Suatu hari, belum lama ini, saya dan keluarga (anak-istri) bermalam di sebuah hotel dekat Masjidil Haram. Selain umrah, saya juga riset kecil-kecilan tentang pelajar, mahasiswa, dan sekolah Indonesia di Makah serta observasi sejumlah situs bersejarah Islam. Hotel cukup bagus dan bersih. Interiornya juga oke. Sangat kontras dengan tahun sebelumnya yang tinggal di “losmen ala kadarnya” karena ikut rombongan bus umroh dari Bangladesh.
Saat jadwal sarapan tiba, maka bergegaslah kami ke ruang makan. Maklum kami kecapekan dan kelaparan karena malamnya umroh sampai larut malam. Sesampai di ruang makan, betapa terkejutnya kami karena makanan sudah tidak ada, tempat semrawut acak-acakkan, sisa-sisa makanan dan piring berserakan di meja-meja makan. Kami tanya ke petugas, lalu mereka menyetok nasi dan “ikan naget” (fishstick). Kata mereka, cuma itu saja makanan yang disediakan di “ruangan spesial” yang mirip asrama itu.
Waktu itu saya berpikir, ini hotel apaan sih? Restorannya kok kayak gini? Karena penasaran, saya “selidiki” sebab-musababnya. Ternyata ruangan khusus itu untuk penghuni hotel dari Indonesia yang sedang umroh. Memang saya lihat cukup banyak orang-orang Indonesia yang makan di ruangan itu. Saya memang warga Indonesia tetapi saya bukan “rombongan umroh” dan kami datang dari Saudi bukan Indonesia. Kami kemudian keluar ruangan, dan ternyata di sebelah “ruangan spesial untuk Indonesia” ini terdapat restoran yang dijaga oleh petugas, seorang Arab-Mesir.
Terjadilah dialog antara saya dan penjaga tadi. Ia ngotot kalau orang Indonesia harus makan di “ruangan khusus” tadi. Ia bilang, “Kamu orang Indonesia kan, kalian suka makan nasi dan ikan kan? Nah itu ‘ruangan untuk kalian”. Saya jawab, saya memang orang Indonesia tetapi saya bukan termasuk rombongan umroh dari Indonesia. Saya bayar sendiri, booking hotel sendiri, dan datang dari Saudi. Kenapa saya tidak boleh masuk restauran ini?
Setelah terjadi “perdebatan kecil”, ia terpaksa membolehkan kami masuk restoran itu. Betapa terkejutnya saya karena restoran itu betul-betul kontras dengan “ruang makan khusus Indonesia” tadi. Pelayannya banyak dan ramah, ruangan adem ber-AC, sepi dan nyaman, meja-kursi makan sangat rapi dan elegan, stok makanan dan minuman sangat melimpah dan beraneka ragam layaknya hotel berbintang. Saya lihat sejumlah orang non-Indonesia sedang menyantap makanan di restoran itu. Karena sudah kehilangan selera makan, saya hanya mencicipi “makanan sampingan” saja dan menengguk segelas jus. Beberapa kali saya melihat penjaga tadi sibuk tidak membolehkan masuk restoran orang-orang yang “bertampang Indonesia”. [e]