kehidupan lain.

Di berbagai kampus di AS dewasa ini, rasio mahasiswa perempuan bahkan lebih tinggi daripada laki-laki. Perempuan juga sudah banyak diterima sebagai tenaga edukasi dan administrasi di perguruan tinggi, baik sebagai staf, profesor, maupun peneliti yang mendapat hak-hak dan gaji yang sama dengan kaum laki-laki. Bahkan beberapa kampus di AS memiliki rektor, dekan, direktor dan berbagai jabatan tinggi lain yang dipegang oleh kaum perempuan. Kini kaum laki-laki di AS tidak lagi memandang “sebelah mata” dengan kaum perempuan apalagi jumlah mereka lebih banyak daripada laki-laki, dan karena itu “suara perempuan” ini sering kali sangat menentukan wajah dan formasi kepolitikan Amerika.

Seperti pada pemilu presiden belum lama ini, terpilihnya kembali pasangan Barack Obama dan Joe Biden dari Partai Demokrat karena mereka mendapat gelontoran suara dari pemilih perempuan di kota-kota. Berbagai poster bertuliskan, “Don’t piss off me!” (“Jangan remehkan saya!”) yang ditulis oleh kaum aktivis perempuan begitu marak yang merupakan kritik terhadap kubu Partai Republik yang dianggap mengabaikan pemilih perempuan. Di AS kini setiap upaya melakukan kritik terhadap peran aktif perempuan di sektor publik yang disuarakan oleh kelompok konservatif Kristen selalu mendapat perlawanan sengit tidak hanya oleh kaum perempuan saja tetapi juga kaum laki-laki yang mempercayai egalitarianisme perempuan baik di mata Tuhan maupun di mata hukum.  

***

Sekarang kita beranjak ke Islam: bagaimana agama ini menempatkan kaum perempuan. Harus kita akui dengan jujur, di antara sekian masalah dunia Islam yang menjadi sorotan publik internasional dewasa ini adalah perempuan. Dewasa ini, negara-negara mayoritas bergama Islam tidak hanya disorot mengenai masalah hak asasi manusia (human rights), demokratisasi yang menyangkut kebebasan pers (free press) dan kemerdekaan sipil (civil liberties) lain tetapi juga masalah tidak adanya penghargaan, penyadaran dan pemberdayaan terhadap perempuan. Lembaga survey terkemuka di Amerika, Freedom House, yang setiap tahun mengadakan “laporan tahunan” (annual report) mengenai perkembangan demokratisasi di berbagai belahan dunia menunjukkan dengan kuat fakta lemahnya penegakan prinsip-prinsip demokrasi di dunia Islam termasuk menyangkut masalah perempuan.

Ada satu buku memikat yang ditulis Erika Friedl. Judulnya, Women of Deh Koh (“Perempuan Deh Koh”). Buku ini merupakan hasil laporan antropologis penulis tentang sekelompok perempuan pedesaan Iran sejak berdirinya Republik Islam Iran pada tahun 1979. Buku ini menampilkan beberapa kisah tragis yang menggambarkan bagaimana para perempuan ini berjuang menyambung hidup.

Ada satu kisah yang sangat memilukan mengenai pemerkosaan atas perempuan desa. Bukan saja pemerkosanya tidak dihukum mati tetapi bahkan sang perempuan yang justru dibebani oleh kejahatan yang dilakukan oleh laki-laki itu. Karena ia tidak lagi perawan, harapan “terbaiknya” adalah agar si pemerkosa menikahinya. Perempuan tersebut menolak keputusan yang merendahkan martabat ini, dan akhirnya ia memilih jalan bunuh diri. Bunuh diri dianggap sebagai “jalan terbaik” untuk melepaskan diri dari “memoria passionis” (ingatan penderitaan) dan trauma yang berkepanjangan. Tragedi atas perempuan ini tentu saja tidak hanya terjadi di Iran saja tetapi hampir di semua negara berbasis Islam seperti dapat kita lihat dalam karya-karya akademik yang ditulis sejumlah feminis Muslim seperti Amina Wadood, Fatima Mernissi, Kecia Ali, Rifaat Hasan, Leila Ahmed, Asma Barlas, Asma Asfaruddin, Musdah Mulia, dan masih banyak lagi.

Sesungguhnya sikap misoginis (pandangan sinisme terhadap perempuan) ini bukanlah fenomena baru dalam sejarah peradaban manusia. Sudah ratusan bahkan ribuan tahun, perempuan tidak pernah menikmati kebebasan dan perlakuan proporsional dari kaum lelaki. Mereka selalu hidup dalam aura diskriminasi, selalu menjadi obyek penindasan, tidak pernah diberi kesempatan untuk tampil ke panggung publik sebagai agen sejarah sebagaimana laki-laki. Akibatnya, sejarah perempuan seperti halnya sejarah kaum sempalan (splinter) yang selalu berada di “edge of history”—menjadi kelompok pinggiran yang terhempas dari percaturan wacana global yang memang didominasi kaum laki-laki. Kata “history” dan bukannya “herstory” itu sendiri sudah menunjukkan dominasi (sekaligus hegemoni) laki-laki atas perempuan itu.

Meskipun sejarah juga menampilkan berbagai tokoh perempuan cemerlang yang turut mengayunkan tombak logos tetapi masyarakat lelaki menganggap mereka sebagai “exceptional” belaka. Lebih celaka lagi, sikap diskriminatif itu mendapatkan “landasan teologis” melalui teks suci (holy scripture). Hampir semua teks-teks keagamaan mengandung watak diskriminasi terhadap perempuan (baca, misoginis). Islam sebagai “agama terakhir” dalam tradisi Semit juga mewarisi watak misoginisme yang sudah mapan dalam tradisi kuno pra Islam. Maskulinisasi epistemologi sudah berlangsung lama di kawasan Timur Tengah. Jauh sebelum Al-Qur’an diturunkan, dunia epistemologi sudah dipengaruhi kosmologi, mitologi dan peradaban kuno yang cenderung misoginis di kawasan ini seperti kosmologi Mesir Kuno di Selatan, mitologi Yunani Kuno di Barat, tradisi Yahudi-Kristen (Judeo-Christianity) di sepanjang Laut Merah, dan peradaban Sasania-Zoroaster di Timur yang berpusat di Ktesipon, Mesopotamia. Citra perempuan di kawasan ini sangat buruk.

Beberapa mumi perempuan di temukan di Mesir menggunakan celana dalam besi yang digembok dan bersepatu besi yang berat dan berukuran kecil untuk membatasi perjalanan perempuan. Mitologi Yunani menggambarkan perempuan sebagai iblis betina (female demon) yang selalu mengumbar nafsu. Tradisi Yahudi-Kristen memojokkan perempuan sebagai penyebab dosa warisan dalam drama kosmik. Peradaban Sasania-Zoroaster mengisahkan tentang penyembunyikan kaum perempuan dalam goa-goa gelap yang jauh dari perkampungan. Peradaban Hindu yang membakar hidup-hidup para istri di samping suaminya yang meninggal, dan seterusnya.

***

Dalam setting sejarah seperti yang saya paparkan diatas itulah, Islam hadir. Sebagai negeri kontinental, tidak sulit mencari jejak persentuhan (encounters) antara dunia Arab dengan peradaban-peradaban tersebut. Kota Mekkah dan Yatsrib (Madinah) sudah menjadi pusat perdagangan bebas dan merupakan urat nadi rute perdagangan di kawasan Samudra Hindia, termasuk Pantai Afrika, Laut Tengah dan tentu saja dengan Irak yang ketika itu menjadi bagian dari Kerajaan Persia. Tradisi intelektual Arab juga tidak bisa dipisahkan dengan sejarah klasik Mesopotamia (3500-2400 SM) yang letaknya bersebelahan dengan Jazirah Arab. Mesopotamia dianggap sebagai titik tolak sejarah peradaban dan kebudayaan manusia. Sekitar tahun 1800 SM muncul seorang tokoh berwibawa bernama Hamurabi yang membuat peraturan-peraturan hukum yang kemudian disebut Kode Hamurabi. Ketentuan-ketentuan khusus yang membatasi perempuan sudah mulai diterapkan di sini. Kode ini telah banyak memberikan inspirasi di dalam institusi hukum generasi berikutnya di kawasan itu.

Demikianlah, karena itu tidak heran jika hampir semua tradisi agama memandang remeh terhadap perempuan, tak terkecuali Islam. Banyak kita lihat teks-teks skriptural Islam kurang memberikan ruang proporsional terhadap perempuan baik di bidang perdata maupun pidana. Bahkan dari aspek bahasa, teks-teks keislaman itu sendiri sudah “diskriminatif.” Feminis muslim, Nasaruddin Umar, telah menunjukkan dengan baik bagaimana bahasa Arab yang bias gender ini. Memang harus diakui teks-teks utama Islam (Al-Qur’an & Hadis) tidak semuanya berisi pesan yang mendiskreditkan perempuan.

Banyak kita jumpai teks-teks keislaman yang menjunjung tinggi martabat perempuan. Prinsip “takrim” (baca, orang yang mulia di sisi Allah adalah mereka yang bertakwa tanpa memandang jenis kelamin), jelas merupakan wawasan tentang “gender setara” yang ingin diidealisasikan Al-Qur’an. Begitu pula teks “surga berada di telapak kaki ibu” juga merupakan bagian dari pemuliaan terhadap kaum perempuan. Hanya saja, prinsip-prinsip ideal ini kalah populer dan tenggelam oleh teks-teks lain yang secara tekstual/literal menyudutkan perempuan seperti konsep waris, saksi, kepemimpinan dan lain-lain.

Inilah fakta ambiguitas teks-teks utama skriptural Islam (Al-Qur’an dan Hadits): satu sisi berisi pesan universal mengenai kebebasan, keadilan dan kesetaraan tetapi di pihak lain juga memuat ajaran-ajaran yang “menomerduakan” perempuan. Tidak jarang, teks-teks “juxta posisi” dan “ambigu” ini telah menyebabkan para pemikir Muslim terperangkap ke dalam pemahaman yang kabur dan “setengah hati” mengenai prinsip kesetaraan dan keadilan terhadap perempuan. Bahkan pemikir moderat sekaliber Muthahari dari Iran pun juga terperangkap ke dalam pemahaman bahwa perempuan semata-mata sebagai “mahluk seksual” seperti dituturkan oleh Abdelwahab Bouhdiba dalam Sexuality in Islam. Hal yang sama (baca, pandangan “bias gender”) juga kemukakan oleh sejumlah “pemikir modernis” seperti Rashid Rida dari Mesir atau Sayyid Ahmad Khan dari Indo-Pakistan seperti dituturkan oleh Muhammad Qasim Zaman dalam Modern Islamic Thought in a Radical Age. Prinsip equality and justice yang ditanamkan Al-Qur’an semakin tenggelam dalam limbo sejarah setelah lahirnya buku-buku tafsir Al-Qur’an dan kitab-kitab keislaaman klasik yang hampir bisa dipastikan bias gender.

Berkaitan dengan masalah ini, ada satu pertanyaan mendasar: bagaimana menjelaskan teks-teks Al-Qur’an yang “ambigu” (baca, bermuatan ganda) ini? Di sinilah, perspektif pemikir Islam modern dari India, Asghar Ali Engineer, patut diapresiasi. Dalam salah satu karyanya, The Rights of Women in Islam, Engineer telah mengonstruksi tafsir Al-Qur’an secara menarik. Menurutnya, Al-Qur’an mempunyai dua aspek: normatif dan kontekstual (mungkin tepatnya, sosiologis). Yang dimaksud dengan aspek normatif adalah menyangkut sistem nilai dan prinsip-prinsip dasar dalam Al-Qur’an seperti prinsip persamaan, keadilan dan kesetaraan. Prinsip ini bersifat eternal dan dapat diaplikasikan dalam berbagai konteks ruang dan waktu. Inilah prinsip-prinsip idealitas Al-Qur’an. Sedangkan aspek kontekstual (sosiologis) berkaitan dengan ayat-ayat yang diturunkan untuk merespons problem-problem sosial tertentu pada masa itu. Jadi sifatnya ad hock dan partikular. Sesuai dengan perkembangan zaman, ayat-ayat ini bisa dihapus (contohnya tentang perbudakan).

Dilihat dari perspektif normatif, Al-Qur’an jelas menegakkan prinsip persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Ia mendorong ide kesetaraan gender. Tetapi jika dilihat dari perspektif kontekstual-sosiologis, tidak jarang Al-Qur’an mendudukkan laki-laki satu tingkat di atas perempuan. Tujuan pembedaan antara ayat ideal-normatif dan kontekstual-sosiologis adalah untuk mengetahui perbedaan antara apa yang sebenarnya diinginkan “The Author” (Allah SWT) dan apa yang dibentuk oleh realitas masyarakat pada saat itu. Dua-duanya merupakan kekayaan Al-Qur’an.

Sebab “teks suci” ini tidak hanya berbicara tentang masyarakat ideal tetapi juga mempertimbangkan realitas empiris masyarakat (waktu itu). Dialektika antara das sollen dan das sain membuat Al-Qur’an dapat diterima oleh masyarakat dalam konteks sosial tertentu tempat ayat-ayat tersebut diturunkan, dan juga dapat dijadikan sebagai rujukan norma-norma dan prinsip-prinsip universal yang dapat diberlakukan di masa datang ketika realitas masyarakat lebih kondusif. Engineer menyebut pendekatan ini sebagai “ideologis-pragmatis.”

Penjelasan Engineer ini setidaknya bisa menguraikan “benang ruwet” teks-teks ambigu dalam Al-Qur’an. Dalam perspektif ini, maka seharusnya umat Islam menyikapi teks-teks Al-Qur’an seperti sistem waris, konsep saksi, poligami, imamah atau kepemimpinan dan lain-lain sebagai ayat-ayat ad hock dan particular yang sangat terkait dengan latar sosiologis masyarakat Arab saat itu. Dan karena itu tidak mengikat umat Islam dewasa ini karena perbedaan setting sosio-kultural masyarakat.

Bahkan sudah seharusnya, “ayat-ayat partikular” ini di-“delete” dari memori Al-Qur’an karena sudah out of date. Sementara ayat tentang “penciptaan manusia dari esensi yang sama” (Q.S. 4:1), “pemuliaan anak-anak Adam” (Q.S. 17:70), serta “pemberian pahala bagi yang bertakwa tanpa memandang laki-laki atau perempuan” (Q.S. 33:35) harus dijadikan sebagai basis membangun relasi gender setara (egalitarianisme). Ayat-ayat ini merupakan simbol deklarasi kesatuan manusia dan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Inilah “revolusi kebudayaan” yang luar biasa yang dilakukan Al-Qur’an. Mengingat prinsip ini hadir di tengah kultur dan tradisi Arab yang mesoginis. Sayang, umat Islam lebih bergairah mereproduksi “ayat-ayat particular” yang sudah kedaluarsa ketimbang memperjuangkan visi universal Islam.

***

Dalam paragraf di atas, saya, antara lain, telah mengemukakan tentang pentingnya memilah-milah “ayat-ayat partikular” dan “ayat-ayat universal” dalam memahami Al-Qur’an khususnya yang berkaitan dengan masalah perempuan. Hal ini dimaksudkan agar umat Islam bisa membedakan mana “doktrin” Islam dan mana yang hanya sebatas “tradisi” masyarakat Arab dan Judeo-Christianity. Persoalan ini penting untuk diketahui sebab selama ini umat Islam telah mencampuradukkan antara doktrin dan tradisi dengan sembrono. Tidak sedikit yang tradisi itu dianggap dan dijadikan sebagai doktrin keislaman karena dinilai mendatangkan “keuntungan” tersendiri terutama bagi kaum laki-laki muslim. Maka, kita lihat dalam sejarah rezim-rezim Islam, kaum perempuan nyaris tidak mendapatkan tempat proporsional baik dalam wacana keislaman maupun dalam praktek kehidupan mereka.

Padahal jika kita teliti dengan seksama, beberapa “ajaran” yang dinilai (tepatnya, diyakini) oleh rezim Islam sebagai doktrin itu tidak lebih hanyalah sebatas tradisi masyarakat Arab belaka. Poligami, jilbab, perempuan dilarang memimpin jabatan publik, jatah warisan yang hanya separuh laki-laki, dan sejumlah “norma” yang menyangkut perempuan lain dalam hukum pidana maupun perdata yang mengesankan diskriminasi adalah bagian dari tradisi  Arab dan Judeo-Christianity itu yang sengaja “diakomodasi” Al-Qur’an sebagai sebuah strategi kebudayaan untuk memperkenalkan ajaran baru Islam kepada masyarakat Arab. Tetapi karena umat Islam tidak mampu memilah (mengverifikasi) antara doktrin dan tradisi itu, akibatnya, dalam implementasi/praktek keislaman tidak jarang terjadi apa yang saya sebut sebagai “clash of culture” (benturan kebudayaan) ketika agama Islam telah merangkak jauh melampaui batas-batas teritorial Arab. Benturan kebudayaan ini merupakan konsekuensi logis akibat perjumpaan dua atau lebih tradisi yang berlainan.

Memang melakukan pemilahan “doktrin” dan “tradisi” atau menurut Marshall Hodgson dalam The Ventures of Islam antara “Islam” dan “Islamicate” ini bukan persoalan mudah. Mengingat keduanya sudah membaur menjadi satu teks dalam Al-Qur’an yang suci (tepatnya disucikan) dan sakral (tepatnya, “disakralkan”). Baik yang “doktrin” maupun yang “tradisi” sama-sama dianggap sebagai “Firman Allah”. Inilah antara lain yang menjadi masalah mendasar mengapa setiap upaya penafsiran emansipatoris atas perempuan dalam Al-Qur’an selalu mengalami jalan buntu. Baik kubu “liberal” (baca, kelompok yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender) maupun “konservatif” (baca, pendukung perempuan sebagai “subordinat” laki-laki) sama-sama mengklaim “melaksanakan pesan/ajaran Tuhan.” Ini artinya, baik yang feminis maupun yang mesoginis sama-sama mendapatkan justifikasi dalam Al-Qur’an.

Bagaimana menjelaskan fenomena ini? Bagi saya, jalan terbaik adalah dengan cara melakukan pembongkaran atau dekonstruksi (Arab: tafkik) atas sejumlah ayat yang merupakan “produk lokal” (baca, tradisi) masyarakat Arab tadi. Al-Qur’an harus ditangkap sebatas “semangat/spirit” saja bukan dalam hal pernik-pernik yang terkait dengan tradisi dan kultur lokal Arab. Sebab jika kita memaksakan untuk mempraktekkan yang lokal itu ke dalam perspektif kehidupan kita sekarang di Indonesia khususnya maka akan terjadi semacam internal dissension (“ketegangan internal”) umat Islam karena bertabrakan dengan modern human dignity (baca, hak-hak dasar dan fundamental manusia modern).

Berkaitan dengan ini, menarik memperhatikan pendapat mendiang Nasr Hamid Abu-Zayd, intelektual Islam dan ahli tafsir terkemuka Mesir yang dulu diusir dari negaranya karena dituduh murtad yang kemudian mengajar di Universitas Leiden, Belanda, sebelum wafat. Nasr Hamid Abu-Zayd berpendapat bahwa Al-Qur’an harus ditempatkan tidak hanya sebagai teks atau Mushaf (al-Qur’an kan nash) tetapi juga sebagai “wacana” (al-Qur’an kal khithab). Al-Qur’an adalah hidup dan merupakan fenomena yang dinamis dan efektif dalam kehidupan keseharian umat Islam. Posisi itulah yang tidak mampu dijangkau oleh Mushaf sebagai sekumpulan teks mati. Jadi, kita memiliki dua fenomena tentang Al-Qur’an: Al-Qur’an sebagai fenomena yang dinamis dan Mushaf sebagai fenomena teks. Dalam Mushaf, yang penting adalah teks itu sendiri. Sementara yang menjadi titik perhatian dalam fenomena Al-Qur’an sebagai wacana adalah soal kenyataan (al-waqi’). Dalam fakta sejarah selama 23 tahun proses pewahyuan, Al-Qur’an merupakan fenomena yang dinamis, dialogis, debat-sanggah dan mengikuti mekanisme take dan give.

Memposisikan Al-Qur’an lebih sebagai wacana ketimbang mushaf yang mati merupakan gagasan yang patut diapresiasi agar Al-Qur’an tetap “hidup” dan up to date. Lebih dari itu, gagasan ini dimaksudkan agar umat Islam tidak kehilangan konteks kesejarahan saat Al-Qur’an diturunkan. Pemahaman seperti ini penting agar umat Islam mengetahui akar-akar sosio-historis sebuah teks/ayat Al-Qur’an. Maka, jika kita mempelajari historical background atas ayat-ayat perempuan dalam teks Al-Qur’an yang terkesan mesoginis itu, maka kita akan segera tahu bahwa sesungguhnya hanyalah semacam siasat atau “sasaran antara” Al-Qur’an saja yang tujuan utamanya atau dalam bahasa ushul maqashid syari’ah adalah pencapaian kehidupan yang egaliter antara laki-laki dan perempuan.

Kita tahu dalam tradisi Arab yang patriarkhis dan mesoginis, perempuan sama sekali tidak mendapatkan tempat yang layak baik dalam kehidupan publik maupun domestik: tidak mendapat warisan, tidak diakui hak-hak politiknya sebagai bagian dari anggota masyarakat suku, dan harus bersedia kapanpun dan dimanapun untuk menjadi pemuas nafsu laki-laki. Dalam konteks/perspektif tradisi atau kebudayaan masyarakat Arab demikian, maka ayat tentang waris di mana laki-laki mendapat 2 bagian sementara perempuan mendapat 1 bagian, atau diakuinya perempuan menjadi saksi (meskipun 3:1) maupun pembatasan poligami menjadi 4 saja, merupakan sebuah revolusi kebudayaan yang luar biasa dalam konteks masyarakat Arab, 15 abad yang lalu! Itulah sebabnya sejumlah pemikir muslim berpendapat bahwa Islam (Al-Qur’an) dari segi ide/gagasan sangat revolusioner sementara dari aspek strategi mengikuti prinsip gradual (evolutif).

Al-Qur’an harus menggunakan prinsip gradual (tadrij) dalam memperkenalkan konsep normatifnya. Sebab jika tidak, maka eksistensi Islam sebagai agama baru akan terancam dan tidak mendapatkan pengikut karena mengembangkan isu-isu yang tidak populer dan berlawanan dengan mainstream kebudayaan masyarakat Arab waktu itu. Prinsip akomodasionisme Al-Qur’an ini juga merupakan konsekuensi logis mengingat Al-Qur’an diturunkan dalam masyarakat yang sudah syarat dengan ikatan-ikatan primordial dan norma ke-Arab-annya. Karena itu, ada pola dialektika tersendiri bagaimana kitab suci “menyesuaikan” dirinya dengan nilai lokal. Berangkat dari perspektif inilah, dalam Islam mengenal beberapa prinsip (tepatnya siasat/strategi) dalam proses tasyri’. Prinsip dimaksud, al, tadarruj fi al-tasyri’ (berangsur-angsur dalam memperkenalkan konsep normatif), ‘adamul haraj (menghilangkan ketegangan atau kesulitan), dan al-taqlil al-taqlif (sedikit demi sedikit).

Dalam kerangka atau bingkai pemahaman seperti inilah seharusnya teks-teks tentang perempuan itu ditempatkan. Bukan malah menggunakan dalil (dalih?) menjalankan ajaran syari’at kemudian melakukan penindasan terhadap perempuan seperti yang dipraktekkan sejumlah rezim Islam. Sayang, upaya penajaman visi universal Al-Qur’an yang memperjuangkan emansipasi perempuan kurang terelaborasi dalam khazanah keislaman klasik kita. Tidak banyak dari para pemikir muslim klasik yang secara terang-terangan mendukung ide keadilan dan egalitarianisme atas perempuan. Di antara yang sedikit itu adalah Ibnu Rusyd yang telah berjuang total membela hak-hak perempuan dan minoritas lain. Tapi sayang karya-karya Ibnu Rusyd ini kurang populer di dunia Islam meskipun masyhur di Barat.

Kurangnya apresiasi gender setara dalam khazanah klasik Islam karena sejarah penulisan kitab-kitab kuning (classical sources) baru dimulai ketika kekuasaan Islam berada di Damascus (sekarang Syiria). Kita tahu peta Damascus sangat dipengaruhi kekuatan-kekuatan kultur Yunani-Yahudi, karena daerah ini pernah menjadi wilayah jajahan Bizantium-Romawi. Jadi kontaminasi kultur lokal, Hellenisme dan budaya Yunani yang misoginis sangat kuat dalam masyarakat Damascus waktu itu. Produksi kitab kuning ini mengalami masa puncak saat kekuasaan Islam pindah ke Baghdad di masa Abbasyiah. Di sini, pengaruh Hellenisme juga sangat kuat demikian juga dengan tradisi besar lain seperti Persia yang juga misoginis. 

Kalangan feminis modern juga kerepotan dalam mensosialisasikan ide-ide “gender setara”. Kalaupun bisa hanya sebatas “wacana” tidak sampai pada tingkat implementasi. Kesulitan itu disebabkan oleh beberapa hal: 1) struktur dan kultur masyarakat kita yang “terlanjur” menempatkan perempuan sebagai kelas dua. 2) Teks-teks keislaman yang bias gender itu sudah menjadi bagian dari “kebudayaan” masyarakat muslim. 3) Tantangan dari kaum laki-laki (atau bahkan perempuan sendiri) yang tidak menginginkan prinsip gender setara diterapkan di masyarakat dalam semua ranah kehidupan. Karena itulah perjuangan terhadap kaum perempuan harus melalui dua jalur: pembongkaran di tingkat wacana keagamaan, yakni teks-teks scriptural Islam (terutama tafsir dan fiqih yang masih terkesan diskriminatif dan bias gender) dan kemudian pembongkaran di tingkat struktur normatif masyarakat yang masih bias dalam memandang pola relasi laki-laki dan perempuan. Tanpa pembongkaran di dua wilayah ini, maka saya rasa usaha kaum feminis untuk menegakkan prinsip gender setara hanya tinggal mimpi belaka.

***

Sebagai penutup tulisan pendek ini, saya ingin menegaskan bahwa upaya membangun dunia pendidikan Islam yang berprinsip “gender setara” baru bisa dilakukan secara maksimal jika kaum Muslim mampu “melampaui” teks-teks dan diskursus keislaman klasik yang sarat “gender bias” itu untuk kemudian ditafsirkan, diberi makna dan spirit baru, dan diterjemahkan ke dalam konteks dunia modern. Upaya ini perlu keberanian dan gerakan revolusi pemikiran dari para sarjana Muslim. Di Amerika, seperti saya paparkan diatas, kaum perempuan dewasa ini yang mampu menikmati kesetaraan di berbagai bidang kehidupan tidak lepas dari upaya-upaya berani kaum feminis Kristen untuk menafsirkan (dan “mendekonstruksi”) teks, dogma, doktrin, tradisi, dan diskursus kekristenan yang dipandang menghambat kemajuan serta menghalangi prinsip “gender setara”. Kesetaraan gender di Amerika dan dunia Kristen Barat pada umumnya juga buah dari perjuangan tanpa kenal lelah dari kaum feminis Kristen, baik laiki-laki maupun perempuan, dalam memperjuangkan harkat dan martabat kaum perempuan di berbagai sektor kehidupan.

Seminar tentang “Islam dan Gender” ini harus diupayakan ke arah sana: dekonstruksi ajaran, doktrin, teks, tradisi, dan wacana keislaman klasik yang dipandang “tidak kompatibel” dengan semangat keindonesiaan dan kemodernan. Setelah melakukan dekonstruksi, kemudian diperlukan upaya-upaya terobosan dan berani untuk melakukaan “rekonstruksi” idealitas keislaman yang sesuai dengan norma-norma dan situasi sosiologis kontemporer umat Islam dewasa ini. Tanpa upaya yang berani melakukan “terobosan teologis” ini, seminar tentang “Islam dan Gender” ini hanya akan melakukan repetisi ide yang sudah dilakukan sebelumnya, dan yang lebih penting lagi, hanya akan membuang-buang waktu, tenaga, dan pikiran saja.

Semoga sekelumit tulisan ini ada manfaatnya.{SQ}

Artikulli paraprakDari Sekularisme ke Politisasi Agama
Artikulli tjetërKaum Santri di Dunia Barat
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

1 KOMENTAR

Komentar ditutup.