Jamak diketahui bahwa peristiwa kekerasan terhadap Tionghoa sering terjadi di negeri ini. Berita tentang warga Tionghoa miskin yang tinggal di pinggiran Jakarta yang tidak mendapat jatah bantuan pemerintah hanya karena tidak memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) semakin menambah panjang daftar diskriminasi anti Tionghoa di negeri ini. Sudah bukan rahasia lagi kalau mereka selama ini juga kesulitan mengurus akta kelahiran, KTP, KK, SIM, Paspor, dll. Mereka baru bisa membuat kartu identitas diri itu setelah menyogok oknum-oknum pejabat/pegawai hitam yang mengurusi masalah itu. Akhirnya, meskipun mereka merupakan bagian dari bangsa Indonesia status warga Tionghoa yang tinggal disini seperti “stateless”—di RRC tidak diakui sementara di Indonesia disia-siakan. Sampai ada lelucon satiris yang mengatakan bahwa shio warga Tionghoa itu sebetulnya hanya ada tiga saja: 1) shio sapi (karena sering jadi sapi perahan), 2) shio kambing (karena sering dikambinghitamkan), 3) shio kelinci (karena sering jadi kelinci percobaan).
***
Kenapa perilaku diskriminatif terhadap Tionghoa tidak kunjung usai? Bukankah sejumlah peraturan diskriminatif sudah dihapus sejak era Habibie, Gus Dur, Mega sampai SBY? (misalnya Inpres No. 4 tahun 1999 yang menghapuskan SBKRI). Kenapa pejabat/birokrat masih saja mengungkit-ungkit soal SBKRI? Kenapa mereka masih saja memberlakukan UU Kewarganegaraan No. 62/1968 (Lembaran Negara No. 113 Tahun 1958) yang sudah tidak memiliki kekuatan hukum? Kenapa mereka masih mempersulit segala urusan yang melibatkan warga Tionghoa? Apakah para pejabat itu tidak tahu kalau peraturan-peraturan diskriminatif itu sudah tidak berlaku lagi? Atau mereka pura-pura tidak tahu alias tutup mata sebab warga Tionghoa adalah lahan empuk/subur pemerasan? Jawaban atas pertanyaan ini bisa panjang. Tapi satu hal yang pasti adalah belum hilangnya “kultur diskriminasi” terhadap warga Tionghoa. Kita tahu, warga Tionghoa mengalami diskriminasi sejak zaman VOC dengan berlakunya passenstelsel (keharusan mempunyai surat jalan jika hendak bepergian keluar distrik tempat mereka tinggal) dan wijkenstensel (keharusan tinggal di sebuah “getho” yang kemudian dikenal dengan “pecinan”) dan puncaknya tentu saja pada masa Orde Baru (OB).
Di masa rezim OB, warga Tionghoa mereka mengalami penderitaan lahir-batin sejak mereka dituding terlibat dalam Baperki dan berada dibalik peristiwa Gerakan 30 September yang mengerikan itu. Di sini mereka lupa bahwa tidak semua orang-orang Tionghoa bergabung dalam Baperki sebagaimana tidak semua orang-orang Jawa ikut Nica. Tetapi apa lacur, tuduhan itu sudah terlanjur terjadi. Dan akhirnya, Tionghoa menjadi “korban sejarah” rezim. Banyak peraturan pemerintah dan undang-undang yang dibuat untuk menghabisi warga Tionghoa. Di antara sekian puluh peraturan yang bersifat diskriminatif itu, al, Instruksi Presiden No. 14/1967 yang berisi larangan segala kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat China dilakukan di Indonesia. Sejak itu, Konghucu sebagai agama leluhur China dihapus statusnya dari “agama resmi” negara. Kemudian rezim juga membuat UU Kewarganegaraan No. 62/1968 yang memberlakukan status SKBRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia). Ini adalah bagian dari ironi sejarah Orde Baru (OB).
Lambat laun tapi pasti “struktur diskriminatif” yang berlangsung sejak zaman VOC itu kemudian membentuk “kultur diskriminatif” terhadap warga Tionghoa. Dengan kata lain, kultur dan watak diskriminatif (sebagian) masyarakat terhadap Tionghoa itu bukan sesuatu yang “natural” melainkan pada dasarnya terbentuk karena adanya mentalitas, watak dan spirit struktur politik dan kekuasaan yang diskriminatif dan oppressive.
***
Oleh karena itu, ke depan dibutuhkan kebijakan, sikap, gerakan dan tindakan politik dan budaya yang konkret untuk menghapus segala macam diskriminasi terhadap Tionghoa. Jelasnya, untuk menciptakan iklim yang egaliter, diperlukan dua strategi gerakan: perubahan struktural dan perubahan kultural.
Perubahan struktural mencakup kebijakan politik yang adil dan egaliter, memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada warga Tionghoa menyangkut hak-hak politik dan hak-hak sipil (civil rights) mereka sebagai warga negara Indonesia. Dalam konteks ini, maka peraturan-peraturan diskriminatif harus segera dihapus termasuk Badan Koordinasi Masalah China yang digunakan pemerintah untuk mengontrol kegiatan etnis Tionghoa. Pemerintah jika ingin berkomitmen untuk memberantas praktek diskriminasi maka harus diwujudkan dalam tindakan nyata: menegakkan hukum, menangkap para calo, makelar dan oknum pejabat nakal serta konsisten dalam menjalankan produk undang-undang dan peraturan.
Perubahan struktural ini harus diiringi dengan perubahan kultural, yakni dengan terus-menerus menebarkan ide/gagasan dan wacana-wacana persamaan (equality), egalitarianism, keadilan (justice/fairness) dan anti diskriminasi terhadap Tionghoa kepada masyarakat, melalui sarana-sarana publik yang tersedia seperti media massa, pers, dan forum-forum publik lain. Termasuk dalam “tindakan budaya” ini adalah dengan menciptakan ruang-ruang publik dan aktifitas-aktifitas sosial yang melibatkan warga Tionghoa dengan warga lainnya. Tujuannya tidak lain agar tercipta semangat kebersamaan dan mutual-understanding (kesalingpemahaman). Sebab tidak jarang konflik dan kekerasan terjadi/bermula karena problem “misunderstanding” seperti pernah disinggung James Gilligan dalam Preventing Violence. Dari sini lambat laun (diharapkan) akan tercipta suatu kultur yang sehat dan demokratis yang dilandasi semangat kebersamaan, solidaritas dan persamaan sebagai warga negara. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan pra-syarat berupa keterbukaan (openness) dan kemauan baik (willingness) untuk hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dan adil baik dari pihak warga Tionghoa maupun lainnya.
Masalah ini tidaklah gampang karena adanya hambatan-hambatan psikologis dan prejudice dari kedua belah pihak. Dari pihak Tionghoa ada beban psikologis, misalnya, kekhawatiran kalau “diperas” jika berhubungan dengan non-Tionghoa, karena itu mereka lebih suka bersikap “eksklusif” dan hanya menjalin hubungan/komunikasi dengan sesama Tionghoa saja. Sementara dari pihak non-Tionghoa (saya menghindari kata “pribumi” dan “non-pribumi” karena sangat political bias) ada keengganan kalau berkumpul dengan Tionghoa akan “diakali”. Image bahwa Tionghoa itu “wong licik” sangat kental dalam masyarakat. Menghilangkan asumsi-asumsi dan prejudice semacam itu memang tidak mudah. Tetapi sadarkah kita bahwa kecurigaan hanyalah akan melahirkan dendam kesumat yang berkepanjangan.