Beranda Opinion Bahasa CJP, Mennonite, dan Spirit Perdamaian

CJP, Mennonite, dan Spirit Perdamaian

1629
0

Beberapa tahun lalu, sebelum studi doktoral di Boston University, saya berkesempatan mengambil MA di bidang conflict transformation and peace studies di Center for Justice and Peacebuilding (selanjutnya CJP), sebuah lembaga akademik “just-peace” di bawah naungan Eastern Mennonite University (EMU), sebuah kampus mungil di kota Harrisonburg, Virginia, Amerika Serikat. Ini adalah studi master yang kedua buat saya. Sebelumnya saya menyelesaikan magister di bidang sosiologi agama di UKSW Salatiga, Jawa Tengah. Studi saya di CJP ini atas sponsor MCC yang berpusat di Akron, Pennsylvania, Amerika Serikat. Kampus CJP ini terletak di dataran lembah-pegunungan bernama Shenandoah Valley yang sangat sepi tetapi indah.

Gedung lembaga tempat saya “nyantri” ini tampak sederhana dan jauh dari kesan mewah. Staff-nya juga tidak banyak. Tetapi jangan terkecoh, CJP ini memiliki ribuan alumni, volunteer perdamaian dan human rights activists yang tersebar di seluruh penjuru dunia. CJP juga menjalin network dengan lembaga perdamaian di berbagai negara mulai Nairobi Peace Initiative sampai JustaPaz, sebuah organisasi perdamaian yang berbasis di Colombia pimpinan Paul Stucky dan Ricardo Esquivia. Pemandangan ini tentu sangat kontras dengan Indonesia. Di negeri ini banyak LSM, ormas, kampus atau lembaga pemerintah yang gedungnya megah dan “padat penghuni” tapi miskin kreativitas dan sepi mobilitas.

Setiap tahun, CJP memiliki agenda yang begitu padat: mulai mengorganisir workshop yang berkaitan dengan transformasi konflik dan peacebuilding di negara-negara konflik, training trauma healing di negara-negara korban bencana (baik bencana alam maupun “bencana politik”), sampai memobilisir volunteer “just-peace” untuk menentang perang dan kekerasan. Selain itu, setiap tahun CJP melalui “Summer Peacebuilding Institute” dan The Practice Institute juga mengundang dan mengfasilitasi para mentor human rights dari berbagai negara konflik dan dari berbagai latar belakang agama dan etnis, untuk membahas masalah peacebuilding (“pembangunan perdamaian”) dan peacemaking (“perancangan perdamaian”). Hampir semua utusan dari negara-negara konflik hadir seperti Palestine, Israel, Kenya, Rwanda, Somalia, Nepal, Vietnam, Myanmar, Bosnia, Afghanistan, Chechnya, Rusia, Pakistan, India, Iraq, Chile dan tentu saja Indonesia.

***

Apa relevansinya cerita mengenai CJP ini dengan publik Indonesia? Saya hanya ingin mengatakan tidak semua warga Amerika itu mendukung perang dan kekerasan sebagai jalan menyelesaikan masalah sebagaimana dipersepsikan sebagian publik Indonesia (khususnya publik Muslim konservatif). Ada sebagian kelompok Islam di negeri ini yang mempunyai persepsi bahwa: (1) rakyat Amerika—tanpa pengecualian—telah mem-back up penuh “infiltrasi” dan “imperialisasi” pemerintah AS ke Afghanistan dan Iraq; (2) masyarakat AS berada di belakang Israel dalam konflik Israel-Palestine; (3) rakyat AS adalah anti Muslim; (4) sikap dan pendapat masyarakat Amerika adalah sama persis seperti sikap dan pendapat George Bush yang gemar perang, dlsb. Singkatnya, American people is identical with its government. America is a set of people with a homogeneous opinion and ways of thinking. Kesan dan penilaian yang meng-generalisir, “hantam kromo”, atau “gebyah uyah” ini tentu saja keliru, tidak akurat, serta mengabaikan pluralitas masyarakat Amerika itu sendiri.

Bahwa ada masyarakat Amerika yang mendukung penuh program perang pemerintahan Bush (kini Obama) memang benar, dan bahwa ada rakyat AS yang membenci Islam dan kaum Muslim memang tidak salah. Tetapi juga harap diingat, tidak sedikit orang AS yang menentang perang dan sangat “hangat” dengan kaum Muslim. Maka, pembagian dunia menjadi dua kategori ekstrim seperti dilakukan kelompok “multicultural liberal” yaitu “the oppressors” (“kaum penindas”) yang direpresentasikan Barat (terutama AS) dan “the victims” (para korban, khususnya kaum Muslim) adalah sangat tidak tepat. Memang harus diakui dulu Bush telah membelanjakan milliaran dollar hanya untuk memenuhi ambisi kampanye “war on terror” (sebagai catatan, pemerintah AS tahun 2005 saja telah menghabiskan lebih dari $ 470 billion hanya untuk mengurusi perang, dan tahun 2006 Washington membelanjakan 797 T dari total 25.000 T APBN AS untuk program senjata). Demi memenuhi hobi perangnya itu, dulu Bush sampai tega memangkas pos anggaran lain seperti santunan untuk disable citizens, pensiunan pegawai, dan health care. Dengan dalih untuk melindungi “keamanan dunia”, Bush waktu itu terus melangkah meskipun kritikan deras mengalir kepadanya dari seluruh penjuru dunia. Kini Bush tidak lagi berkuasa tetapi “program perang” masih jalan terus.

***

Di antara warga AS yang menentang perang dan menebarkan perdamaian global itu adalah komunitas CJP. Para mentor dan profesor yang tergabung di CJP ini adalah kelompok aktivis-intelektual “pacifist” yang anti perang dan cara-cara kekerasan (violence) lain sebagai jalan penyelesaian masalah. Harap kata “pacifist” ini jangan dihubungkan dengan “passive-ism” yang berarti berdiam diri tanpa melakukan kerja sosial-politik apapun. John Paul Lederach, salah satu pendiri CJP (juga professor of International Peacebuilding di Universitas Notre Dame, Indiana), adalah mantan mediator perang sipil di Nicaragua. Demikian juga  Ron Kraybill. Dia adalah mentor Center for Conflict Resolution di South Africa yang sangat berjasa dalam membela hak-hak warga sipil, suku, dan minoritas yang tertindas di kawasan Afrika Selatan. Para professor lain seperti Vernon Jantzi, David Brubaker, Howard Zehr, Jayne Docherty, Nancy Good Sider, Lisa Schirch, dll, juga para aktivis-intelektual yang memiliki reputasi internasional dalam conflict studies, peacebuilding dan peacemaking. Mereka tidak henti-hentinya mengkritik kebijakan pemerintahan Bush yang menghabiskan miliaran dollar dalam perang di Afghanistan dan Iraq. Dalam Human Rights and Conflict (US Institute of Peace, 2006), Professor Schirch (kini direktur 3 D-Security) misalnya menulis, lebih baik pemerintah AS menggunakan dana perang yang milliaran dollar itu untuk program pangan, shelter, pendidikan, sanitasi, health care, dll di negara-negara miskin daripada digunakan untuk membeli senjata dan membunuh rakyat tak berdosa.

Demi mewujudkan misi perdamaian ini, CJP menggalang jaringan internasional dengan berbagai kalangan dari beragam latar belakang profesi, etnis dan agama: NGO, kaum professional, akademisi, tokoh agama, jurnalis, tokoh masyarakat, dlsb. CJP bersama lembaga perdamaian lain seperti Search for Common Ground, The US Institute of Peace, dan pusat-pusat perdamaian dan resolusi konflik di berbagai negara, mengadakan berbagai program untuk menciptakan perdamaian dan mencegah konflik. Di Palestine misalnya, mereka menjalin hubungan dengan lembaga Seeds for Peace untuk melakukan advokasi dan pendampingan warga setempat dari kebengisan Israel.

Kerja sosial-intelektual mereka tidak hanya sampai disitu, CJP dan Gereja Mennonite juga membantu para pengungsi dari negara-negara konflik seperti suku Kurdi (Iraq) yang semasa Saddam Husain berkuasa menjadi target kekerasan, kemudian Afghanistan, Bosnia, dan negara-negara Afrika seperti Rwanda, Sudan dan lainnya. Mereka dibantu pencarian tempat tinggal, pendidikan dan pekerjaan. Di kota Harrisonburg tempat saya tinggal dulu ada ratusan umat Islam—yang sebagian besar merupakan pengungsi dari suku Kurdi ini—yang kemudian membentuk Islamic Association of Shenandoah Valley (IASV).

Apa yang menggerakkan mereka melakukan kerja-kerja kemanusiaan dan perdamaian di seluruh dunia melalui dialog, advokasi, mutual understanding, respect, relationship-building, restorative justice practices, dll yang melampaui batas-batas kepercayaan dan keimanan (beyond beliefs and faiths)? Selain spirit humanity dan liberty yang memang sangat kuat bagi warga Amerika, mereka didorong oleh “energi kekristenan” atau lebih spesifik lagi spirit ajaran Mennonite (atau Anabaptis pada umumnya) yang cinta perdamaian dan gerakan tanpa kekerasan. Sejarah kekerasan yang begitu gelap dalam tradisi Kristen (Eropa) memang telah membuka mata kelompok Kristen Mennonite yang didirikan oleh Menno Simon ini tentang kejamnya peperangan dan indahnya sebuah perdamaian antar-sesama manusia.

Di tengah dunia yang penuh diwarnai kekerasan dan peperangan dewasa ini, dan disaat bumi ini sering berkecamuk dan berlumuran angkara murka, kita perlu banyak belajar dengan komunitas Mennonite (juga Quaker dan kelompok pacifis lain) tentang pentingnya “spirit perdamaian” dan perjuangan nir-kekerasan. Hanya dengan cara inilah kita bisa hidup berdampingan secara damai tanpa mempersoalkan latar belakang etnis dan agama. []

 

 

Artikulli paraprak“Civil Islam” versus “Uncivil Islam”
Artikulli tjetërDi Balik Kemenangan SBY-JK
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini