Ini adalah semacam “surat terbuka” untuk “Wong Jogja”. Salah satu yang mengganggu pemandangan Yogyakarta atau Jogja dewasa ini adalah baliho atau billboard yang besarnya melebihi gajah hamil yang bertebaran di ruas-ruas jalan utama kota.
Ada apa dengan Jogja? Ada apa dengan pemerintah dan pihak pengambil kebijakan? Wahai “wong Ngayogyokarto”, ada apa dengan kalian? Apa Anda betah melihat kota kalian yang eksotik dan aduhai itu tercemari dengan baliho-baliho yang awut-awutan?
Citra Jogja sebagai “kota budaya” dan “pusat seni” yang agung luntur seketika begitu melihat baliho-baliho raksasa ini. Image Jogja sebagai “kota pelajar” juga lumer gara-gara aneka ragam billboard yang amburadul ini.
Dengan aneka baliho yang semrawut ini menunjukkan Jogja kini telah berubah menjadi “yang lain” bukan lagi sebagai pusat “cultural heritage” dan “traditional arts” yang selama ini diagungkan dan dibanggakan oleh banyak pihak, baik orang dalam maupun luar negeri. Sungguh sangat disayangkan jika Jogja yang luar biasa elok nan indah itu kini menjadi “kota baliho” yang bikin mules perut dan pening kepala.
Bukan hanya baliho, Jogja modern juga dijejali dengan aneka “gedung kapitalis”: hotel, mall dan super dan minimarket. Empat puluh delapan museum seni-budaya terbengkelai tak terawat sementara mall-mall dan “pasar modern” berhamburan dimana-mana. Bukannya merawat pusat-pusat seni-budaya tradisional yang adiluhung itu malah sibuk mengembangbiakkan bisnis-bisnis kapitalisme.
Pemandangan mencolok lain tentang “Jogja modern” adalah maraknya hijab. Dimana-mana di pusat-pusat kota akan dengan mudah ditemui tulisan-tulisan “I Love Hijab”, bukan “I Love Kebaya”, misalnya. Dimana-mana penuh sesak dengan toko-toko yang memajang pernak-pernik hijab dan aneka “baju Muslim”. Kebaya, batik, dan blankon yang “khas Jogja” dimana?
Sebagian masyarakat kota Jogja rupaya sudah “kecanduan Islam Arab”. Padahal, apa bedanya antara “abaya Arab” dengan “kebaya Jawa”, antara gamis dengan batik, antara “topi kaji” dengan blankon misalnya? Tidak ada sama sekali. Anda tidak akan “lebih Islami” hanya dengan memakai gamis atau abaya/jilbab atau “kupluk kaji” misalnya karena kualitas keagamaan dan keislaman seseorang bukan diukur dari sehelai pakaian profan-sekuler itu.
Wahai “Wong Jogja’ segeralah sadar dan rawat tradisi dan kebudayaan tradisional Anda sebelum Nyai Roro Kidul murka karena melihat Jogja kini sudah “dikerudungi” dengan gedung, baliho, dan hijab. [SQ]