Saya perhatikan ada sejumlah kelompok yang hobinya mencaci-maki demokrasi karena dianggap sebagai “sistem liberal-sekuler” atau “produk kebudayaan Barat” yang “kapir-njepir”. Tetapi pada saat yang sama, mereka gemar “menggauli” atau “mengsetubuhi” demokrasi ini. Setidaknya ada tiga kelompok yang “membenci tapi merindu” demokrasi ini. Pertama, kelompok tidak tahu malu. Kedua, kelompok tidak tahu diri. Dan ketiga, kelompok yang tidak tahu sama sekali.

Misalnya, para “cheerleaders” sistem politik-pemerintahan Khilafah yang, seperti Anda tahu, sangat antipati dengan demokrasi, tetapi setiap hari menikmati “buah demokrasi”. Demokrasilah yang membuat orang-orang bisa euforia meluapkan pikiran dan uneg-unegnya yang kadang-kadang sampai kebabalasan. Demokrasilah yang membuat orang bisa bebas membuat ormas, yang lucunya ada yang dipakai untuk menyerang demokrasi. Demokrasi pulalah yang membuat orang bisa berdemo seenak wudelnya sendiri—ada yang sambil foto-foto selfie, ada pula yang sambil kencing di balik pohon he he.

Tanpa sistem demokrasi, semua itu mustahal terjadi. Apa yang “mereka” kini dengan bebas nikmati di Indonesia itu, tidak akan bisa dinikmati di negara manapun di dunia ini yang menggunakan sistem politik-pemerintahan non-demokrasi. Apapun namanya sistem politik-pemerintahan itu (kerajaan, kesultanan, keamiran, republik, dlsb). Apapun sumber sistem politik-pemerintahan itu (Komunisme, Islam, Konfusianisme, dlsb). Jika tidak mengadopsi sistem demokrasi, maka rakyat tidak memiliki ruang gerak leluasa untuk berekspresi baik berdemo maupun berormas.

Maka, saya jamin, ormas-ormas berlabel Islam seperti FPI atau HTI dan saudara-saudaranya yang hobi demo massa, jika di negara-negara yang menerapkan sistem politik non-demokrasi (baik negara-negara Arab maupun bukan), maka mereka sudah “diberangus” sebelum lahir karena demonstrasi massa dipandang bisa mengganggu stabilitas sosial-politik-ekonomi negara.

Hizbut Tahrir (HT) yang mengklaim mengusung “sistem politik” Islam, malah dilarang di negara-negara mayoritas Muslim, Arab maupun non-Arab. Bahkan di negara asalnya tempat HT lahir (yaitu Palestina) juga tidak laku dan mati. Lucunya HT malah tumbuh subur di negara-negara penganut sistem demokrasi (baik liberal maupun illiberal) seperti di Amerika, Inggris, Australia, termasuk Indonesia, yang selalu mereka “kopar-kapirkan” itu. Ajaibnya lagi, bukannya berterima kasih, para pedagang asongan sistem khilafah di Indonesia (baik yang elitnya maupun massanya) malah mencaci-maki negaranya sendiri yang telah menyuburkan mereka.

Menurut Anda, kira-kira para tokoh, massa, maupun ormas yang antipati dengan demokrasi tapi rajin demo itu tergolong umat apa? Umat tidak tahu diri, tdak tahu malu, atau tidak tahu sama sekali? [SQ]

Artikulli paraprakDemam Naik Gak Naik-Naik
Artikulli tjetërDialog Sang Anak Dengan Ibunya
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.