Sudah pernah dengar belum pepatah “Buruk muka, salon dirusak”? Kalau belum, ini saya perkenalkan ke Anda sekalian. “Pepatah” ini saya tujukan untuk sejumlah tokoh Islam di Indonesia, khususnya Jakarta dan sekitarnya, dan para “cheerleader” mereka, yang begitu bernafsu menyingkirkan Ahok dari bursa pencalonan gubernur.

Orang kalau kalah, tapi tidak berjiwa besar mengakui kekalahannya, maka akan cenderung berbuat kalap. Makanya, kata “kalah” dan “kalap” itu bedanya tipis sekali, 11-12 lah kira-kira. Sama seperti “pahlawan” dan “pecundang” itu juga bedanya dikit.

Jika orang kalah cenderung kalap, maka orang kalap biasanya cenderung gelap mata, dan orang yang “gelap mata” cenderung melakukan perbuatan apa saja demi menebus kekalahannya tadi. Tidak peduli jalan yang mereka tempuh itu lurus atau belok. Tidak peduli cara-cara yang mereka lakukan itu halal atau haram. Bahkan bila perlu, Tuhan dan Setan pun kadang–bahkan sering–“dirayu” agar ikut menggebuki sang lawan.

Coba Anda telusuri lagi dan simak baik-baik rekam-jejak sejarah kepolitikan di Jakarta akhir-akhir ini. Sudah berapa kali coba “mereka” mencoba “mengganjal” Ahok? Dulu, bahkan sejak kandidat gubernur Jokowi-Ahok, mereka sudah menghimpun massa dan ayat untuk menjegal atau mengalahkan pasangan “Jokowi-Ahok”. Cuma sayang belum beruntung.

Kemudian setelah Jokowi terpilih sebagai Presiden RI dan Ahok melenggang jadi Gubernur DKI, mereka “berisik” lagi. Berbagai dalil pun kembali disusun. Massa juga kembali dihimpun. Tujuannya satu: menjegal dan “mendelegetimasi” Ahok. Tidak hanya itu, Panglima Besar FPI, Paduka Yang Mulia Tuan Rizieq Shihab, juga melantik “gubernur tandingan” yang bernama Ustad Haji Fahrurozi alias “Bang Oji” yang sekarang nggak tahu bagaimana kabarnya beliau.

Apakah teman-teman ada yang tahu, bagaimana kabar Bang Oji kok seperti menghilang nggak pulang-pulang? Kadang saya heran, bukahkah Pak Rizieq sudah punya gubernur sendiri? Kalau sudah punya gubernur sendiri, ngapain sih ngurusin Gubernur Ahok? Apakah karena “rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri”? Kasihan kan Bang Oji, sudah dilantik capek-capek kok malah dicuekin ditinggal pergi ngurusin “si aseng”. Entar kalau Bang Oji mewek-mewek nangis, gimana Bib? Lu, eh ente, kudu tanggung jawab.

Setelah Bang Oji sepi peminat, “mereka” kembali kusak-kusuk mencari tokoh Muslim yang dipandang sebagai “calon ideal” untuk menyaingi Koh Ahok. Mereka pun sempat runtang-runtung dengan Yu Seril atau Adhyaksa Dault. Sayang parpol-parpol Islam tidak tertarik untuk “melamar” beliau-beliau yang terhormat. Sayang juga mereka tidak ngumpulin “sejuta KTP” umat Islam DKI seperti yang dilakukan para Ahokers. Khawatir cuma dikit yang setor KTP ya? Hayo ngaku?

Mungkin karena nyari-nyari “figur ideal” tokoh Islam yang bisa “dijual” untuk menyaingi Koh Ahok tidak ketemu, akhirnya terpaksalah mereka ikut-ikutan mengusung Mas Anis yang dulu mereka kafir-sesat-liberal-syingahkan itu.

Karena usaha ini-itu untuk menyaingi Ahok gagal maning-gagal maning alias “mampet” di selokan, akhirnya yang “mereka” bisa lakukan adalah bagaimana caranya Koh Ahok didiskualifikasi agar gagal maju sebagai kandidat gubernur pada Pilkada mendatang. Gampang banget kok nebak “sinetron politik” mereka itu.
Bukankah ini seperti “buruk muka, salon dirusak”? Padahal Koh Ahok, saya dengar sudah batal nyalon lo, maksudku batal pergi ke salon he he.

 

Artikulli paraprakBuya Syafii Ulama Sejati
Artikulli tjetërBung Karno dan Habib Ali Kwitang
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.