Kata “ateisme” sudah lama disalahpahami, wabil khusus oleh umat beragama sebagai “paham/aliran anti Tuhan”. Saya tidak tahu persis sejak kapan penyimpangan makna itu terjadi dan siapa yang menyebarkannya (lebih tepatnya, mempropagandakannya). Tetapi yang jelas, ateisme ini tidak hanya dicaci di dunia Timur tapi juga dimaki di Barat. Hampir setiap agama memandang sinis yang namanya ateisme. Ateisme juga pernah dipakai sebagai propaganda politik untuk menghancurkan komunisme dari muka bumi. Di negeri ini, penghancuran komunisme juga diembel-embeli dengan ateisme.

Komunis adalah ateis! Ini tentu sangat naif, ironi dan konyol. Karena sesungguhnya tidak ada hubungannya antara komunisme dan ateisme sebagai sebuah aliran atau mazhab pemikiran. Di sinilah pentingnya pemikiran kembali (rethinking) atau pembacaan ulang atas “ateisme.” Hal ini bukan sekedar untuk “membersihkan” kata itu dari “oknum” yang tidak bertanggung jawab tetapi lebih pada untuk menempatkan ateisme dalam diskursus yang proporsional dalam bentangan sejarah pemikiran manusia.

Jika kita melacak genealogi ateisme, kata ini sesungguhnya merujuk pada makna semacam perlawanan teologis kaum aktifis-intelektual di Eropa atas rumusan keagamaan (teologi) Gereja yang mapan, elitis dan asosial. Jadi kaum ateis bukanlah kelompok yang menentang atau anti Tuhan—seperti dipersepsikan banyak orang—melainkan kelompok yang melawan rumusan ketuhanan yang dilakukan para teolog dan agamawan. Kenapa mereka melawan? Sebab rumusan ketuhanan yang dilakukan para teolog & agamawan mengandung banyak bias dan distorsi.

Tuhan, oleh para teolog klasik, dirumuskan (tepatnya, diimaginasikan) sebagai “oknum” yang hanya pro laki-laki (dengan begitu anti perempuan), anti-humanistik, manja, pasif, fanatik, gemar pujian sehingga harus diagungkan dan disembah setiap saat. Lebih jauh, nama Tuhan hanya dipakai untuk memberi berkat, pertaubatan spiritual, khotbah-khotbah, pengampunan dosa, doa-doa rohani dan ritus-ritus lain. Tuhan hanya dibayangkan bertempat di Gereja (dalam konteks Islam masjid, sinagog Yahudi dan lain-lain) yang agung yang tidak peduli dengan penderitaan manusia. Dalam konteks inilah, Friedrich Nietszche—salah satu mentor ateisme—memproklamirkan: “Tuhan telah mati!”. Yang dimaksud Nietszche tentu bukan Tuhan yang di langit (itupun kalau Tuhan memang ada disana) tetapi Tuhan yang ada dalam benak para teolog dan agamawan yang tidak lagi bernafas.

Rumusan atau gambaran Tuhan yang demikian tentu saja ditolak oleh kaum aktifis-intelektual. Bagi kelompok terakhir ini, Tuhan (dirumuskan) sebagai “oknum” (zat) yang aktif-progresif, humanis-populis, tidak bias gender dan tentu saja pluralis (baca, tidak memihak pada agama apapun). Tuhan adalah dasar bagi spirit untuk membebaskan manusia dari tirani dan praktek ketidakadilan. Meminjam istilah John Shelby Spong, seorang teolog modern dan mantan Bishop Katolik yang dipecat dari gereja di New Jersey, USA—Tuhan adalah “the ultimate source of life, the ultimate of love and the basis of being”.

Jadi jelaslah bahwa ateisme sesungguhnya bukanlah paham pemikiran yang anti Tuhan (dengan begitu kaum ateis bukanlah kelompok yang anti-Tuhan) melainkan paham atau aliran pemikiran yang anti terhadap teisme. Teisme itu beda dengan Tuhan (kata ini sengaja saya pakai karena relatif lebih netral). Teisme adalah ciptaan manusia sementara Tuhan jauh melampaui batas-batas konsepsi, ide dan definisi. Hakikat Tuhan tidak dapat ditangkap dengan kata-kata (termasuk melalui ungkapan “Firman Tuhan” sekalipun!). Tuhan dalam pengertian ini adalah simbol dari “ke-Segala Maha-an” yang tidak bisa ditangkap oleh kemiskinan bahasa manusia. Sementara teisme adalah rumusan ketuhanan hasil bikinan para teolog. Atau persepsi teolog tentang Tuhan. Karena itu, Fuerbach—yang juga mentor ateisme—mengatakan dengan tegas: theology is anthropology! Dengan demikian, orang yang menolak teisme tidak mesti dia menolak Tuhan!

Seorang ateis bisa saja menolak Allah Tritunggal (Tuhan Kristen), Allah SWT (Tuhan Islam), YHWH (Tuhan Yahudi), Tao (Tuhan Taoisme) dan nama-nama Tuhan lain akan tetapi tidak menolak eksistensi Tuhan sebagai penguasa jagat raya ini. Dengan kata lain, Tuhan yang ditentang oleh pengikut ateisme adalah “tuhan budaya” (kata tuhan sengaja saya pakai t kecil—ini adalah istilah John Cobb, seorang teolog Kristen modern), yakni Tuhan hasil konstruksi pemikiran kebudayaan manusia dalam penggal sejarah tertentu.

Eric Form menyebutnya dengan “tuhan sejarah”. Allah SWT, YHWH, Allah Tritunggal, Tao, Brahman, El, Eloi, Elohim, Sang Hyang Widi Wasa, Puang Matua (dalam tradisi masyarakat Sulawesi Utara) dan seterusnya adalah “tuhan-tuhan sejarah” atau “tuhan-tuhan budaya” hasil konstruksi pemikiran manusia. Lalu siapa Tuhan yang sesungguhnya itu? Cobb menyebutnya “Natural God” atau “Eternal One” menurut istilah John Hick yang tidak bisa dikonstruksikan oleh siapapun (nabi sekalipun!) karena wataknya yang “Maha Misterius”. Karena “Tuhan budaya” jelas tidak bisa dijadikan sebagai basis atau dasar melakukan pemaksaan teologis (misalnya dengan islamisasi atau kristenisasi) kepada orang lain. Konsep atau wacana tentang Tuhan tidak akan pernah selesai. Upaya pencarian Tuhan akan terus terjadi dalam bentangan sejarah manusia. Inilah yang oleh Whitehead disebut “teologi proses”, yakni teologi yang sedang menjadi atau terus berproses sepanjang sejarah manusia—never ending!. 

Berkaitan dengan ilustrasi di atas, menarik memperhatikan pernyataan Ibnul Arabi, seorang tokoh sufi-pluralis muslim kontroversial abad pertengahan. Dalam satu risalahnya, ia menulis: “…barang siapa mengaku ia tahu Allah bergaul dengan dirinya, dan ia tidak mencabut (pengakuan itu), maka itu tanda ia tidak tahu apa-apa. Tidak ada yang tahu Allah kecuali Allah sendiri. Maka, waspadalah sebab yang sadar di antara kamu tentulah tidak seperti yang alpa…”. Apa yang ditulis Ibnul Arabi tadi begitu jelas dan gamblang. Memang tidak ada seorangpun di dunia ini, orang suci sekalipun yang mampu menangkap “Realitas Ilahi”.

Rumusan ketuhanan yang dilakukan para teolog hanyalah meraba-raba tentang “gambar” Tuhan. Para teolog (yang sering mengklaim paling tahu tentang Tuhan itu) hanyalah berusaha menggambar Tuhan. Karena yang digambar adalah Tuhan, zat yang maha misterius dan maha gaib (supernatural being), maka hasilnyapun seperti lukisan abstrak yang penuh coretan dan goresan sana-sini. Tidak utuh. Karena itu tidak pada tempatnya jika hasil lukisan para teolog kemudian diklaim sebagai “Tuhan yang otentik”. Pengklaiman atas “Tuhan Otentik” adalah bagian dari kesombongan antropologis manusia. Dari sinilah perlunya rumusan teologi yang inklusif-pluralistik yang memungkinkan untuk mewadahi atau menampung pemahaman ketuhanan dari kelompok lain, tidak hanya masyarakat modern dan bahkan dari masyarakat suku sekalipun yang sering diledek dengan “primitif”. 

Ingatlah bahwa hasil penelitian antropologi keagamaan menunjukkan tidak ada atau tidak pernah ditemukan adanya “masyarakat primitif” di manapun tanpa sistem kepercayaan teologis. Totemisme Australia, fetisisme Afrika, sistem mana di Papua, demonology Babilonia, gagasan metafisis mengenai jiwa dalam agama lokal India dan lain-lain semuanya memberi kontribusi pada pengetahuan jernih mengenai rasa keberagamaan yang intrinsik. Apakah realitas keberagamaan masyarakat ini harus diabaikan begitu saja? Maka dari itu, sudah saatnya kita menghentikan klaim-klaim teologis yang justru berdampak pada kehancuran peradaban manusia seperti yang kita saksikan selama ini. Sebaliknya, kita harus terus-menerus memupuk dan mengembangkan wawasan teologi yang menghargai pluralitas keberagamaan dan kemajemukan konsep ketuhanan. Rumusan atau wawasan teologi yang melampaui teisme tetapi tidak melampaui Tuhan (beyond theism non beyond God). Atau meminjam istilah Spong, wawasan “Allah non-teistik”.  

Saya rasa ateisme sebagai mazhab pemikiran merupakan awal mula yang sangat baik, setidaknya sebagai “critical discourse” atas konsep dan wawasan teologi umat beragama selama ini yang cenderung eksklusif dan close-minded. Ke depan, saya rasa umat beragama membutuhkan rumusan teologi yang melampaui batas-batas primordialisme agama untuk menciptakan kehidupan keberagamaan yang pluralistik dan transformatif. Disinilah makna kehadiran ateisme.[SQ]

Artikulli paraprakPahami Konsep Jihad Secara Konstruktif
Artikulli tjetërAntara Saya dan Nusron Wahid
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

3 KOMENTAR

  1. Adakah Tuhan dalam Buddhisme?
    Disebut apa Tuhan menurut Buddhisme?

    Begitu sulit menerima perbedaan dalam menyikapi KEBENARAN, melihat dalam satu kacamata yang sama, sehingga timbul kesalahpahaman. Setelah membaca uraian diatas, memudahkan kita untuk memahami mengapa Buddhisme tidak membahas tuhan, namun bukan berarti Buddhisme tidak mengenal TUHAN.

    Ah, untuk memahami NIRVANA saja begitu sulit, kita hanya diberikan petunjuk berupa KHIASAN.
    Namun, bukan berarti NIRVANA itu tidak ada.
    NIRVANA hanya dapat dimengerti sepenuhnya oleh IA yang telah merealisasikan KEBENARAN SEJATI.

    KHIASAN hanya alat untuk menyelami apa kebenaran itu, “seperti Jari menunjuk Bulan” (BHIKSU HUI NENG) Dan itulah mengapa REALISASI KEBENARAN sangatlah penting, sebab KEBENARAN SEJATI MELAMPAUI KATA KATA (BHIKSU BODHI DHARMA).

Komentar ditutup.