Seminggu sebelum kematiannya, tokoh “Kristen kanan” dan evangelis berpengaruh Jerry Falwell (73) bercerita kepada wartawan CNN Christiane Amanpour, kalau dia ingin hidup 20 tahun lagi guna melengkapi visi Liberty University yang didirikannya pada tahun 1971 di Lynchburg, Virginia. Sambil mengutip cerita Hezekiah, yang dalam Bible dikisahkan minta tambahan ekstra umur 15 tahun, Pendeta Falwell bertutur, “I’m praying the same prayer with an option to renew.” Dia mengungkapkan bahwa tujuan minta penambahan umur itu untuk merealisasikan keinginannya mengembangkan Liberty University sebagai universitas Kristen evangelis utama baik di AS maupun dunia. Universitas Liberty yang dulu bernama Lynchburg Bible College itu mempunyai mahasiswa lebih dari 10 ribu yang tinggal di kampus dan 15 ribu yang mengambil kelas jauh. Suatu saat, Falwell menyebut para mahasiswa di kampusnya sebagai calon evangelis Kristen—dan tentu saja kader Kristen kanan—masa depan. Mendiang pendeta Jerry Falwell, pendiri Thomas Road Baptist Church di Lynchburg, Virginia yang memiliki jemaah lebih dari 24 ribu itu, dikenal sebagai salah satu tokoh tua Kristen fundamentalist konservatif yang anti-Islam, anti homoseksual, pornography, drugs, aborsi, feminisme, liberalisme, sekularisme, dll yang dianggapnya sebagai dosa-dosa yang merusak bangsa (AS), gereja, dan Bible.
Pendapat Jerry Falwell yang “serba anti” ini dan sejumlah tokoh Kristen kanan gaek lain seperti Pat Robertson, Franklin Graham, Jerry Vine, Richard Cizik, dll berakar pada pandangan mereka yang menganggap bangsa Amerika dibangun di atas basis etika Judeo-Christian yang anti sekularisme dan liberalisme, dan karena itu dia menginginkan AS sebagai “rumah” buat Yahudi dan Kristen yang memelihara tradisi dan nilai-nilai kekristenan dan keyahudian. Karena pandangan (tepatnya keyakinan) inilah, dia dan sejumlah temannya tadi ramai-ramai membentuk gerakan Christian Zionism, sebuah paham dan gerakan yang menganggap negara modern Israel sebagai pemenuhan atas janji Bible. “Siapa yang mencintai Israel, maka akan dicintai Tuhan dan siapa yang membenci Israel maka akan dibenci Tuhan” adalah kalimat dalam Bible yang sering mereka kutip sebagai justifikasi teologis dan fondasi moral atas dukungan mereka terhadap gerakan Zionisme Kristen. Harap diingat, Falwell dan koleganya tidak hanya mendukung secara teologis dan keagamaan atas gerakan Christian Zionism ini melainkan juga secara politik dan financial. Tokoh-tokoh Kristen kanan ini juga tergabung dalam American Alliance of Jews and Christians, organisasi persekongkolan Yahudi-Kristen untuk menghadapi Islam yang didirikan oleh Rabbi Daniel Lapin.
Ketika pada tahun 1980an, Partai Likud Israel gencar membangun hubungan mesra dengan sayap kanan kristen AS, Falwell dan para “pendekar tua” Kristen kanan tadi menjadi salah satu tokoh kunci dalam memobilisir kelompok Kristen konservatif guna mendukung apapun yang dilakukan Israel. Di antara tokoh tua Kristen konservatif AS, Falwell memang sangat spesial. Menurut sebuah sumber, sesaat setelah Israel mengebom reaktor nuklir Iraq pada tahun 1981, PM Israel waktu itu Menachim Begin menelpon almarhum Falwell minta agar ia menerangkan publik Kristen AS mengenai alasan-alasan pengeboman tersebut (http://www.zmag.org). Sara Diamond dalam bukunya Spiritual Warfare: the Politics of Christian Right juga mencatat bahwa melalui program khusus televisi dan perjalanan rutinnya ke Israel, Falwell telah memainkan peranan penting dalam mengarahkan kelompok konservatif Kristen agar “memperhatikan” masalah politik di Timur Tengah. Sebagai ganjaran atas kerasnya, pada tahun 1979, Israel menghadiahi Falwell jet pribadi dan dua tahun berikutnya, Falwell menerima Israel’s Jabotinsky Award atas dukungan-dukungannya pada Yahudi Israel.
Gerakan Kristen kanan di AS di panggung politik AS menguat sejak 1973 ketika mereka menggalang massa melawan gerakan civil rights dan kebebasan yang disuarakan American Civil Liberties Union (ACLU) mereka anggap telah menodai Kristen dan Bible. Bersama sejumlah politisi Partai Republik konservatif seperti Paul Weyrich, Terry Dollan, Richard Viguerie, James Kennedy, and Howard Phillip, para tokoh Kristen kanan ini membentuk gerakan “Moral Majority” dengan Falwell sebagai pemimpinnya sebagai gerakan tandingan ACLU. Organisasi Moral Majority ini mampu memobilisir masa Kristen konservatif dan mengantarkan Ronald Reagan dari Partai Republik ke Gedung Putih pada tahun 1980. Sejak keberhasilan spektakuler itu, pamor dan pengaruh para tokoh Kristen kanan, terutama Falwell, di Partai Republik sangat kuat.
Menurut Bill Berkowitz (2007), para tokoh Kristen kanan ini menjadi aktor kunci di balik program perang yang dilancarkan Ronald Reagan—tidak hanya perang Israel atas Palestine tapi juga serangkaian perang di Amerika Tengah dan Afrika yang telah menyebabkan kematian puluhan ribu orang. Lebih dari itu, para tokoh Kristen kanan ini juga mendukung politik segregasi Apartheid di Afrika Selatan dan mengkritik Nelson Mandela karena usaha-usahanya dalam menjalin persekutuan dengan para tokoh Muslim anti Apartheid di negara tersebut. Reputasi para tokoh Kristen kanan berlanjut. Merekalah yang menjadi aktor kunci dibalik kemenangan Partai Republik dan kesuksesan Bush ke Gedung Putih mengalahkan John Kerry dari Partai Demokrat yang dianggap simbol liberalisme dan sekularisme AS. Tanpa dukungan Kristen kanan, Partai Republik akan kempes dan Bush mustahil menjadi AS 1. Karena jasa para tokoh Kristen kanan itu demikian besar, maka George Bush pun tak kuasa untuk menolak ide-ide mereka—termasuk gagasan keblinger War on Terror dan ide aneh American Theocracy, bahkan Bush juga rela berpura-pura saleh sambil mengutip Injil dan mengkritik liberalisme, padahal dunia tahu kalau dia adalah “si bengal dari Texas.”
Gerakan fundamentalisme—dimanapun di semua agama—pada dasarnya sama saja: menjadikan agama sebagai kendaraan untuk meraih politik kekuasaan! Mereka umumnya tampil saleh di depan publik lengkap dengan aksesoris-aksesoris keagamaan, menunjukkan komitmen pada upaya mempertahankan nilai-nilai tradisional keagamaan (kekristenan, keislaman, keyahudian, kehinduan, dll), dan berpretensi sebagai satu-satunya “penjaga gawang” tradisi keagamaan. Untuk menunjukkan “komitmen” dan “kesatriaan” pada kelompok agamanya, mereka terkadang rela mengeluarkan kata-kata kotor dan kasar kepada “lawan agamanya.” Misalnya seperti ditulis professor Fuller Theological Seminary J. Dudley Woodberry [Krabill, Shenk, Stutzman (eds.) 2005], Jerry Falwell dan Franklin Graham menyebut Islam sebagai “agama jahat dan amoral” (a very evil and wicked religion), Jerry Vine menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai “a demon-possessed pedophile,” sementara Richard Cizik, wakil presiden Govermental Affairs of the National Association of Evangelicals yang membawahi 43.000 kongregasi Kristen menyebut Islam sebagai “kerajaan setan” yang menggantikan posisi Uni Soviet—sebuah cacian yang mendorong Akbar S Ahmed menulis buku Islam Under Siege. Cacian yang sama juga dilontarkan para tokoh Islam militan-fundamentalis. Kita masih ingat ketika mendiang Khomeini menyebut AS sebagai “Setan besar” dan Israel sebagai “setan kecil.” Bagi saya ungkapan-ungkapan bombastis ini aneh, mengingat pada saat yang sama Iran menjalin hubungan mesra dengan Uni Soviet dan negara komunis lain. Kata-kata kasar terhadap AS, Kristen, atau Yahudi juga dilontarkan Osama dan sindikatnya, yang juga lagi-lagi terasa aneh mengingat AS-lah mitra utama sekaligus “pencetak” Ben Laden, Taliban dan Mujahidin pada saat menggulingkan Uni Soviet!
Tetapi sebetulnya gerakan kanan agama ini sebatas gerakan simbol akal-akalan untuk membungkus nafsu politik kekuasaan yang menggelora. Tidak ubahnya seperti gerakan simbolik lain, kelompok kanan agama ini menjadikan simbol-simbol agama sebagai magnet untuk mengeruk simpati dan dukungan publik. Ketika simpati dan dukungan publik itu mengalir dan mampu mengantarkan kelompok kanan agama tertentu ke tampuk kekuasaan, tidak dengan sendirinya para tokoh “pembangkit agama” ini kemudian memperhatikan hak-hak dan kebutuhan dasar umat. Bahkan faktanya hanya para elit kanan agama inilah sebetulnya yang menikmati lezatnya kekuasaan, bukan rakyat banyak. Itulah yang terjadi di Iran ketika negara dikendalikan kaum mullah (Aslan 2006), Afghanistan semasa rezim Taliban (Rashid 2001), Iraq (al-Khalil 1990), Palestine (Gold 2003), Sudan (ICG 2006), Arab Saudi (Abu El Fadl 2005), dll. Dimana-mana rakyat banyak memang selalu menjadi korban gerakan politik simbolik agama sampai akhirnya, setelah sekian lama dimanipulasi, mereka baru sadar gerakan akal-bulus para tokoh agama kanan tadi, dan kemudian melakukan perlawanan—ketika ada momentum.
Itulah yang terjadi di AS saat ini ketika rakyat Amerika kemudian “mencabut mandat” kepada Bush—dengan dibuktikan kekalahan telak Partai Republik pada pemilu sela tahun lalu—ketika mereka sadar bahwa kebijakannya yang di-back up penuh kelompok Kristen kanan lebih banyak menimbulkan kerugian fisik, finansial, dan moral buat bangsa AS sendiri. Secara fisik, banyak tentara AS yang mati sia-sia di Afghanistan an Iraq. Secara finansial, rakyat AS telah kehilangan uang milyaran dollar akibat kebijakan ngawur perang Bush. Data yang dirilis dari website TrueMajority.Org misalnya menyebutkan bahwa pemerintah Bush telah menghabiskan $ 664 billion untuk program global military termasuk untuk kebutuhan perang di Afghanistan an Iraq (bandingkan dengan Russia yang $ 50 billion dan China $ 51 billion). Demi ambisi mewujudkan cita-cita “war on terrorism” dan memenuhi hasrat para tokoh Kristen kanan, Bush rela memangkas budget untuk orang miskin, pendidikan, pensiunan, health care, dll. Adapun secara moral rakyat AS juga telah kehilangan muka di mata dunia internasional, ikut menanggung beban moral yang luar biasa berat akibat kecaman dunia yang terus mengalir ke negara mereka.
Gerakan simbolik kelompok kanan agama ini tidak hanya terjadi di AS dan Timur Tengah tetapi juga di Indonesia. Sejak reformasi membuka pintu negeri ini, gerakan-gerakan kanan Islam yang penuh simbol-simbol dan jargon-jargon kosong keislaman ini bertebaran di mana-mana. Jika bangsa dan rakyat Indonesia tidak waspada dan terlena pada simbol-simbol palsu itu, mereka kembali akan menjadi korban politik segelintir para elit agama (Islam)!!.
Dan setelah Bush dikalahkan oleh Obama dari Partai Demokrat, kebijakan luar negeri AS utk membiayai teroris hasil ciptaannya pun masih terus berlanjut. Setelah Irak dan Libya berhasil dikalahkan target berikutnya adalah Suriah.