Beranda Opinion Bahasa “Civil Islam” versus “Uncivil Islam”

“Civil Islam” versus “Uncivil Islam”

1438
0

Civil Islam adalah sebuah istilah yang mengacu pada pengertian kaum Muslim atau varian keislaman yang memiliki karakteristik toleran, pluralis, sekuler, liberal, demokratis, inklusif, humanis, pro-perubahan sosial, serta menjunjung tinggi nilai-nilai “keadaban” (civility). Istilah ini dipopulerkan oleh guru dan pembimbing akademik saya di Boston University, Robert W. Hefner, melalui karyanya Civil Islam: Muslims and Democratizations in Indonesia. Buku ini berisi tentang gerakan pembaruan Islam dan kebangkitan intelektual yang disponsori oleh kelas menengah kota dan kaum “Muslim demokrat” sejak 1980-an di Indonesia yang dengan gemilang berhasil menumbangkan kekuatan rezim otoriter Orde Baru.

Melalui buku “Civil Islam” ini, Hefner ingin mengatakan bahwa proses demokratisasi dan ide-ide tentang demokrasi, civil society, civic pluralism, civil liberties, dlsb yang selama ini menjadi “maskot” Barat juga bisa ditemukan di negara-negara berbasis Muslim. Ia menjadikan Indonesia sebagai “proyek percontohan” studi kebudayaan dan kepolitikan dunia Islam yang “pro-demokrasi” ini. Bagi Hefner, kasus Indonesia ini menarik karena, pertama, posisi Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang memiliki karakteristik dan pengalaman politik-keagamaan yang “unik” dan relatif berbeda dengan kawasan Islam lain. Kedua, peristiwa bersejarah “Reformasi 1998”—yang disebut-sebut sebagai “revolusi terbesar kedua” dalam sejarah Islam modern setelah Revolusi Islam Iran 1979—itu diarsiteki dan digerakkan oleh kelompok “Muslim liberal-demokrat” yang menghendaki adanya perubahan mendasar dalam sistem ekonomi dan politik di Indonesia.

Saat itu gagasan Hefner tentang “civil Islam” ini berhasil menyengat banyak orang terutama lingkaran kampus dan publik intelektual yang memang tidak familiar dengan gagasan Islam yang “civil.” Berbeda dengan para “pemikir esensialis” seperti Bernard Lewis, Ernest Gellner atau Serif Mardin yang tidak percaya akan munculnya proses demokratisasi di dunia Islam, Robert Hefner berargumen bahwa dunia Islam telah mengalami kemajuan signifikan dan perubahan sosial yang sangat penting berkaitan dengan ide-ide demokrasi, pluralisme, citizenship, feminisme dan lain-lain, atau singkatnya, “civil Islam”. Oleh karena itu, bagi Hefner, menggunakan ide-ide klasik Weberian yang sangat “pesimistik” terhadap Islam dan dunia politik Muslim untuk mengkaji perkembangan wacana kepolitikan dan kebudayaan Islam kontemporer akan misleading dan tidak akurat.

Fenomena “Uncivil Islam”

Gagasan Hefner tentang “civil Islam” di atas sangat akurat karena memang di berbagai negara Muslim termasuk Indonesia yang menjadi “studi kasus” Professor Hefner, telah tumbuh dan berkembang kelompok aktivis-intelektual yang menjadi “vanguard” gerakan sosial-kepolitikan yang egaliter dan demokratis serta gerakan keagamaan yang toleran-pluralis dan humanis-liberal. Akan tetapi di pihak lain, penting juga untuk dikaji, selain sederet fakta “civil Islam” ini juga terdapat sejumlah fenomena keagamaan yang saya sebut “uncivil Islam”, yakni kelompok Muslim atau jenis keislaman yang konservatif, radikal, militan, puritan, misoginis, intoleran, anti demokrasi, tidak pluralis, eksklusif, inward looking, anti-perubahan, serta menggunakan cara-cara kekerasan, terorisme, premanisme, vandalisme, dan perbuatan “uncivil” lain dalam mengekspresikan gagasan, pandangan, wawasan, dan keyakinan keagamaannya.

Sejak tumbangnya pemerintah Orde Baru dan munculnya “era reformasi” yang bertumpu pada ide-ide demokrasi, kelompok “uncivil Islam” ini semakin berkembang biak dan sering bertindak kebablasan dalam mengusung wacana keislaman. Bagi kelompok “uncivil Islam” ini, agama Islam adalah segala-galanya dan harus ditempatkan di atas konsep, gagasan, dan sistem apapun: nation-state, Pancasila, demokrasi, dlsb. Pada saat Suharto yang otoriter itu berkuasa, kelompok “uncivil Islam” ini tidak berkutik dan hanya bergerak secara clandestine karena memang Suharto tidak memberi tempat kepada kelompok-kelompok keislaman jenis ini (kecuali di akhir pemerintahannya yang mana Suharto menggunakan kelompok Islam militan-konservatif untuk memecah kekuatan “Islam demokrat” yang merongrong kekuasaannya). Akan tetapi setelah Suharto lengser dari kekuasaan dan Indonesia memasuki babak baru “era demokrasi”, mereka bak cendawan di musim hujan.

Realitas ini adalah sebuah ironi karena di satu sisi kelompok “uncivil Islam” ini rajin mengkritik sistem demokrasi yang mereka anggap “tidak islami” sementara di pihak lain secara diam-diam mereka menikmati buah sistem pemerintahan demokrasi itu. Penting untuk dicatat bahwa kelompok “uncivil Islam” ini tidak akan bisa hidup di sebuah negara yang menganut sistem pemerintahan otoriter seperti Indonesia di zaman Orde Baru (juga Orde Lama, khususnya di akhir kekuasaan Bung Karno) atau di berbagai negara Arab, Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini. Hanya sistem politik yang menghargai kedaulatan rakyat dan warga negaralah—seperti sistem pemerintahan demokrasi—yang memungkinkan kelompok-kelompok “Islam politik” dan “uncivil Islam” ini bisa tumbuh dan berkembang. Karena itu kelompok “uncivil Islam” ini seharusnya “berterima kasih” terhadap sistem demokrasi bukan malah menghujatnya.

Lepas dari masalah ini, corak keislaman ke depan akan ditentukan oleh dinamika dan kompetisi kelompok “civil Islam” dan “uncivil Islam”ini dalam panggung sejarah politik dan kebudayaan bangsa kita. Siapa yang berhasil memenangkan “pertarungan pemikiran” dan merebut simpati publik Muslim Indonesia, maka merekalah yang akan menentukkan “gambar” wacana keislaman di negeri ini di masa-masa yang akan datang.

Saya berharap kekuatan “civil Islam” kembali bangkit dan bersatu, bukan untuk menggulingkan kekuasaan tetapi untuk (1) melawan kelompok “Islam ekstrim” yang gemar melakukan kekerasan atas nama agama yang marak pasca tumbangnya Suharto dan (2) membendung laju pergerakan “uncivil Islam” dan “Islam politik” yang mengancam sendi-sendi kemajemukan bangsa dan agama. Jika kelompok “civil Islam” tidak bergerak untuk melakukan “perlawanan kultural” terhadap kaum “uncivil Muslim”, maka masa depan bangsa yang majemuk ini akan terancam seperti ditegaskan oleh Albert Einstein, “The world will be destroyed not by bad people but by good people who let it happen.” []

 

 

Artikulli paraprakBersama Justisia di Masa Genting Orba
Artikulli tjetërCJP, Mennonite, dan Spirit Perdamaian
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini