Beranda Opinion Bahasa Perkembangan Busana Masyarakat Arab Saudi

Perkembangan Busana Masyarakat Arab Saudi

1541
0

Dari waktu ke waktu, menarik mengamati dinamika perkembangan tata busana masyarakat Arab Saudi serta persepsi atau pandangan mereka terhadap busana itu.

Bagi masyarakat Indonesia yang tidak familiar dengan seluk-beluk sejarah dan peta geo-kultural masyarakat Arab Saudi, mungkin mereka menganggap kalau warga Saudi, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang dewasa maupun remaja dan anak-anak, menggunakan busana yang seragam, yakni yang pria mengenakan gamis/jubah warna putih (lengkap dengan kain penutup kepala) sementara yang perempuan memakai abaya (semacam jilbab), hijab, dan cadar yang berwarna serba hitam. Pakaian-pakaian tersebut, oleh umat Islam Indonesia pada umumnya, dianggap atau dipersepsikan sebagai “busana muslim/muslimah.”

Beberapa tahun silam, sebelum menginjakkan kaki di Arab Saudi untuk mengajar di sebuah universitas, saya juga beranggapan serupa. Meskipun saya belum sempat membeli busana gamis, istri saya dulu sempat membeli pakaian abaya hitam lengkap dengan hijab dan cadar yang juga berwarna hitam, dan pernah mencoba memakainya sebelum berangkat ke Arab Saudi. Kebetulan ada tetangga kami dulu yang selalu mengenakan cadar. Dialah yang dulu mengajari istriku memakai cadar.

Tetapi setelah sekian lama tinggal di Arab Saudi serta mengamati dan meneliti dinamika perkembangan sosial-keagamaan dan kebudayaan kemasyarakatan masyarakat setempat, saya menyadari persepsi dan penilaian saya itu keliru.

Kompleksitas Masyarakat Arab Saudi

Seperti negara-negara lain, masyarakat Arab Saudi juga sangat kompleks. Mereka bukan kelompok monolitik yang memiliki sikap, pandangan, dan praktik seragam. Tradisi dan budaya mereka beraneka ragam. Jenis busana mereka sangat warna-warni. Sejarahnya sangat berliku. Setiap daerah dan kelompok suku mempunyai ciri khas pakaian masing-masing. Gamis putih dan abaya hitam bukan satu-satunya jenis pakaian yang mereka kenakan.

Meskipun sama-sama etnis Arab, mereka dari berbagai suku, klan, dan fam yang berlainan, yang masing-masing mengembangkan aneka ragam busana lengkap dengan pernak-pernik atau asesoris pelengkap busana yang unik. Arab Saudi setidaknya dibagi menjadi enam wilayah geo-kultural, yang masing-masing penduduknya mengembangkan bentuk tradisi dan kebudayaan sendiri (termasuk tata busana) sesuai dengan karakter alam, lingkungan, struktur sosial, tingkat pluralitas penduduk, profesi warga, dan sejarah masyarakat lokal.  

Keenam kawasan geo-kultural tersebut adalah (1) Najd di bagian tengah (termasuk Riyadh, Qassim, dan Ha’il), (2) Hijaz di bagian barat (termasuk Jedah, Makah, Madinah, dan Tabuk), (3) Kawasan Arabia Barat Daya (tepi Laut Merah termasuk Asir, Baha dan Jazan), (4) Arabia Utara (termasuk Jauf), (5) Najran di Arabia Selatan yang berbatasan dengan Yaman, dan (6) Arabia Timur di tepi Teluk Arab (meliputi Hassa, Qatif, Khobar, Dhahran, dlsb).

Model busana masyarakat Hijaz, dalam sejarahnya, sangat modern dan stylish. Hal itu bisa dimaklumi karena Hijaz adalah kawasan kosmopolitan dan multikultural. Sudah sejak lama Hijaz menjadi pusat niaga internasional dan perjumpaan berbagai warga dunia. Gaya berpakaian masyarakat di Arabia Timur juga tergolong modern (sebagian, kebarat-baratan) karena disinilah pusat industri, khususnya bidang perminyakan dan gas, sehingga banyak kaum ekspat (expatriates) dari berbagai negara, termasuk negara-negara Barat, yang bekerja bukan hanya di perusahaan tetapi juga di institusi lain.

Selanjutnya, daerah Arabia Selatan, Utara, dan Barat Daya terkenal kuat dalam memegangi tradisi berbusana lokal (busana tradisional/daerah), khususnya kaum pria. Kaum lelaki di kawasan Najran misalnya, sehari-seharinya masih mengenakan wizra (futah), semacam kain sarung yang dilipatkan di pinggang kemudian diikat dengan sabuk. Baik wizra maupun izar (kain seperti dikenakan saat ibadah haji dan umrah) adalah dua jenis pakaian Arab pra-Islam yang masih eksis hingga kini.

Peran Sentral Wahabi Najd

Di antara enam kawasan geo-kultural tersebut, Najd (Arabia Tengah), dalam sejarahnya, yang dikenal berkultur militan-konservatif dalam hal ekspresi keagamaan dan kebudayaan (termasuk berpakaian). Meskipun begitu, kini Najd juga sudah banyak mengalami perubahan fundamental dan dramatis.

Dulu, militansi dan konservatisme Najd itu bisa dimaklumi karena disinilah tempat gerakan Wahabi pertama kali muncul, dipimpin oleh seorang teolog-reformis, Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-92). Di kawasan ini pula, Muhammad Al Saud (1710-65) mendirikan pusat kerajaan Arab Saudi pertama (tepatnya di Diriyah, tempat kelahirannya) di abad ke-18. Jika nama “Wahabi” diambil dari nama Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi, maka nama “Saudi” diambil dari nama ayah Muhammad Al Saud ini, yaitu Saud bin Muhammad Al-Muqrin, kala itu Amir Diriyah.

Kelak, jaringan politisi, birokrat, sarjana, dan aktivis agama kelompok Wahabi Najd inilah yang membuat aturan etika berbusana dan menyeragamkan model berpakaian masyarakat di seluruh wilayah Arab Saudi. Puncaknya, pada awal 1980an ketika kelompok/faksi Islam garis keras atau sayap militan dan ultrakonservatif diberi otoritas penuh oleh Raja Khalid di panggung kekuasaan dan keagamaan, mereka bergerak cepat membuat berbagai peraturan dan norma berpakaian bagi masyarakat yang tinggal di seantero Arab Saudi, baik warga setempat maupun pendatang (kaum ekspat/migran).

Sejak itulah kaum perempuan, jika di tempat umum, diharuskan memakai abaya, hijab, dan cadar berwarna hitam, yang menurut mereka dianggap sebagai warna yang paling mendekati diktum atau petunjuk dalam syariat Islam (yaitu kesederhanaan, disamping fungsi menutup aurat). Jika melanggar aturan berbusana ini, mereka akan mendapatkan sanksi berat, termasuk dicambuk. Dampaknya, toko-toko yang menjual abaya pun akhirnya harus menjajakan abaya hitam.

Saya membaca aturan berbusana serba hitam bagi perempuan ini merupakan semacam “nasionalisasi” tradisi Wahabi Najd karena merekalah yang pada mulanya memelopori dan kemudian memopulerkan pakaian ini dalam sejarah Arab Saudi mdoern. Bahkan pakaian tradisional/daerah kaum perempuan Najd sendiri, sebelum mengalami proses “Wahabisasi”, tidak berwarna hitam melainkan cokelat-kemerahan, seperti ditunjukkan dalam studi David Long, Culture and Customs of Saudi Arabia.

Aturan serba ketat, kaku, dan rigid dalam hal berbusana ini berlangsung selama hampir empat puluh tahun sebelum dominasi kelompok militan agama ini dipreteli peran sosial-keagamaan mereka dari struktur kekuasaan dan pemerintahan. Institusi “Polisi Syariat” (mutawwa) yang selama puluhan tahun menjadi “penjaga moral” masyarakat juga sudah dibekukan. Sebelum dilikuidasi, merekalah yang selama ini patroli di tempat-tempat umum guna mengecek ada tidaknya perempuan yang tak berabaya (atau berhijab) atau yang berkumpul laki-perempuan.

Tradisi Berbusana Pra-1980an

Sebelum era 1980an, perempuan Saudi, khususnya yang berada diluar kawasan Najd, cukup leluasa dalam hal berbusana, tidak harus mengenakan pakaian serba hitam. Bahkan tradisi busana masyarakat urban di kawasan Hijaz sebelum ditaklukkan oleh keluarga Al Saud pada tahun 1930an sangat dipengaruhi oleh gaya berbusana Turki Usmani (Ottoman) yang dulu sempat menguasai kawasan tersebut.

Meskipun pada waktu itu ada perempuan yang memakai pakaian serba hitam tetapi atas prakarsa atau kesadaran mereka sendiri, bukan karena paksaan, kewajiban, dan aturan pemerintah. Mereka juga leluasa memakai pakaian tradisional suku/daerah masing-masing yang sangat warna-warni dan penuh dengan asesoris.

Bahkan, seperti ditulis dalam berbagai kajian etnografi dan kesejarahan masyarakat Saudi tempo dulu (misalnya oleh Mai Yamani, Heather Ross, atau Amir Al-Sudairi) kaum perempuan kota, kelas menengah, dan warga pedesaan berbasis pertanian tidak mengenakan cadar di ruang publik.

Hanya perempuan Arab Badui (Bedouin) saja yang dalam sejarahnya selalu menggunakan cadar karena mereka adalah kelompok pastoralis-nomad (nomadic pastoralist) yang pola hidupnya selalu berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain untuk mencari sumber air dan makanan. Bagi mereka, cadar sangat berguna untuk melindungi wajah dari terik matahari dan debu padang pasir.

Fungsi cadar bagi perempuan Arab Badui ini kurang lebih sama dengan kaum lelaki Tuareg, salah satu kelompok etnik Berber. Di kalangan masyarakat Tuareg, laki-laki yang justru bercadar karena mereka yang sering berada diluar saat menggembalakan ternak atau berburu. Sedangkan perempuan lebih banyak di rumah. Tetapi bagi lelaki Tuareg, fungsi kain cadar bukan hanya untuk melindungi muka dari debu padang pasir saja tetapi juga dari roh jahat (evil spirit).

Nah, leluhur masyarakat Arab Najd itu adalah kaum Badui, karenanya wajar jika mereka kelak ketika pindah dan menetap di kota (tidak lagi menjadi bangsa nomad) membawa serta tradisi berpakaian leluhur mereka, termasuk tradisi bercadar tadi.

Perkembangan Masa Kini

Sejak beberapa tahun terakhir ini, telah terjadi perubahan besar-besaran dalam dunia tata busana masyarakat Arab Saudi, baik laki-laki maupun perempuan. Seiring dengan kebijakan moderasi beragama dan berbudaya yang digaungkan oleh pemerintah, Arab Saudi kini sedang menikmati kembali fleksibilitas berpakaian seperti tempo dulu. Tentu saja masih dalam koridor norma kepantasan dan kesopanan. Kaum laki-laki Saudi kini semakin banyak yang mengenakan celana jeans, baju, kaos, jas, kolor, dlsb. Gamis banyak dipakai untuk acara-acara resmi (di kantor, resepsi pernikahan, wisuda, dlsb).

Bagi kaum perempuan, kalau di ruang publik, mereka tidak lagi takut ditangkap Polisi Syariat kalau tak berhijab atau tak mengenakan abaya. Abaya yang dijual di toko-toko atau butik pun tidak lagi didominasi warna hitam tapi sudah warna-warni. Akibatnya, banyak kita saksikan perempuan dengan abaya beraneka warna, sama banyaknya dengan perempuan yang tak bercadar ataupun tidak berhijab. Tentu saja hal ini bukan berarti perempuan yang berabaya, berhijab, dan bercadar hitam sudah tidak ada. Mereka tetap banyak jumlahnya karena berpakaian model seperti itu sudah dianggap sebagai bagian dari budaya mereka (bukan ajaran keagamaan).

Yang menarik lagi adalah berbagai even peragaan busana (fashion show) bagi perempuan juga digelar dengan menghadirkan top model dari Luar Negeri. Pula, pameran-pameran busana tradisional / daerah juga sering diselenggarakan untuk melestarikan eksistensi mereka.

Fenomena ini cukup kontras dengan apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Di saat Arab Saudi sedang memoderasi, mengfleksibelkan, dan meluweskan budaya berbusana serta berupaya menghidupkan kembali pakaian daerah/tradisional agar tidak punah, sebagian kelompok Islam di Indonesia malah gencar mengampanyekan apa yang mereka klaim sebagai “busana islami / syar’i” seraya mengtabukan dan mengafirkan busana daerah/tradisional atau pakaian adat warisan luhur para lehuhur Nusantara. Sungguh sangat disayangkan sekali!

Keterangan: artikel ini semula diterbitkan oleh Kompas, 5 Februari 2022 https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/02/04/perkembangan-busana-masyarakat-arab-saudi

Artikulli paraprakHarta, Takhta, dan Agama
Artikulli tjetërBelajar Ilmu Sekuler di Timteng
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini