Beranda Opinion Bahasa Di Balik Kemenangan SBY-JK

Di Balik Kemenangan SBY-JK

1594
0

Pemilihan Presiden 2004 putaran I yang berlangsung 5 Juli lalu diwarnai banyak kejutan. Kejutan pertama, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) yang diusung partai kecil (Partai Demokrat) berhasil meraup suara terbanyak (lebih dari 33 %). Meskipun proses rekapitulasi masih berlangsung tetapi agaknya sangat sulit buat pasangan Mega-Hasyim dan Wiranto-Wahid yang masing-masing berada di urutan 2 dan 3 untuk mengejarnya. Memang berbagai polling sebelumnya telah menempatkan pasangan SBY-JK sebagai pemenang Pemilu akan tetapi juga tidak sedikit para intelektual/akademisi dan tokoh politik yang ragu terhadap validitas dan akurasi hasil polling ini. Keraguan mereka didasarkan pada fakta bahwa SBY-JK tidak memiliki mesin politik dan infrastruktur yang sampai menjangkau ke lapisan paling bawah: masyarakat pemilih yang berada di pedalaman pedesaan.

Bagi kelompok ini berkeyakinan pasangan Mega-Hasyim dan Wiranto-Wahid-lah yang berpeluang besar memenangkan Pilpres karena pasangan ini dianggap memiliki segalanya: jaringan yang luas, infrastruktur yang kuat dan basis pemilih yang militan plus dana yang besar tentunya. Tetapi apa yang terjadi? SBY-JK ternyata unggul. Berbagai isu miring yang dilontarkan lawan politik: dari agen CIA sampai kristenisasi, dari isu pemberlakuan syari’at Islam sampai legalisasi perjudian ternyata tidak membuat masyarakat surut untuk memilih SBY-JK. Ternyata performance SBY yang lembut, kalem, handsome, gagah, tidak emosional merupakan daya pikat luar biasa yang mampu “menghipnotis” masyarakat pemilih lintas-partai dan lintas-kebudayaan. Suara untuk SBY-JK yang melambung menunjukkan bahwa pasangan ini telah dipilih oleh berbagai lapisan masyarakat.

Di sini, peranan media massa memang luar biasa. Harus diakui, pergeseran perilaku pemilih pada Pemilu lalu yang menempatkan SBY-JK sebagai the best one tidak lepas dari andil publikasi media massa. Media massa betul-betul menjadi “Tuhan kedua”. Sejak SBY dicuekin Megawati ditambah persetruan dengan Taufik Kiemas, dia kemudian menjadi sorotan media massa dan dicitrakan sebagai “anak tiri yang terbuang.” Ini kemudian mampu menciptakan semacam “efek domino” berupa simpati publik persis seperti fenomena Megawati pada Pemilu 1999. Masyarakat kemudian bertambah simpati karena iklan yang ditayangkan SBY di TV sungguh sangat memikat di banding iklan pasangan lain. Berbeda dengan iklan calon presiden dan wakil presiden lain yang terkesan menggurui, mengobral janji, monoton, kaku dan sok merakyat dan memperhatikan rakyat kecil, iklan SBY tampil lebih memesona dan menyentuh ruang kesadaran rasional-spiritual-emosional masyarakat pemilih.

Kejutan berikutnya dari Pemilihan Presiden 5 Juli lalu adalah bergesernya orientasi perilaku pemilih (voting behavior). Sebelum Pemilihan Presiden digelar, banyak para pengamat dan analis politik yang mengatakan bahwa masyarakat pemilih di Indonesia masih dipengaruhi “politik aliran,” yakni politik yang didasarkan pada identitas-identitas primordial seperti agama atau ideologi tertentu semacam nasionalisme. Ini adalah teori yang sudah menjadi klasik dan klise. Politik aliran  ini dulu dipopulerkan oleh antropolog Amerika ternama, Clifford Geertz lewat buku klasiknya, The Religion of Java. Tesis “politik aliran” ini didasarkan pada fakta politik Pemilu 1955, dimana masyarakat pemilih tersegmentasi ke dalam afiliasi politik berdasarkan identitas keagamaan dan atau ideologi tertentu. Tetapi realitas politik menjawab segalanya. Kemenangan pasangan SBY-JK telah merontokkan teori jenis ini. Perolehan suara pasangan Mega-Hasyim yang mengusung gerbong nasionalis-NU (entitas yang sering diidentikkan sebagai “pemilih tradisional” dengan ciri-ciri utamanya adalah ketaatan/loyalitas pada pemimpin) tidak mampu mengejar SBY-JK. Begitupun dengan Wiranto-Wahid.

Yang lebih menyakitkan tentu saja pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar. Sebab kita tahu di setiap kampanye, Pak Hamzah selalu mengidentifikasi diri (baca, mengklaim) sebagai “representasi Islam”. Tapi apa hasilnya? Perolehan suara Hamzah-Agum sangat kecil. Itu artinya masyarakat Islam Indonesia lebih menyukai “substansi Islam” yang memperjuangkan keadilan, persamaan, kesejahteraan dan pluralisme ketimbang aspek-aspek atau simbol-simbol formal dari agama ini. Bagi saya, ini sesuatu yang sangat menggembirakan, umat Islam tidak terpengaruh dengan upaya tokoh politik untuk menjadikan Islam sebagai jargon politik atau basis ideologis untuk mengais dukungan pemilih. Ini artinya, masyarakat pemilih kita, dalam batas tertentu, tidak lagi bisa disebut “pemilih tradisional” tetapi sudah mulai memasuki tahap “pemilih rasional” yakni pemilih yang menentukan pilihannya berdasarkan kesadaran rasional atas fakta-fakta yang rasional dan terukur (measurable) bukan pada hal-hal yang bersifat “supra-rasional” seperti agama dan ideologi.

Tentu sebelumnya kita tidak menduga bahwa kantong-kantong Golkar, PDIP dan NU/PKB bisa memilih SBY-JK dengan suara yang sangat signifikan padahal pasangan ini tidak memiliki “mesin politik” yang menjangkau hingga ke desa-desa apalagi ke basis-basis tradisional NU. Ini artinya bahwa masyarakat pemilih kita sudah otonom, independen dan rasional yang tidak lagi bisa dimobilisasi dengan jargon-jargon keagamaan dan ideologi primordial lain bahkan di komunitas yang terkenal fanatismenya sekalipun seperti NU. Sangat mengejutkan, konstituen NU/PKB lebih dari 30% suara lari ke SBY-JK sementara KH Hasyim Muzadi yang sebelumnya diprediksikan dapat meraup suara banyak dari NU justru hanya mampu mengais kurang dari 20%. Itu masih beruntung dibanding suara yang masuk ke Shalahudin Wahid. Bagaimana menjelaskan fenomena ini? Apakah masyarakat NU tidak lagi loyal pada kiai? Atau ini menunjukkan bahwa kharisma tradisional (ini istilah Weber) kiai sudah mulai memudar?

Memang tidak mudah untuk menjelaskan fenomena ini. Ada banyak faktor yang menyebabkan kenapa warga NU lebih memilih SBY-JK ketimbang yang lain pada Pilpres lalu. Banyak analis politik yang mengatakan bahwa pilihan masyarakat NU ke pasangan SBY-JK lebih dikarenakan “kebingungan” warga NU menghadapi realitas politik yang terjadi khususnya pertikaian elite kiai. Kita tahu, dunia kiai saat itu memang terbelah ke dalam berbagai afiliasi politik: ada yang mendukung Shalahuddin Wahid (kebanyakan “kiai swasta”—sebutan untuk kiai kultural yang selama ini berada di belakang PKB), ada yang meng-endorse KH Hasyim Muzadi (didominasi “kiai negeri”—sebutan tidak formal untuk kiai struktural NU), ada pula kiai yang membebaskan warganya untuk memilih pasangan yang disukai dan ada pula yang meneladani Gus Dur memilih di jalur golput .

Tidak solidnya para kiai ini menyebabkan terpecahnya suara NU. Dan memilih SBY-JK merupakan “jalan penyelamatan” yang paling aman. Ada beberapa hal (untuk sementara) yang bisa menjelaskan kenapa SBY-JK menjadi pilihan. Pertama, SBY-JK adalah pasangan yang relatif “netral” dan tidak memiliki masa lalu yang buruk terhadap NU. Sementara baik Wiranto, Megawati, Amin dan Hamzah mempunyai masa lalu yang buruk dengan NU (Wiranto karena berlatar belakang Golkar, partai politik warisan Orde Baru yang sering menyakiti NU, Megawati ikut andil menurunkan Gus Dur, Amin disamping sponsor penurunan Gus Dur juga berlatar Muhammadiyah, “musuh bebuyutan” NU, sementara Hamzah dari PPP, partai politik yang juga sering bersengketa dengan NU). Kedua, SBY diuntungkan karena orang Jawa Timur (Pacitan) yang merupakan basis masyarakat NU dan JK diuntungkan karena masih “berdarah” NU. Di sini “Dewi Fortuna” tampaknya berpihak kepada pasangan ini.

Tapi “permainan politik” belum selesai. Masih ada ronde ke-2. SBY-JK akan mendapatkan tantangan serius jika kubu PKB-NU bersatu. Belum lagi kalau tim Mega-Hasyim bisa melobi massa PPP dan Golkar kubu Akbar. Kita tahu, Akbar sebetulnya “setengah hati” dalam mendukung Wiranto. Akbar juga ada ganjalan dengan JK karena pada waktu konvensi Golkar dulu, suara pendukung JK yang mayoritas dari Indonesia Timur digelontorkan ke Wiranto dan bukannya ke Akbar. Di sinilah peluang Mega-Hasyim untuk menggandeng Akbar sangat terbuka. Bagaimana dengan faktor Gus Dur yang selama ini kurang sreg dengan Mega-Hasyim? Gus Dur bisa saja tetap pada pilihan politiknya untuk Golput tetapi dia membebaskan para kiai PKB untuk menentukan pilihan politiknya. Di sinilah peluang untuk merapatkan barisan dengan Mega-Hasyim sangat terbuka karena kedekatan emosional-spiritual mereka. Tidak ada yang tidak mungkin dalam dunia politik. Ingat dalil politik: tidak ada kawan dan lawan abadi dalam politik.

Jika desain koalisi ini terjadi, maka pada ronde kedua Pilpres yang digelar 20 September nanti akan semakin menarik dan seru! Seperti dalam sepak bola, tim-tim yang tidak diunggulkan bisa menjadi kampium. Siapa dulu yang mengunggulkan Persik atau Yunani di Euro 2004 ini? Dengan semangat yang gigih dan strategi yang jitu keduanya mampu menjungkirbalikkan para pengamat bola. Begitupun dengan dunia politik. Kita tunggu saja.

 

 

Artikulli paraprakCJP, Mennonite, dan Spirit Perdamaian
Artikulli tjetërEddie Lembong, Tionghoa, dan Indonesia
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini