Sekitar sepuluh tahun lalu, waktu saya masih kuliah di Virginia, Amerika Serikat, sebelum melanjutkan studi doktoral di Boston University, telponku berdering. Ternyata senior dan sahabat karibku Mas Ulil Abshar Abdalla yang nelpon dari Boston. Maklum, waktu itu beliau juga masih kuliah di Boston University.

“To, Nusron Wahid sedang di Washington, D.C., ada kunjungan DPR RI, minta ketemuan katanya. Kamu bisa nggak nyusul ke D.C. [sebutan Washington, D.C.]?”, tanya Mas Ulil.

Dibandingkan dengan Boston, Virginia memang lebih dekat dengan Washington, D.C.

“Mas, Nusron suruh telpon saja kapan ada waktu luang, saya akan susul dia ke D.C.” Selang bererapa lama, Nusron telpon minta ketemuan. Maka, berangkatlah saya ke D.C. numpang mobil teman kuliah yang juga seorang diplomat dari sebuah negara di Afrika.

Sesampainya di D.C., maka ketemulah saya dengan Mas Nusron di sebuah hotel. Kami juga tidur sekamar dengan dia (ngirit kali ye he he). Selama di D.C., kami ngobrol ngalur-ngidul tentang banyak hal dari mulai persoalan politik kebangsaan, hubungan antar-agama, sampai masalah dunia pendidikan dan kaderisasi putra-putri bangsa Indonesia.

Seperti biasa, kalau ngomong gaya bicaranya ceplas-ceplos, menggebu-gebu dan meledak-ledak. Matanya “pelolak-pelolok” seperti melotot tapi sebetulnya bukan melotot karena memang begitu kalau dia ngomong he he. Nada bicaraku juga begitu, kalau “otak sedang panas”, jangan salah, saya bisa bersuara menggelegar berkilo-kilo he he. Tidak kalah sama Bung Karno he he. Kalau Mas Nusron cuma melotot, saya bisa melempar kursi he he. Tapi kalau sedang adem ya saya termasuk orang terlucu di dunia. Thukul Arwana lewat lah he he

Meski jarang ketemu karena masalah jarak, kami sering berkomunikasi secara virtual. Saya dan Mas Nusron memiliki latar belakang yang kurang lebih sama: NU, pesantren, PMII. Kami juga sama-sama aktivis mahasiswa dan bekas demonstran “nomer wahid” yang dulu ikut terlibat penggulingan rezim Orde Baru. Soal demonstrasi ini, jangan tanya deh, karena dulu saya adalah “komandan lapangan” setiap aksi demo. Rizieq Shihab lewat deh kalau soal demo ini he he.

Bedanya antara saya dan Mas Nusron adalah saya meniti karir sebagai penulis-akademisi, sedangkan Mas Nusron sebagai politisi dan juga pengusaha. Bedanya lagi, meskipun pendapat kami berdua sering klop tentang pentingnya pluralisme dan kebangsaan tapi “pendapatan” kami jauh berbeda: saya “wong kere,” dia “raja kaya” he he.

Tapi yang jelas Mas Nusron bagiku adalah sosok yang sangat peduli dengan nilai-nilai pluralisme, toleransi, kebangsaan dan nasionalisme. Nusron juga politisi muda yang berani bersikap zig-zag tidak lurus-linier kayak gantar. Di saat dulu banyak orang alergi dengan Golkar, Nusron malah masuk di dalamnya. Di saat Golkar dulu tidak mau dukung Jokowi, Nusron malah bela Jokowi mati-matian. Sekarang, di saat banyak orang anti Ahok, dia juga sama: berani pasang badan untuk membela Ahok. Jujur saja tidak banyak para politisi di negeri ini yang “berkarakter” dan berani mengambil resiko seperti Nusron. Kebanyakan ya “cari jalan selamat”.

Nusron juga tokoh muda-kaya yang sangat dermawan yang telah menolong banyak anak-anak Indonesia yang pintar tapi dari keluarga fakir-miskin untuk kemudian disekolahkan dan dicarikan beasiswa kemana-mana di dalam dan luar negeri. Ia mendirikan sejumlah lembaga untuk mengurusi soal beasiswa ini. Mas Nusron juga mendirikan sekolah kejuruan di kampungnya di Kudus, Jawa Tengah, (namanya SMK Assaidiyah) khusus untuk para pelajar dari keluarga tidak mampu supaya bisa sekolah dan memperoleh masa depan yang cerah kelak.

Ini hanya sekedar berbagi cerita saja. Anda boleh setuju atau tidak setuju. Silakan saja. Yang penting heppiiii.

Artikulli paraprakMakna Ateisme Bagi Umat Beragama
Artikulli tjetërAnti Arab Gundulmu
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini