Beranda Opinion Bahasa Belajar Ilmu Sekuler di Timteng

Belajar Ilmu Sekuler di Timteng

1635
1

Bagi sebagian besar warga Indonesia, dunia pendidikan di Timur Tengah, khususnya pendidikan tinggi, dianggap didominasi oleh “pendidikan Islam.” Yang dimaksud dengan “pendidikan Islam” disini adalah pendidikan untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman (Islamic sciences) seperti fiqih, ushuluddin, ilmu tafsir, ilmu hadis, dlsb.

Asumsi itu bisa jadi karena mereka beranggapan kalau Timur Tengah itu adalah “kawasan Islam.” Faktor lain karena peran, pengaruh, dan dominasi alumni Timur Tengah. Sejak beberaa dekade silam, banyak sekali mahasiswa Indonesia yang belajar ilmu-ilmu keislaman di sejumlah perguruan tinggi di Timur Tengah, termasuk cabangnya di Indonesia (seperti LIPIA–Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab).

Ini belum termasuk mereka yang belajar ilmu-ilmu keislaman di sejumlah institusi pendidikan Islam non-perguruan tinggi (khususnya di Yaman dan juga Arab Saudi). Setelah selesai studi, mereka kemudian mendirikan yayasan, madrasah, pesantren, Islamic center, atau klub pengajian serta menyebarkan corak, ajaran, wawasan, diskursus, paham, atau ideologi keislaman tertentu di Indonesia, baik lewat media daring maupun luring.

Padahal, realitasnya pendidikan di bidang studi ilmu-ilmu sekulerlah yang sebetulnya justru lebih dominan di Timur Tengah. Yang dimaksud dengan bidang studi ilmu-ilmu sekuler disini adalah “non-Islamic sciences” seperti “hard” sciences (fisika, kimia, astronomi, biologi, dlsb), “soft” sciences (ilmu-ilmu sosial dan humaniora) maupun bidang studi lainnya (misalnya ilmu komputer, bisnis, manajemen, ilmu teknik, kedokteran & keperawatan, geoscience, ilmu perminyakan, ilmu pertanian, sistem informasi & teknologi, dlsb).

Kini, berbagai perguruan tinggi ternama di Timur Tengah sedang gencar membuka program studi di bidang “teknologi cerdas” (smart technology) guna menyongsong era Revolusi Industri 4.0 (Revolusi Digital) seperti Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), Robotics, Blockchains, dlsb. Dalam rangka menyambut era Revolusi Digital ini, kampus saya juga membuka lebih dari 30 program studi baru, selain puluhan lembaga riset dan berbagai mata kuliah yang berkaitan dengan “teknologi pintar”.

Tren dan Fenomena Ilmu-Ilmu Sekuler

Hasil studi atau temuan riset saya menunjukkan bahwa tren pendidikan ilmu-ilmu sekuler itu bukan hanya dominan di negara-negara Arab Teluk saja (biasa disebut the Gulf) yang dikenal sebagai “kawasan kaya dan makmur” (seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Bahrain, dan Oman) tetapi juga negara-negara lain (misalnya Libanon, Mesir, Yordania dlsb).

Di Arab Saudi, misalnya, tercatat hanya tiga perguruan tinggi saja yang awalnya atau dalam sejarahnya didesain khusus untuk mengkaji ilmu-ilmu keislaman, yaitu Universitas Islam (Madinah), Universitas Umm Al Qura (Makah), dan Universitas Islam Imam Muhammad Bin Saud (Riyadh). Selebihnya, kampus-kampus di Arab Saudi fokus utamanya di bidang studi ilmu-ilmu sekuler. Meskipun kampus-kampus tersebut menawarkan Islamic studies tetapi sangat minor dan komplemen saja. Sejak 1970an atau 1980an, para mahasiswa Indonesia pada umumnya belajar ilmu-ilmu keislaman di tiga kampus ini (termasuk LIPIA di Indonesia yang merupakan cabang dari Universitas Islam Imam Muhammad Bin Saud).

Menariknya, tiga universitas tersebut dalam perkembangannya juga membuka fakultas atau progdi (program studi) di bidang ilmu-ilmu sekuler. Misalnya, Universitas Islam Madinah membuka fakultas teknik, komputer, dan ilmu pengetahuan (seperti ilmu-ilmu eksakta). Di Universitas Umm Al Qura, fakultas baru yang dibuka lebih banyak lagi seperti Fakultas Kedokteran, Farmasi, Keperawatan, Teknik, Komputer & Sistem Informasi, Ilmu Terapan, Administrasi Bisnis, Ilmu Sosial, dlsb. Hal yang sama juga dilakukan oleh Universitas Islam Imam Muhammad Bin Saud.

King Abdullah Schlarship Program, sebuah program beasiswa pemerintah untuk putra-putri Saudi yang ingin belajar di kampus-kampus top di Luar Negeri (terutama Amerika Serikat, Kanada, Australia, negara-negara di Eropa Barat dan Skandinavia, atau China, Jepang, Korsel, dan Singapura) juga difokuskan untuk studi ilmu-ilmu sekuler.

Kenapa perguruan tinggi (dan pemerintah) di Arab Saudi (juga negara-negara Arab Timur Tengah lainnya) fokus di bidang studi ilmu-ilmu sekuler dan bahkan tiga universitas yang awalnya “diprogram” khusus untuk studi ilmu-ilmu keislaman juga ikut-ikutan berubah dan “mereformasi” diri?

Tuntutan Pasar dan Pekerjaan

Salah satu faktor utama karena kebutuhan zaman dan tuntutan pasar pekerjaan. Alumni pendidikan ilmu-ilmu keislaman sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan disiplin keilmuan mereka karena keterbatasan pangsa pasar dan lapangan pekerjaan.

Profesi yang biasa diisi oleh para alumni ilmu-ilmu keislaman adalah khatib/takmir masjid, hakim, “polisi syariat”, atau guru studi Islam di sekolah. Semuanya terbatas. Sekolah-sekolah pun banyak mengajarkan ilmu-ilmu sekuler. Mereka juga tidak bisa seenaknya membuat sekolah/madrasah atau lembaga pengajian sendiri karena corak negara yang bersifat “raja centric”. Sementara lembaga “Polisi Syariat” sudah dibubarkan.

Lapangan pekerjaan yang melimpah-ruah adalah sektor industri dan lainnya yang membutuhkan keahlian non-ilmu-ilmu keislaman. Karena faktor inilah maka para almuni SMU di Arab Saudi berlomba-lomba masuk perguruan tinggi umum untuk belajar ilmu-ilmu sekuler. Sejumlah kampus favorit yang menjadi rebutan mahasiswa untuk belajar ilmu-ilmu sekuler adalah King Fahd University of Petroleum & Minerals, King Abdulaziz University, King Saud University, dlsb. Tren dan fenomena ini, sekali lagi, bukan hanya di Arab Saudi saja tetapi juga negara-negara lain di Timur Tengah.

Pendidikan Islam dan Radikalisme

Faktor berikutnya yang tak kalah pentingnya adalah pendidikan ilmu-ilmu keislaman, jika salah asuh dan salah urus, berpotensi memproduksi para alumni yang berkarakter konservatif, militan, rigid, tertutup, dan bahkan radikal-ekstrim yang anti terhadap kemodernan, perubahan zaman, kemajuan teknologi, dan perkembangan sosial-budaya sehingga bisa menghambat upaya pemerintah untuk mewujudkan Arab Saudi menjadi sebuah negara yang maju, modern, inklusif, moderat, serta berbasis teknologi canggih seperti dicanangkan dalam Saudi Vision 2030.

Arab Saudi sudah membuktikan dan mengalami hal tersebut. Pendidikan model Islam radikal-konservatif yang dulu didesain oleh faksi Wahabi garis keras dan kelompok militan Ikhwanul Muslimin dari Mesir dan Suriah yang kabur ke (dan ditampung oleh) Arab Saudi telah melahirkan jenis, genre, atau varian keislaman baru atau “Islam hybrid” yang bercorak militan-ekstrim seperti kelompok Sahwa yang anti terhadap kemodernan dan kebudayaan.  

Mengapa Studi Ilmu-Ilmu Sekuler?

Seperti tren dan fenomena masyarakat Arab Timur Tengah, masyarakat Indonesia jika ingin belajar di perguruan tinggi Timur Tengah, maka akan lebih baik dan bermanfaat jika mengambil bidang studi ilmu-ilmu sekuler seperti studi perminyakan, ekonomi & bisnis, ilmu sosial dan lainnya. Beasiswa pemerintah Indonesia yang dikelola oleh sejumlah kementerian juga sebaiknya diarahkan untuk bidang studi non-Islamic studies ini.

Ada beberapa alasan mendasar. Pertama, banyak kampus bermutu, berstandar, dan berkualitas internasional di Timur Tengah yang memiliki reputasi global dan diakui oleh sejumlah lembaga peranking kampus dunia seperti Quacquarelli Symonds, Times Higher Education dan lainnya. Banyak dari kampus tersebut yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai instrumen belajar-mengajar (atau campuran Bahasa Inggris dan Arab). Tenaga pengajarnya pun dari berbagai suku bangsa dan negara, termasuk negara-negara Barat, China dan lainnya.

Sebut saja King Abdullah University of Science and Technology (Arab Saudi), The American University of Beirut (Libanon), The American University in Cairo (Mesir), King Abdulaziz University (Arab Saudi), Qatar University (Qatar), University of Jordan (Yordania), dlsb. Kampus saya juga dalam beberapa tahun terakhir menjadi universitas terbaik di kawasan Arab Timur Tengah dan bahkan program studi Petroleum Engineering-nya menempati peringkat ketujuh dunia.   

Selain itu, cukup banyak kampus-kampus top Barat yang mendirikan cabang di negara-negara di kawasan Arab Teluk. Ini juga bisa menjadi alternatif studi. Misalnya New York University, Georgetown University, Texas A&M University, Northwestern University, Virginia Commonwealth University, Sorbonne University, HEC Paris, dan masih banyak lagi.

Alasan berikutnya, kedua, program studi ilmu-ilmu sekuler itulah yang jauh lebih bermanfaat untuk masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Para alumninya diharapkan bisa turut berkontribusi memajukan perkembangan ekonomi, sains, teknologi, budaya, dlsb.

Ketiga, Indonesia kini sudah surplus lembaga pendidikan tinggi, baik negeri maupun swasta, yang fokus di bidang Islamic studies. Pada dasarnya belajar Islamic studies dimanapun itu sama saja karena basisnya adalah membaca, mempelajari, dan menelaah teks (buku/kitab). Bahkan sekarang kajian Islamic studies di perguruan tinggi Indonesia tampak jauh lebih maju ketimbang Timur Tengah karena mereka menggunakan model pendekatan riset dan keilmuan yang beragam serta referensi bacaan yang variatif dan lintas-mazhab.

Keempat, untuk mengurangi produksi “Islam militan” dan penyebaran radikalisme agama yang membahayakan tatanan kebudayaan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia. Saya perhatikan banyak sekali para alumni pendidikan Islam Timur Tengah yang gencar mengafirsesatkan tradisi dan budaya lokal Nusantara, memperkenalkan dan memaksakan praktik keberagamaan “model Islam Arab” yang tidak sesuai dengan konteks, tradisi, dan kultur masyarakat Indonesia (misalnya, pemaksaan pemakaian cadar untuk anak-anak sekolah), atau bahkan memprovokasi publik agar “menggugat” eksistensi dan otoritas sistem pemerintahaan dan fondasi kenegaraan (seperti Konstitusi UUD 1945 dan Dasar Negara Pancasila) yang mereka anggap sebagai “tidak Islami”, “tidak syar’i”, dan “produk kafir”.

Tentu saja tidak semua alumni pendidikan Islam Timur Tengah melakukan hal ini. Pula, bukan hanya alumni pendidikan Islam Timur Tengah saja yang melakukan hal tersebut. Poinnya adalah mempelajari ilmu-ilmu sekuler di perguruan tinggi Timur Tengah itu akan jauh lebih bermanfaat untuk kemaslahatan, kemajuan, dan kemakmuran bangsa dan negara Indonesia di masa mendatang, selain guna menghindari kemungkinan terjadinya dampak buruk yang lebih besar di masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah dan elemen masyarakat sangat layak untuk mempertimbangkan hal tersebut.

Keterangan: artikel ini semula diterbitkan di Kompas, 24 Desember 2021 https://www.kompas.id/baca/opini/2021/12/24/belajar-ilmu-sekuler-di-timteng

Artikulli paraprakPerkembangan Busana Masyarakat Arab Saudi
Artikulli tjetërMalaysia dan Indonesia di Mata Masyarakat Arab Timur Tengah
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini