Setelah sekian lama menekuni karir akademik di sebuah “negara Arab” di Timur Tengah dan riset mengenai seluk-beluk masyarakat dan kebudayaan di kawasan ini, saya mengamati dan merasakan ada perbedaan yang sangat mencolok tentang persepsi masyarakat Arab, khususnya di kawasan Arab Teluk yang merupakan kawasan kaya dan makmur di Timur Tengah, terhadap Malaysia dan Indonesia.
Secara umum saya perhatikan pandangan mereka terhadap Malaysia jauh lebih baik daripada Indonesia. Atau, di mata masyarakat Arab Timur Tengah, citra Malaysia jauh lebih baik ketimbang Indonesia, meskipun banyak kaum Muslim di Indonesia yang mengelu-elukan Arab Timur Tengah.
Jadi, status Indonesia yang menyandang predikat sebagai negara mayoritas berpenduduk Muslim terbesar di dunia serta penyumbang terbanyak jamaah haji tidak mampu “mendongkrak” citra negara-kepulauan ini. Dengan kata lain, “identitas keislaman” tidak cukup untuk mengubah citra Indonesia di mata masyarakat Arab Timur Tengah atau mengubah persepsi masyarakat Timur Tengah atas Indonesia.
Sejumlah Indikator
Ada beberapa indikator untuk melihat dan menilai kenapa Malaysia dianggap lebih baik di mata masyarakat Arab Timur Tengah.
Pertama, banyak masyarakat Arab yang belajar di berbagai perguruan tinggi di Malaysia, baik untuk program S1, S2, maupun S3. Misalnya, hasil survei yang dilakukan oleh R. Hirschamann (2020) menunjukkan ada puluhan ribu mahasiswa dari Timur Tengah yang belajar di perguruan tinggi Malaysia. Mahasiswa/i Indonesia juga banyak yang belajar di Malaysia.
Sebagian besar mahasiswa berasal dari Arab Saudi, Mesir, atau Irak. Sementara nyaris susah mencari (meskipun barang kali ada) dari mereka yang belajar di kampus-kampus Indonesia. Masyarakat Arab ke Indonesia pada umumnya bukan untuk belajar tetapi untuk liburan atau rekreasi, selain berbisnis kecil-kecilan. Lokasi yang populer bagi mereka adalah B2: Bali dan Bogor yang mereka kenal dengan nama “Puncak”.
Saya sendiri beberapa kali menulis surat rekomendasi untuk kolega atau mantan murid yang ingin melanjutkan program doktoral di Malaysia untuk bidang studi-bidang studi ilmu sosial dan lainnya. Di Asia Tenggara, oleh masyarakat Arab Timur Tengah, reputasi pendidikan tinggi Malaysia hanya kalah oleh Singapura yang memang sudah lama membangun basis akademik yang baik dan berkualitas.
Indikator lain, kedua, Malaysia (selain Singapura) juga menjadi salah satu negara destinasi utama beasiswa King Abdullah Scholarship Program (KASP) untuk kawasan Asia Tenggara. Lagi-lagi, Indonesia tidak masuk sebagai “negara tujuan beasiswa”. KASP adalah program beasiswa besar-besaran dari pemerintah Arab Saudi sejak 2010 untuk putra-putri Saudi yang ingin studi di Luar Negeri di bidang non-Islamic studies, khususnya teknik, bisnis dan lainnya.
Program KASP telah memberangkatkan ratusan ribu mahasiswa/i ke berbagai negara yang dianggap maju di bidang pendidikan. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Sidiqa AllahMurod dan Sahel Zreik (2020) menunjukkan, mayoritas mereka dikirim ke kampus-kampus di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, Perancis, Australia, dlsb. Untuk Asia, China (termasuk Hong Kong dan Taiwan), Jepang, dan Korea Selatan menjadi negara-negara tujuan utama, selain Singapura dan Malaysia.
Negara-negara lain di Timur Tengah (seperti Uni Emirat Arab, Mesir, Maroko, Yordania, Lybia, dlsb) yang memiliki program beasiswa seperti KASP juga menjadikan atau memasukkan Malaysia (bukan Indonesia) menjadi salah satu negara “destinasi pendidikan/beasiswa”.
Diakuinya kualitas pendidikan tinggi di Malaysia, antara lain, bisa dilihat dari animo masyarakat Arab yang cukup tinggi untuk melanjutkan studi di “negeri jiran” tersebut, selain penyerapan pangsa pasar (pekerjaan) bagi masyarakat Arab alumni perguruan tinggi Malaysia.
Ketiga, berbagai universitas di Timur Tengah bisa menerima tenaga pengajar bagi pelamar (warga Arab atau bukan) alumni program doktoral perguruan tinggi di Malaysia. Sementara, sependek yang saya ketahui, tidak ada alumni program doktoral perguruan tinggi Indonesia yang diterima di kampus-kampus Timur Tengah. Kalaupun ada dosen warga Indonesia yang mengajar di perguruan tinggi Timur Tengah (seperti saya) mereka adalah alumni program doktoral di Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada), negara-negara Eropa Barat (Inggris, Jerman, Perancis, dlsb), Skandinavia (Denmark, Norwegia, Finlandia, dlsb), atau Australia.
Para pelamar yang gelar doktornya diperoleh dari kampus-kampus di China, Jepang, Korsel, dan Singapura juga dipertimbangkan dan diperhitungkan. Hampir setiap tahun saya terlibat di tim perekrutan penerimaan tenaga pengajar baru yang melamar di kampus tempat saya bekerja saat ini. Jadi cukup memahami dinamika internal yang terjadi di dalamnya.
Keempat, sikap masyarakat Arab secara umum (public attitudes) terhadap warga Malaysia dan Indonesia juga berbeda. Misalnya, jika mereka melihat ada “muka Melayu” yang menjadi tenaga pengajar di perguruan tinggi, mereka biasanya pada mulanya akan menganggapnya atau mengiranya sebagai “orang Malaysia.” Mungkin mereka menduga atau menganggap kalau “kelas” orang Indonesia itu bukan sebagai dosen melainkan sebagai pekerja sektor ekonomi informal alias “pekerja kasar” seperti sopir, kuli bangunan, dan semacamnya bagi yang laki-laki atau “pembantu rumah tangga” (babu) bagi perempuan.
Lantas, apa yang menyebabkan persepsi masyarakat Arab Timur Tengah terhadap Malaysia dan Indonesia itu berlainan?
Faktor Mendasar
Saya melihat ada beberapa faktor yang mendasari perbedaan ini. Pertama, Malaysia dipandang sukses membangun sektor pendidikan tinggi yang berkualitas tapi dengan biaya yang relatif terjangkau. Bagi masyarakat Arab Timur Tengah, khususnya bagi mereka yang tidak diterima atau enggan belajar di kampus-kampus Barat karena alasan keagamaan atau kebudayaan tertentu selain mahal (high cost) tentunya atau bagi mereka yang tidak mau studi di kampus-kampus di negara-negara berkembang (dan miskin) karena alasan ijazahnya tidak laku di pasar, pendidikan tinggi di Malaysia bisa menjadi alternatif yang menjanjikan.
Harus diakui, di banding Indonesia, sejumlah perguruan tinggi di Malaysia (sebut saja Universiti Malaya, Universiti Kebangsaan Malaysia, Universiti Putra Malaysia, dlsb) dipandang sukses membangun reputasi akademik yang bermutu di tingkat global-internasional. Indikasinya bisa dilihat dari QS World University Rankings misalnya atau lainnya. Sementara sejumlah perguruan tinggi ternama Indonesia masih “terseok-seok” menunjukkan “taringnya” di tingkat internasional. Di banding Indonesia, Malaysia juga sudah lama menerapkan model belajar-mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris yang turut mempengaruhi dan mendongkrak citra dan reputasi pendidikan tinggi di tingkat global.
Kedua, Malaysia dipandang sebagai “negara Muslim” yang maju di bidang perekonomian, sementara Indonesia masih dianggap “negara belum maju” meskipun berbagai perubahan dan terobosan pembangunan sudah dilakukan. Tentu saja masyarakat Arab Timur Tengah sulit untuk mengirim mahasiswa/i ke negara-negara yang mereka anggap belum maju tingkat perekonominanya.
Ketiga, Malaysia bukan negara “pengekspor tenaga kerja kasar” ke negara-negara Timur Tengah dan kawasan lainnya karena itu sangat wajar jika citra, reputasi, dan kredibilitas mereka “lebih berwibawa” ketimbang Indonesia. Sedangkan predikat Indonesia masih kuat sebagai negara pemasok tenaga kerja kasar ke negara-negara Arab Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, atau Kuwait, selain ke Hong Kong, Taiwan, Singapura, dan Malaysia sendiri.
Karena sudah berlangsung puluhan tahun (sejak awal 1980an) maka sulit sekali untuk menghapus citra Indonesia di mata masyarakat Arab Timur Tengah sebagai “negara pengekspor kuli dan babu”. Karena faktor ini pula, sulit untuk mengangkat reputasi masyarakat Indonesia di mata publik masyarakat Arab Timur Tengah.
Upaya Serius
Untuk itu saya melihat ke depan perlu dilakukan berbagai upaya serius dan kerja keras pemerintah Indonesia agar “martabat” mereka lebih berwibawa dan dihargai di kalangan masyarakat Timur Tengah maupun global-internasional. Peningkatan sektor ekonomi dan teknologi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Negara-negara yang tingkat perekonomian dan teknologinya maju cenderung lebih berwibawa dan dihargai.
Penggarapan sektor pendidikan tinggi yang “berkualitas internasional” juga tidak kalah pentingnya untuk dikerjakan secara serius. Saya melihat pemerintah sudah bekerja keras untuk membangun sektor ekonomi, teknologi, dan pendidikan ini, meskipun hasilnya belum bisa diapresiasi secara luas oleh masyarakat internasional.
Terakhir, hentikan secara bertahap program “mengekspor” tenaga kasar ke Luar Negeri, termasuk Timur Tengah, dan diganti dengan (kalau perlu) “tenaga profesional”. Tentu saja hal ini tidak mudah untuk direalisasikan dalam waktu dekat dan merupakan PR yang sangat sulit dan berat, apalagi kondisi ekonomi Indonesia belum beranjak maju dan lapangan pekerjaan masih terbatas yang menyebabkan lonjakan kaum pengangguran.
Meski demikian, jangan pernah lelah dan berputus asa untuk berusaha menjadi yang terbaik dan terdepan. Jika berusaha keras dan konsisten, tidak ada yang tidak mungkin di bawah kolong rembulan ini.
Keterangan: artikel ini semula diterbitkan di Kompas, 13 November 2021 Link: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/11/13/malaysia-dan-indonesia-di-mata-masyarakat-arab-timur-tengah
Padahal dulu Malaysia yg mengimpor guru dari Indonesia, malah sekarang ketinggalan kita
Komentar ditutup.