Mumpung masih ingat sebelum acara BBQ di pantai bersama para kolega, saya tulis saja lanjutan “Kuliah Virtual” tentang aliran Ibadiyah yang sempat tertunda. Seperti saya jelaskan, nama aliran Ibadiyah (atau Ibadi saja) itu diambil dari tokoh Abdullah bin Ibadh al-Murri al-Tamimi, seorang tokoh politik, teolog, dan sarjana Islam yang hidup di paruh kedua abad pertama Hijriyah. Dengan begitu, ia termasuk generasi tabiin, bukan sahabat.

Menurut Dr. Amr Khalifa Ennami, seorang sarjana Muslim Ibadi dalam kiabnya “Al-Ibadhiyah”, ada beberapa alasan kenapa nama Ibadiyah diambil dari Abdullah bin Ibadh. Pertama, Abdullah bin Ibadh adalah tokoh ternama yang secara terang-terangan mendeklarasikan ketidaksetujuannya terhadap pandangan ekstrim aliran Khawarij yang mengafirsesatkan semua Muslim diluar kelompoknya hanya karena berbeda pandangan tentang status legalitas/iligalitas kepemimpinan Usman/Ali sepeninggal Nabi Muhamamd.

Seperti saya jelaskan sebelumnya, embrio komunitas Ibadiyah ini adalah kelompok yang bernama “al-Muhakkimah” dimana didalamanya termasuk sekte Khawarij. Oleh karena itu, sejumlah pihak menyebut Ibadiyah ini adalah “faksi moderat Khawarij” atau “faksi Khawarij minus kekerasan dan intoleransi.” Ibadiyah memang aliran atau azhab Islam yang anti-kekerasan dan kontra-intoleransi. Sangat kontras dengan alangan Khawarij yang gemar melakukan kekerasan dan menyebarkan intoleransi. Nah, kalau Anda melihat di Indonesia dan negara-negara lain ada kelompok-kelompok umat Islam yang hobi melakukan kekerasan dan menyebarkan intoleransi, mereka ini adalah “anak-cucu” atau “reinkarnasi” atau “jelmaan” dari Khawarij ini he he.     

Kedua, Abdullah bin Ibadh juga menginstruksikan kepada para simpatisan al-Muhakkimah (dalam literatur Ibadiyah disebut “Jama’ah al-Muslimun”) untuk menyembunyikan identitas mereka serta melakukan aktivitas ibadah secara diam-diam untuk menghindari pengejaran dan kekerasan yang dilakukan para pemimpin Daulah (Dinasti) Umayah yang waktu itu sedang gencar memburu para oposan Muslim yang melawan kekuasaaan mereka. Menariknya, demi menyelamatkan dan memproteksi pengikutnya, Abdullah bin Ibadh berteman dengan Khalifah Abdul Malik bin Marwan.

Mungkin karena Abdullah bin Ibadh yang dianggap paling getol melawan “doktrin pengafiran” sesama Muslim yang dikumandangkan oleh kaum Khawarij, oleh masyarakat Islam waktu itu, namanya kemudian dijadikan sebagai nama gerakan kelompok keislaman ini. Jadi, Ibadiyah artinya “pengikut Abdullah bin Ibadh”. 

Meskipun dianggap sebagai “mentor politik” awal, Abdullah bin Ibadh bukanlah tokoh sentral yang merumuskan dasar-dasar teologi-keagamaan Ibadiyah. Bagi kalangan Ibadiyah, yang dianggap sebagai tokoh ulama dan teolog penting perumus awal fondasi teologi-keagamaan Ibadiyah sekaligus “imam pertama” (serta dianggap sebagai pendiri) kelompok ini adalah Jabir bin Zaid al-Azdi (w. 711).

Otoritas keilmuan dan kealiman Jabir dalam Ibadiyah mirip Imam Hasan al-Basri dalam tradisi Sunni (kebetulan keduanya sama-sama tinggal di Basrah, Irak, meskipun Jabir lahir di Oman). Kelak, banyak hadis-hadis yang diriwayatkan dan dinarasikan oleh Imam Jabir bin Zaid ini yang dikoleksi dan didokumenasikan dalam “Kitab Hadis” milik Ibadiyah.

Jabir juga dikenal sebagai ilmuwan Hadis (muhaddist) terkemuka. Ia dulu menginstruksikan kepada pengikutnya untuk mengembangkan dan mempraktekkan “Islam budaya” dan menghindari “Islam politik” agar tetap selamat dari kejaran penguasa Umayah. Ia juga dulu menginstruksikan untuk kawin-mawin dengan non-Ibadiyah.

Setelah Imam Jabir wafat, tampuk kepemimpinan Ibadiyah kemudian dipegang oleh Abu Ubaidah Muslim bin Abi Karimah. Dialah tokoh kunci di balik pengembangan doktrin Ibadiyah yang dasar-dasarnya sudah disematkan oleh Imam Jabir. Dia jugalah yang mengembangkan organisasi aliran Ibadiyah serta menyebarkan aliran ini ke Oman, Yaman, Khurasan, dan Afrika Utara. 

Sepeninggal Abu Ubaidah Muslim, tampuk kepemimpinan dan keimaman Ibadiyah jatuh ke tangan muridnya yang bernama Al-Rabi’ ibn Habib. Nah, Al-Rabi bin Habib inilah yang kemudian mengoleksi, menulis, dan membukukan Kitab Hadis “Al-Jami’ al-Shahih” yang dijadikan pegangan oleh pengikut Ibadiyah. Kitab ini awalnya juga dikenal dengan nama “Musnad al-Rabi’ ibn Habib”. Kelak, Kitab Hadis ini diolah, disistemasisasi, direstrukturisasi, disyarahi, dan ditambahi dan diberi nama baru oleh Abu Ya’kub Yusuf bin Ibrahim al-Warijlani dengan nama Kitab Tartib al-Musnad (bersambung). [SQ]  

Artikulli paraprakHumor dan “Islam Garis Lurus”
Artikulli tjetërImajinasi Jihad di Jalan Allah
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini