Kekuasaan memang menggiurkan. Kekuasaan bisa mengubah seorang yang idealis murni menjadi oportunis tulen. Kekuasaan bisa merontokkan citra orang yang selama ini dikenal sufi-saleh-alim kemudian tiba-tiba dipandang sebagai pecundang tengik, begundal brengsek yang hanya mementingkan perutnya sendiri. Di saat itulah, orang tidak lagi menghargai dan menghormati kealiman ulama. Kalaupun ada orang yang tetap menunduk atau mencium tangan, maknanya tidak lagi “penghormatan kealiman” tetapi “pengharapan kekuasaan”.
Itulah yang terjadi saat ini di NU khususnya. Sejak Gus Dur menjadi presiden, gelora para kiai daerah untuk memperebutkan kekuasaan begitu menggebu. Mereka berlomba-lomba untuk tampil dalam kekuasaan sebagai anggota DPR/D, bupati/walikota, camat atau mungkin lurah/kades. Bahkan ada seorang kiai yang ketua NU cabang, gagal “bertanding” di kabupaten tempat dia tinggal kemudian hijrah ke kabupaten lain untuk ikut kembali memperebutkan jabatan bupati, meskipun pada akhirnya gagal juga. Sungguh, saya kasihan kepada kiai jenis ini. Sebab kiai yang selama ini dikenal alim, saleh, mampu menjaga muru’ah (image, citra diri, nama baik, harga diri) tiba-tiba diumpat di mana-mana yang justru dari orang-orang yang dulu mengaguminya. “Kharisma tradisional” (ini istilah antropologi) yang begitu kuat pada diri seorang kiai mendadak pudar, lumer hanya karena kekuasaan. Mereka tidak lagi dihormati masyarakat, petuah-petuahnya tidak lagi digubris bahkan ditertawakan.
Kiai Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU yang sekarang ini menjadi calon wakil presiden Megawati juga tidak lepas dari hujatan publik NU, wabil khusus simpatisan Gus Dur. Kiai Hasyim dianggap anggota NATO alias No Action Talk Only karena sikapnya yang plin-plan, plintat-plintut, tidak istiqamah. Stigmatisasi itu wajar saja karena Kiai Hasyim, dulu, dikenal sebagai “penjaga Khittah NU” yang gigih berkampanye bahwa NU adalah organisasi keagamaan yang tidak terikat dengan salah satu partai politik, PKB sekalipun—sebuah statemen yang oleh politisi PKB dianggap sebuah penggembosan. Mungkin, seandainya beliau tidak menerima lamaran cawapres Megawati atau siapa saja, namanya tetap harum, wibawa atau kharismanya sebagai seorang kiai saleh tetap terjaga dengan baik di mata pengikutnya. Beliau tidak lagi dituduh sebagai “pelacur lembaga” atau “penghamba kekuasaan” atau “pengkhianat Khittah NU”—sebuah tuduhan yang mungkin saja keliru.
Fenomena Kiai Hasyim dan kiai-kiai lain yang mempunyai syahwat politik tinggi untuk duduk dalam kekuasaan sebetulnya tidaklah salah, haram. Itu adalah fenomena yang wajar dan absah. Dalam bentangan sejarah keislaman, juga terdapat banyak kasus para ulama yang menduduki posisi penting dalam kekuasaan. Bahkan Nabi Muhammad sendiri selain sebagai pemuka agama, bukankah beliau juga pemimpin politik? Kita juga tahu, Walisongo sebagai salah satu agen penyebaran Islam di Jawa di samping sebagai panotogomo (baca, tokoh agama) juga penguasa politik, minimal penasehat keraton. Meski begitu, citra mereka tetap harum di mata publik muslim. “Wibawa tradisional” mereka tidak lumer bahkan sebaliknya, cenderung meningkat karena tidak sedikit umat Islam yang memitoskannya. Lalu apa yang salah dengan Kiai Hasyim dan kiai-kiai lain sehingga “kharisma tradisional” mereka luntur gara-gara kekuasaan?
Saya melihat fenomena ini tidak lepas dari pengaruh politik Orde Baru. Kita tahu, selama 32 tahun peran kiai NU dipinggirkan dari arena kontestasi politik. Peran mereka tidak lebih hanya sebagai pembaca do’a atau pengumpul suara saat Pemilu berlangsung. Proses peminggiran ini merupakan bagian dari program pemerintah Orde Baru untuk menghilangkan kekuatan Orde Lama. Karena NU menjadi “bagian” dari Orde Lama, maka mereka pun menuai getahnya. Meskipun sebetulnya NU sudah berusaha untuk “menebus dosa” dengan melakukan Khittah 1926 yang salah satu butir terpentingnya adalah “penerimaan azas tunggal Pancasila” tetapi tetap saja tidak membuat hati pemerintah Orde Baru bergeming. Di sinilah saya menilai Khittah NU bukan dalam pengertian “lari dari politik” atau “apriori terhadap kekuasaan” sebagaimana selama ini dipahami sebagian warga NU melainkan sebuah kompromi politik untuk mendapatkan kekuasaan (kembali). Meskipun gagal.
Fakta politik yang getir ini menyebabkan para kiai mengambil “jalan lain” yakni sebagai kekuatan kultural masyarakat. Para kiai pada saat itu, di bawah lokomotif KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tampil sebagai pilar kekuatan civil society yang cukup signifikan melalui “strategi kultural” yang dipropagandakannya sebagai pengimbang “strategi struktural” yang dikampanyekan Amin Rais. Mereka kemudian menyusun definisi mengenai politik (siyasah). Saya masih ingat, suatu saat KH MA Sahal Mahfudh pernah mengatakan, “Siyasah (politik) tidak hanya terbatas pada yang bersifat struktural dan formal apalagi yang bersifat konstitusional saja, akan tetapi lebih dari itu, politik mencakup otoritas kultural”. Dalam perspektif inilah, maka pemimpin tidak hanya mereka yang memegang jabatan formal struktural dalam kepolitikan/kekuasaan melainkan juga mereka yang memegang “kekuasaan kultural”. Dengan begitu, kedudukan seorang presiden, gubernur, bupati/walikota, camat sampai lurah/kepala desa adalah sama dengan pemimpin agama (ulama/kiai, pendeta, pastor dll), kepala adat, kepala suku dan sebagainya. Perbedaannya hanyalah sebatas “fungsional” belaka. Saya menduga, definisi ini tidak lepas dari setting kepolitikan praktis yang memang tidak menguntungkan NU pada waktu itu.
Bahkan dalam pandangan Kiai Sahal, pemimpin kultural mempunyai fungsi yang strategis dan kedudukan yang lebih tinggi ketimbang pemimpin struktural karena fungsinya sebagai kekuatan untuk mendinamisir masyarakat, memberikan pendidikan politik tentang hak dan kewajiban seorang warga negara di “akar rumput” (grass root). Pada gilirannya, jika masyarakat bawah kuat secara politik, maka infrastruktur menjadi kuat. Dan apabila infrastruktur menguat, suprastruktur juga turut menguat. Bangunan politik demikian didasarkan pada kaedah ushul fiqih klasik yang sering dikutip para kiai NU, “Tasharruf al-imam ala ra’iyatihi manuthun bi al-maslakhah” (baca, kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat).
Pada saat itu juga lahir fiqih sosial yang sebetulnya dalam batas tertentu bermakna “fiqih perlawanan” terhadap langgam kekuasaan Orde Baru yang represif. Dan kiai secara otomatis menjadi simbol perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan sekaligus simbol perjuangan wong cilik. Lambat laun, image kiai kemudian identik dan diidentikkan dengan area kultural (cultural sphere) bukan lagi kekuasaan struktural. Maka, begitu arus politik nasional berubah dan mengantarkan sang ikon pejuang kultural, Gus Dur, menjadi presiden, lanskap kepolitikan NU juga berubah. Terjadilah “gempa politik” yang cukup serius di tubuh NU. Sebagian menganggap kekuasaan yang dulu pernah direngkuhnya harus direbut kembali. Sementara arus lain masih bersikukuh pada pandangan bahwa perjuangan kultural jauh lebih penting untuk menumbuhkan demokrasi dan mewujudkan civil society ketimbang melalui jalur struktural yang belum tentu maslahat dan berdaya guna buat masyarakat.
Sebagai “jalan tengah” dari dua arus yang sama-sama ekstrem ini maka saya berpendapat perlunya “revitalisasi” fungsi kiai. Saya sendiri lebih cenderung berpikiran bahwa kiai harus ditempatkan “sesuai maqam-nya” yakni, istilah Kiai Sahal, sebagai pemimpin kultural yang berfungsi sebagai pengimbang kekuasaan (countervailing power) dan penjaga moral bangsa. Kiai harus “kembali ke barak”. Biarlah urusan politik kekuasaan diurusi oleh kalangan politisi dan profesional NU. Bukankah “pemimpin kultural” tidak lebih mulia ketimbang “pemimpin struktural”? Dengan ini diharapkan kharisma tradisional kiai tidak lumer, wibawa mereka tetap terjaga baik dan yang lebih penting lagi petuah-petuah mereka akan dijalani dengan penuh ta’zim oleh umat Islam.