Beranda Opinion Bahasa Harta, Takhta, dan Agama

Harta, Takhta, dan Agama

1669
0

Di kalangan masyarakat Indonesia sangat populer ungkapan ”harta, takhta, dan wanita”. Tiga hal ini dianggap sebagai faktor yang, jika tidak waspada, bisa membahayakan dan menghancurkan karier dan reputasi seseorang (khususnya pria).

Umat beragama juga ikut-ikutan menambahkan bahwa ketiga hal itu bisa berpotensi ”menghancurkan iman”. Harta mengacu pada konsep kekayaan, sedangkan takhta adalah jabatan atau kekuasaan. Harta dan takhta sebetulnya bukan sesuatu yang buruk, negatif, dan berbahaya. Bahkan sebaliknya, keduanya bisa dijadikan sarana untuk memakmurkan dan menyejahterakan umat manusia. Semua tergantung bagaimana kita memandang dan memfungsikan harta dan takhta tersebut.

Wanita pun demikian. Banyak kaum perempuan perkasa di dunia ini yang menjadi ”mesin” perubahan sosial, ekonomi, politik, agama, dan kebudayaan yang menginspirasi banyak orang.

Namun, bagi sebagian orang, harta dan takhta memang bisa menggelincirkan dan menghancurkan umat manusia dan alam semesta. Misalnya, di tangan orang yang rakus kekayaan, sumber daya alam yang melimpah ruah serta lingkungan subur dan hijau bisa porak-poranda. Kejahatan korupsi terjadi, antara lain, juga didorong nafsu menumpuk harta ini.

Takhta juga demikian. Bagi orang yang kemaruk jabatan dan kekuasaan, takhta bisa mencelakakan. Nafsu berkuasa berlebihan membuat orang rela menghalalkan segala cara dan melakukan apa saja, termasuk menipu rakyat, membuat sistem dan aturan yang menguntungkan kelompoknya, bersekongkol dengan kelompok jahat yang memiliki tujuan sama, serta menjegal dan menelikung teman seperjuangan dan bahkan karib-kerabat sendiri yang dipandang membahayakan kedudukan mereka.

Hal ini terjadi karena mereka menempatkan kekuasaan bukan sebagai jalan untuk menyejahterakan masyarakat serta membuat bangsa dan negara menjadi damai, aman, maju, dan makmur, melainkan sebagai ”tangga” untuk mengontrol, mengeruk, dan menguasai aset-aset politik dan ekonomi.

Faktor agama

Selain harta dan takhta (saya tidak memasukkan unsur atau faktor ”wanita” karena sangat bias jender, selain berbau ”misoginis” dan ”patriarkis”), agama juga bisa berbahaya. Seperti harta dan takhta, agama juga bak pedang bermata dua: bisa positif dan negatif. Agama bisa dijadikan sebagai sumber inspirasi untuk membangun peradaban humanis dan adiluhung serta menciptakan harmoni sosial dan perdamaian global.

Akan tetapi, pada saat bersamaan, agama juga bisa menjadi ”senjata” yang mematikan, merusak akal sehat, menghancurkan tatanan dan relasi sosial, dan mampu memusnahkan manusia. Perang dan aneka ragam bentuk kekerasan lainnya (termasuk terorisme) dalam sejarah umat manusia tidak hanya didorong oleh faktor harta dan takhta, tetapi juga agama (dan lainnya).

Dengan demikian, bukan hanya kelompok fanatik atau militan harta dan takhta yang berbahaya, kaum fanatik dan militan agama pun bisa merusak dan membahayakan, yakni kelompok agama yang kerdil, cupet, tertutup, closed minded, ultrafanatik, tunawawasan, serta mengekspresikan agama secara berlebihan (”overdosis beragama”).

Karena mengidap ”penyakit” atau ”virus” overdosis fanatisme, kelompok agama model ini bisa dengan mudah mengkafir-sesat-kan agama dan kepercayaan lain serta melecehkan teks, ajaran, doktrin, ritual, simbol, dan praktik keagamaan-kebudayaan umat lain.

Mereka bahkan tak segan-segan melakukan tindakan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan: menghancurkan tempat ibadah dan properti budaya umat manusia; mengusir pengikut agama; dan bahkan merangsek, menggeruduk, menyerbu, melukai, hingga membunuh anggota kelompok agama tertentu pun, bila perlu, mereka lakukan. Semua itu dilakukan atas nama agama (dan Tuhan). Jelasnya, agama dan Tuhan dijadikan tameng atau ”topeng monyet” untuk memuluskan ”akal bulus” dan jalan tindakan kriminal yang tak manusiawi.

Demokrasi dan militansi agama

Sejak rezim Orde Baru tumbang tahun 1998 dan keran demokrasi mulai menyapa Indonesia, negara kepulauan ini menjadi lahan subur bagi persemaian kelompok militan agama. Dalam batas tertentu, demokrasi turut berjasa menyumbang atau memberikan kontribusi bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan kelompok radikal agama ini, meskipun mereka, ironisnya, secara retoris menghujat demokrasi yang dianggap sebagai ”produk kebudayaan Barat-kafir”.

Padahal, sejatinya, tanpa demokrasi (misalnya di negara-negara otoriter, termasuk Indonesia di era Orde Baru), mereka sulit dan bahkan tak bisa tumbuh dan berkembang bebas di masyarakat. Jika dulu di masa Orde Baru panggung politik-ekonomi didominasi duo kelompok rakus kekayaan dan kemaruk kekuasaan, kini di ”era Reformasi” ditambah kelompok radikal-konservatif agama yang menjamur bak cendawan di musim hujan, tumbuh subur di banyak daerah, mulai dari Sumatera dan Jawa hingga Sulawesi dan Papua.

Mereka yang dulu di masa Orde Baru ”tiarap” dan melakukan gerakan secara tertutup dan klandestin (sembunyi-sembunyi atau ”bawah tanah”), sekarang mereka bisa leluasa mengekspresikan wacana dan praktik konservatisme dan militansi agama dalam kehidupan sehari-hari.

Melalui institusi pendidikan dan pengajian keagamaan, baik daring maupun luring, mereka juga bebas-merdeka melakukan indoktrinasi dan menyuntikkan ajaran, doktrin, diskursus, dan paham keagamaan yang rigid, intoleran, ekstrem, radikal, dan antispirit kebinekaan dan kebangsaan.

Mereka juga tidak segan-segan melontarkan pendapat, kritikan, dan bahkan bernuansa pelecehan terhadap struktur, lambang, konstitusi, dan fondasi kenegaraan Republik Indonesia.

Korban radikalisme agama

Sudah banyak yang menjadi korban propaganda kelompok militan-konservatif agama ini: dari anak-anak dan remaja sampai orang dewasa, dari laki-laki sampai perempuan, dan dari masyarakat ”kelas bawah” hingga kalangan menengah-atas.

Di antara para korban propaganda itu, misalnya, mereka yang berduyun-duyun ”hijrah” ke Suriah atau Irak untuk tinggal, menurut imajinasi mereka, di sebuah ”negara Islam” yang berbasis syariat, sehingga bisa hidup aman, nyaman, damai, dan sentosa.

Untuk menggapai impian atau khayalan itu, mereka pun rela menjual harta benda berharga: rumah, tanah, perhiasan, dan sebagainya. Sebagian rela pensiun dini dari pekerjaan atau jabatan yang sudah mapan di perusahaan ataupun lembaga lainnya. Padahal, realitas yang terjadi di Suriah dan Irak justru sebaliknya: kacau-balau, penuh dengan intrik, permusuhan, perang dan kekerasan serta keangkaramurkaan. Ibarat surga yang mereka dambakan, nerakalah yang justru mereka dapatkan.

Sejumlah orang yang terlibat aksi terorisme dan radikalisme, termasuk kaum perempuan, anak-anak, dan bahkan anggota keluarga, juga bagian dari deretan korban militansi agama. Tragisnya, anak-anak sekolah juga banyak yang sudah terpapar ”virus” radikalisme agama sehingga mudah mengumbar rasisme dan kebencian kepada Pancasila, non-Muslim ataupun umat Islam yang kebetulan berbeda haluan, maupun aneka produk kebudayaan manusia dan bahkan warisan leluhur bangsa sendiri. Ini belum termasuk banyak umat yang tertipu oleh beragam bisnis berlabel syariat yang menjamur di mana-mana.

Fenomena merebaknya kelompok konservatif dan fanatikus agama ini kemudian ”dikelola” oleh parpol dan ormas agama tertentu dan juga para ”elite pecundang”—baik yang masih aktif maupun eks—sehingga membuat mereka menjadi semakin militan dan radikal. Dengan kata lain, radikalisasi dan militansi kelompok agama itu tidak lepas dari ”sentuhan” dan intervensi ”tangan-tangan gaib” (invisible hands) sekelompok parpol, ormas sosial-keagamaan, dan elite masyarakat tertentu.

Perlu waspada

Jika fenomena militansi dan radikalisme agama ini dibiarkan berlarut-larut dan tidak ditangani dengan saksama atau jika pemerintah, aparat hukum, dan masyarakat secara umum lengah, bukan tidak mungkin di kemudian hari nanti kelompok militan agama ini akan menjadi ”mimpi buruk” bagi rakyat Indonesia yang multietnik dan multiagama. Apalagi jika mereka membangun kongsi dengan orang/kelompok yang tamak harta dan kemaruk takhta.

Pula, ”mimpi buruk” itu akan semakin cepat jadi kenyataan, terutama jika mereka diberi panggung kekuasaan atau berhasil merebut kekuasaan. Itulah yang terjadi di sejumlah negara, seperti Iran (sejak Revolusi Islam 1979), Sudan (sejak 1980-an sebelum rezim tumbang), dan Afghanistan (zaman Taliban).

Arab Saudi juga pernah mengalami ”mimpi buruk” itu terutama sejak 1980-an ketika kelompok militan-konservatif agama (disebut Sahwa, yang banyak dipengaruhi ideologi Ikhwanul Muslimin) diberi otoritas atau panggung kekuasaan oleh elite kerajaan (kala itu di era Raja Khalid).

Begitu diberi ”stempel kekuasaan”, mereka bergerak cepat menyulap dunia pendidikan dan sosial-keagamaan jadi sangat rigid dan konservatif. Berbagai kebijakan dan aturan kaku serta berwatak etnosentris dan intoleran pun secepat kilat dibuat dan dipaksakan diterapkan.

Banyak hal-ihwal yang berkaitan dengan ekspresi seni dan kebudayaan diharamkan. Perempuan juga mulai ”dikerangkeng” dan diatur sedemikian rupa dalam hal tata busana dan aktivitas publik. Serba tak boleh melakukan ini-itu. Jika masyarakat dinilai melanggar aturan, ”polisi syariat” yang bertebaran di mana-mana siap menghukum.

Sejak beberapa tahun terakhir ini, Arab Saudi sudah berubah drastis dari konservatif ke moderat. Polisi syariat pun sudah dibubarkan. Konsekuensi dari perubahan sosial-kebudayaan dan keagamaan ini, banyak aturan lama yang rigid dan dinilai tak mendukung ”spirit kemajuan” pun diamendemen.

Misalnya, seperti diberitakan Saudi Gazette, Kementerian Pendidikan dalam 2-3 tahun terakhir mengamendemen sekitar 120.000 konten kurikulum pendidikan yang dianggap bertentangan dengan spirit kemodernan, kemajuan, keterbukaan, serta moderasi keagamaan dan keberagamaan. Ini baru di dunia pendidikan, belum yang lainnya.

Konservatisme, fanatisme, dan militansi agama yang dulu pernah terjadi di Arab Saudi itu kini merambah dan menjangkit Indonesia. Maka, sekali lagi, jika pemerintah dan masyarakat tidak waspada terhadap kelompok ini, atau apabila eksistensi dan sepak terjang mereka tidak ditangani dengan tegas dan saksama, bukan hal mustahil kelak NKRI hanya tinggal nama dan eksis di buku sejarah, sesuatu yang saya sendiri sama sekali tidak menginginkan hal itu terjadi di kemudian hari.

Keterangan: Tulisan ini semula diterbitkan di Kompas, 27 September 2021

Artikulli paraprakTaliban, Afghanistan, dan Indonesia
Artikulli tjetërPerkembangan Busana Masyarakat Arab Saudi
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.