Komunitas Cina atau Tionghoa sudah mendarat di kepulauan yang kini bernama Indonesia sejak berabad-abad silam, jauh sebelum kedatangan para kolonialis Eropa maupun para pengelana dari kawasan Arab, khususnya Yaman. Banyak dari mereka yang kemudian kawin dengan penduduk setempat.
Mereka juga ikut berkontribusi membentuk atau menciptakan tradisi dan kebudayaan lokal di Nusantara sehingga terbentuk semacam Sino-Indonesian culture. Di Pulau Jawa khususnya, seperti pernah saya tulis dalam buku Arus Cina-Islam-Jawa (2003), juga terbentuk Sino-Javanese Muslim culture yang membentang dari Banten sampai Surabaya lantaran kontribusi masyarakat Muslim Cina dalam penyebaran Islam atau sebagai dampak dari perjumpaan dinamis dan saling memperkaya antara komunitas Cina dan masyarakat Jawa.
Dengan kata lain, komunitas Cina turut berperan sebagai “co-creator” aneka tradisi dan kebudayaan di Indonesia seperti makanan, minuman, pakaian, kesenian, obat-obatanan dan mekanisme pengobatan, sistem pelayaran, dlsb.
Menariknya, atau ironisnya, meskipun komunitas Cina sudah lama “bersimbiosis” dan menjadi bagian integral dari kebudayaan Nusantara, tetapi kehadiran mereka belum sepenuhnya diterima oleh sebagian masyarakat di negeri ini. Sentimen anti-Cina masih cukup kuat dimana-mana. Ada yang mengekspresikan sentimen itu dengan terbuka di publik (baik publik “dunia nyata” maupun “dunia maya” seperti medsos).
Ada pula yang melampiaskannya secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi, misalnya dengan menggunakan bahasa-bahasa simbol tertentu atau menggunjing mereka di “belakang panggung”. Kata “aseng” yang merupakan sebutan peyoratif-sarkastik untuk Cina yang kini sedang ramai adalah bagian dari “bahasa simbol” sekaligus ekspresi dari sentimen anti-Cina tadi.
Bukti belum punahnya sentimen anti-Cina ini adalah mudahnya masyarakat bawah untuk diprovokasi, digiring, dan disulut oleh sejumlah kelompok dan “oknum” yang memiliki kepentingan politik-ekonomi untuk melakukan tindakan pelecehan dan kekerasan terhadap warga Cina. Kesenjangan sosial-ekonomi, persaingan politik, atau kompetisi dagang sering menjadi akar di balik kasus-kasus rasisme dan kekerasan anti-Cina seperti terjadi di Medan, Solo dan kota-kota lain.
Meski begitu, peru dicatat, bukan berarti dimana-mana selalu terjadi perseteruan antara penduduk lokal dan komunitas Cina. Di Maluku, saya melihat relasi warga Cina dengan warga setempat terjalin cukup baik dan harmonis dalam bingkai simbiosis mutualisme. Demikian pula di Cirebon (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), dan sejumlah kota di Kalimantan Barat.
***
Meskipun hubungan Cina-warga lokal tidak selalu buruk, bukan berarti tidak ada konflik dan ketegangan. Jika konflik dan ketegangan ini tidak disikapi dengan bijak dan tidak dikelola dengan baik dan benar, maka berpotensi menjadi kekerasan komunal seperti terjadi di Medan dan lainnya. Kita juga masih ingat tragedi Mei 1998 yang memilukan itu. Kala itu, banyak warga Cina dan propertinya yang menjadi korban: dijarah, dibakar, dibunuh, diperkosa. Akibat kerusuhan ini, banyak warga Cina yang kabur ke Luar Negeri atau daerah lain di Indonesia yang cukup aman.
Sepanjang tatanan sosial-politik dan hukum masih rapuh dan ekonomi masih lemah, maka ancaman terhadap warga Cina masih terus berlanjut di negeri ini. Sepanjang ideologi-ideologi keagamaan intoleran masih berkembang, maka praktek rasisme terhadap Cina tidak akan berhenti. Sepanjang Pancasila yang menjunjung tinggi pluralitas dan kebangsaan itu belum dihayati dan diamalkan secara tulus oleh masyarakat, maka komunitas Cina akan tetap menjadi “target operasi” para elit yang korup, serakah dan arogan serta massa yang kalap, kerdil dan intoleran.
Saya sendiri menilai kekerasan anti-Cina dewasa ini hanyalah “buah” dari politik diskriminasi dan segregasi sosial-politik yang diterapkan rezim pemerintah selama ini, khususnya sejak kolonial Belanda dan puncaknya pada masa Orde Baru (Orba) ketika orang-orang Cina hanya diposisikan sebagai sapi (perah), kambing (hitam) dan kelinci (percobaan).
Penting untuk diingat bahwa tragedi Medan atau Jakarta bukanlah awal dari kekerasan anti-Cina di Indonesia. Sudah puluhan kali sentimen anti-Cina meletus dalam bentuk kekerasan di negeri ini. Misalnya, pada saat Perang Jawa (1825–1830), kemudian pada waktu kerusuhan di Solo pada awal abad ke-20, yang kemudian terulang kembali pada 1998. Pada 1916, kerusuhan anti-Cina juga meledak di Kudus seperti ditulis Tan Boen Kim dalam buku klasiknya, Peroesoehan di Koedoes (1918).
Setelah bangsa ini merdeka, tepatnya pada masa Orde Lama (Orla), juga terjadi lagi kekerasan terhadap warga Cina, yaitu pada tahun 1946–1948 dan 1963. Pada masa Orba, warga Cina mengalami puncak penderitaan. Sejak mereka dituding berada di balik layar PKI (Partai Komunis Indonesia), kampanye dan pengganyangan anti-Cina terus dilakukan secara sistematis. Hingga kini, sejumlah kelompok masih mengaitkan antara Cina dan komunisme, meskipun banyak di antara mereka yang anti-komunis.
Kampanye anti-Cina ini tidak hanya dalam pengertian fisik saja tetapi juga dalam bentuk pemusnahan segala hal yang berbau Cina termasuk kebudayaan dan tradisi agamanya. Ini adalah bagian dari ironi dan sejarah gelap bangsa Indonesia.
Kekerasan anti-Cina terbesar terjadi pada tahun 1740 yang dikenal dengan Chineezenmoord (“Pembantaian orang-orang Cina”) di Batavia (kini Jakarta). Pada saat itu, lebih dari 10.000 nyawa orang Cina melayang. Banyak sejarawan menduga otak dari genosida ini adalah VOC karena Cina dianggap sebagai pesaing strategis dalam bidang perekonomian.
Cina waktu itu memang menguasai hampir semua sektor perdagangan. Para syahbandar (penguasa pelabuhan) banyak dikontrol dan dikuasai Cina. Mereka juga banyak yang menduduki jabatan sebagai adipati dan elit kerajaan di Jawa. Jan Risconi telah menguraikan cukup baik peristiwa 1740 ini dalam disertasinya Sja’ir Kompeni Welanda Berperang dengan Tjina (1935).
Setelah peristiwa 1740 itu, VOC mengeluarkan sebuah keputusan yang disebut passenstelsel, yaitu keharusan bagi setiap warga Cina untuk mempunyai surat jalan khusus (semacam paspor) apabila hendak bepergian ke luar distrik tempat mereka tinggal. Dengan adanya surat jalan ini, VOC dapat mengawasi aktivitas sosial warga Cina, mencegah percampuran budaya (untuk memelihara perbedaan ala rasisme), dan mencegah interaksi sosial-politik-ekonomi komunitas Cina dengan penduduk lain.
Selain passenstelsel, VOC juga mengeluarkan peraturan yang disebut wijkenstelsel. Peraturan ini melarang orang Cina untuk tinggal di tengah kota dan mengharuskan mereka untuk membangun suatu ghetto khusus sebagai tempat tinggal, yang kelak dikenal dengan nama “Pecinan”. Tujuan peraturan ini jelas untuk mengisolasi dan memutus kontak Cina dengan penduduk lain.
***
Politik segregasi model kolonial Belanda ini kelak difotokopi oleh pemerintah Orba. Berbagai macam peraturan diskriminatif, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Surat Keputusan Kabinet, dibuat agar jurang perbedaan antara Cina dan etnis lain tetap terpelihara dengan baik. Setidaknya ada sekitar 21 peraturan perundang-undangan yang rasis-diskriminatif diterapkan oleh Orba terhadap etnis Cina.
Bahkan dulu dibuat satu badan intelijen khusus yang bertugas untuk mengawasi “masalah Cina” yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC). Anehnya, perlakuan diskriminatif ini tidak berlaku bagi “etnis asing” lain seperti Arab. Lebih ironis lagi, berbagai keputusan diskriminatif itu diambil bersamaan ketika rezim Orba memakai banyak pengusaha Cina dalam program pembangunan ekonominya. Rupanya, sentimen rasis dipelihara oleh Orba untuk mengontrol kepatuhan Cina terhadapnya.
Meskipun kini Orba sudah “almarhum”, tetapi bukan berarti warga Cina bisa hidup bebas dan dijamin hak-hak politik mereka sebagai warga negara. Memang ada yang menggembirakan di “era reformasi” ini. Beberapa peraturan diskriminatif seperti Inpres No. 14 tahun 1967 yang pada masa Orba dijadikan tameng pembersihan segala hal yang berbau Cina sudah dicabut pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk kemudian diganti dengan Keputusan Presiden No. 6/2000 yang lebih manusiawi.
Setigma “pribumi” dan “non-pribumi” yang menyesatkan itu juga sudah dihapus seiring dengan terbitnya Inpres No. 26 Tahun 1998. Dalam Inpres tersebut juga diinstruksikan agar semua pejabat pemerintah memberikan layanan yang sama kepada setiap warga negara serta menginstruksikan dilakukan peninjauan kembali dan penyelesaian seluruh produk hukum perundang-undangan, kebijakan, program dan kegiatan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan.
Kebijakan tersebut termasuk dalam bidang pemberian layanan dalam perizinan usaha, keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, kesehatan dan kesempatan kerja lainnya. Selain itu, Presiden Habibie dulu juga mengeluarkan Inpres No. 4 tahun 1999 yang menghapuskan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dan izin pelajaran bahasa Mandarin.
Walaupun di tingkat yuridis-formal, politik segregasi-diskriminatif semacam ini tidak lagi mendapat tempat, akan tetapi di tingkat praktis, kultur, dan mental masyarakat (termasuk kelompok elit), hal ini tidak sepenuhnya pupus. Di sana-sini kita masih menyaksikan sejumlah perlakuan diskriminatif terhadap warga Cina, baik dilakukan secara terbuka maupun terselubung, menyangkut hak-hak sipil dan hak-hak sosial budaya dan politik mereka. Inpres yang mencabut SBKRI juga diabaikan.
Sebaliknya, sebagian “oknum” pejabat masih memberlakukan UU Kewarganegaraan No. 62/1958 (Lembaran Negara No. 113 tahun 1958) yang sangat terbuka untuk menjadi ladang pemerasan terhadap warga Cina. Watak atau mentalitas seperti inilah yang perlu “diruwat” dan “direformasi” atau “direvolusi” guna menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Ke depan, semua elemen masyarakat dan pemerintah harus menghentikan segala bentuk sentimen dan kekerasan—baik kekerasan fisik maupun kekerasan kultural—terhadap warga Cina (dan juga terhadap etnis lain di Indonesia). Semua pihak perlu memelihara kerukunan dan kebersamaan serta menjaga persaudaraan universal antar-manusia yang lintas etnis dan agama.
Ingatlah bahwa Indonesia dibangun tidak oleh—dan untuk—satu atau beberapa etnis saja melainkan oleh (dan untuk) semua etnis yang ada di seluruh penjuru Nusantara termasuk tentu saja Cina sebagai bagian integral dari bangsa ini karena memang banyak tokoh Cina yang berkontribusi positif bagi perjuangan dan kemerdekaan RI. Untuk menatap masa depan bangsa yang gemilang, kita perlu memantapkan spirit kebangsaan atau nasionalisme bagi kesejahteraan bersama.
Bagi masyarakat Cina khususnya, fenomena sentimen anti-Cina ini merupakan tantangan serius untuk membuktikan kadar kecintaan dan nasionalisme mereka, kemudian bersama-sama dengan etnis lain memperjuangkan republik ini agar kelak menjadi negara yang kuat secara ekonomi serta makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran sehingga diharapkan sentimen anti-Cina bisa pupus di kemudian hari.[]
Oleh Sumanto Al Qurtuby
Dosen Antropologi Budaya dan Kepala Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University serta telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016).