Berdiri pada 1956, UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana), yang terletak di “kota suejuk” Salatiga, Jawa Tengah, ini, menyimpan “sejuta kenangan” tersendiri buatku. Di kampus inilah dulu saya untuk pertama kalinya mempelajari dan “membaca” agama dari perspektif ilmu-ilmu sosial di Program Paskasarjana Agama dan Masyarakat (Sosiologi Agama).
Kala itu, alasan kuat untuk belajar di UKSW, antara lain, karena saya “agak bosan” belajar Islam dari sudut pandang “Islamic Studies” yang lebih menekankan pada “otoritas teks”. Atau, katakanlah, melihat dan mengkaji Islam dari perspektif teks-teks keislaman dan “ilmu-ilmu keislaman” saja (fiqih, ushul fiqih, tafsir, aqidah, dlsb) tanpa melibatkan perangkat ilmu-ilmu sosial dan humanities (sosiologi, sejarah, antropologi, dlsb). Selama kurang lebih 7 tahun saya belajar Islam dalam bingkai “Islamic Studies” tadi waktu saya kuliah S-1 di IAIN (kini UIN) Walisongo, Semarang, plus beberapa tahun di pondok pesantren dan madrasah.
Alasan lain, saya ingin mengetahui dan melihat lebih dalam “daleman” kelompok Protestan, yang memang waktu itu masih jarang saya “gauli”. Sebelumnya, saya sudah sangat akrab dengan komunitas Katolik di Semarang, dan lama membangun kerja sama antar-agama dengan mereka. Almarhum Romo Pujo (Pujasumarta), mantan Bapa Uskup Semarang, adalah salah satu sahabat karibku. Tetapi dengan umat Protestan belum banyak kenal. UKSW-lah yang menjadi “pintu masuk”-ku mengenal lebih dekat, lebih dalam, dan lebih jauh dengan warga Kristen Protestan. Hingga kini saya menggalang persahabatan dengan mereka dari Sabang sampai Merauke.
Berbekal “surat rekomendasi” dari (almarhum) Prof. Dr. Ahmad Qodri Azizy (mantan Rektor IAIN Walisongo & Dirjen Kemenag RI), saya nekad melamar program S2 di UKSW dengan modal keuangan ala kadarnya. Maklum, waktu itu saya adalah termasuk golongan “sarjana pengangguran” yang “hidup segan mati tak mau”. Meskipun “kere-njere” (miskin buanget), saya punya tekad baja untuk sekolah. Istilahnya, “biar miskin asal sombong” he he. Pokoknya sekolah, urusan duit belakangan. Setiap sekolah, selama dua tahun, saya naik bus ekonomi bolak-balik dari Ngaliyan, Semarang (tempat saya indekos) ke Salatiga, sampai hafal para pengamen bus yang kadang nyambi jadi tukang copet yang menyebalkan.
Meskipun megap-megap sekolah karena kendala keuangan sampai tiga semester “utang SPP”, saya akhirnya bisa lulus juga. Alhamdulilah ya bos. Makan saja susah apalagi bayar SPP. Terima kasih kepada sejumlah pihak yang telah berbaik hati “menyelamatkan” saya waktu itu dari “lubang kegelapan”, termasuk Pak John Titaley (Rektor UKSW), Pak Mesach Krisetya, dan almarhum KH MA Sahal Mahfudh (Mantan Ketum MUI dan Rais Am PBNU).
Terlepas dari “problem keuangan” yang saya hadapi waktu itu, yang jelas UKSW adalah kampus yang memberi kontribusi luar biasa bagi “karir perkembangan intelektualku”. Melalui UKSW, saya bisa dan menjadi terbiasa menganalisis persoalan sosial-keagamaan dari berbagai sudut pandang. UKSW pula yang “melengkapi” pemahamanku dalam “membaca” dan “mengkaji” Islam dan keislaman, yang tidak melulu dari perspektif “Islamic studies” tadi tapi juga dari kacamata ilmu-ilmu sosial sehingga lebih “terbuka dan komprehensif”. Kelak, saya memperdalam lebih lanjut dasar-dasar ilmu sosial yang saya peroleh di UKSW ini waktu studi program doktor di bidang Antropologi di Boston University, Amerika Serikat.
Selamat ulang tahun ke-60 UKSW. Semoga engkau tetap jaya sepanjang masa mengawal agama, bangsa, dan negara Indonesia tercinta. [SQ]