Jika Anda melamar langsung ke kampus yang dituju di negara-negara Barat atau melamar langsung beasiswa di negara lain, tantangannya tentu saja jauh lebih berat ketimbang Anda memperebutkan beasiswa di lembaga-lembaga donor di Indonesia, baik pemerintah maupun bukan.
Ibarat main bola, kalau memperebutkan beasiswa di Indonesia pesaing anda paling-paling cuma Persija, Persib, Persibaya, PSM, atau Persimak (maksudku “Persatuan Sepak Bola Indonesia nDemak” he he). Kalau di negara lain, pesaing anda bisa Barca, Real Madrid, Liverpool, Manchester United,dlsb.
Hal yang sama juga saya alami dulu waktu melamar studi doktoral di Boston University (BU). Jika di Indonesia, Toefl score Anda sudah cukup tinggi, peluang untuk mendapatkan beasiswa terbuka lebar. Tetapi jika Anda melamar langsung program doktoral di kampus-kampus Barat, masalahnya bukan semata-mata soal “Toefl”. Tapi lebih dari itu.
Di BU dulu, saat saya melamar, Toefl bahkan tidak dipakai. Yang dipakai adalah score tes GRE (Graduate Record Exam) yang jauh lebih rumit ketimbang Toefl yang sangat sederhana. Selain GRE, syarat penting lain adalah surat pernyataan berisi latar belakang dan alasan mengapa mau kuliah di BU, bukan di kampus lain. Pula, proposal singkat rencana topik disertasi, dan juga C.V. yang berisi tentang riwayat pendidikan dan publikasi akademik (bukan daftar kekayaan).
Di Amerika, untuk bisa melamar studi S3, anda tidak harus mempunyai ijazah S2. Yang wajib justru transkrip nilai S1. Kalau S2 sifatnya sunah. Tetapi jika mau mencantumkan transkrip nilai S2 juga tidak apa-apa. Saat saya melamar di BU, kuliah S2-ku di Virginia belum selesai. Jadi, saya memakai transkrip nilai S2 sementara plus transkrip nilai ijazah S2 di UKSW dan S1 di IAIN Semarang.
Saat saya membaca email Pak Bob yang bernada agak pesimistik kalau saya bisa mendapatkan beasiswa dari BU (simak email beliau di postinganku sebelumnya), saya memang lemes lunglai. Tetapi, saya tidak putus asa. Setelah membaca email dari Pak Bob, saya pun berinisiatif mengirim CV-ku ke beliau.
Dalam email saya katakan: “Pak Bob, berikut ini saya kirim CV singkatku. Silakan Pak Bob lihat dan review apakah CV-ku ini kira-kira layak dikompetisikan untuk mendapatkan beasiswa di BU.”
Tak lama setelah saya kirim email, Pak Bob membalas. “Mas Manto, CV Anda sangat meyakinkan. Jumlah publikasi Anda banyak sekali. Saya optimis, meskipun saya tidak berani menjamin bahwa Anda akan mendapat beasiswa, Anda layak untuk dipertarungkan dengan kandidat dari departemen lain untuk mendapatkan beasiswa dari BU. Ayo cepat siapkan berkas-berkas dan persyaratan administrasi pendaftaran di BU, saya dengan senang hati akan membantu dan mengawal berkas-berkas Anda.”
Email balasan Pak Bob itu seperti “cambuk” yang melecut semangatku untuk mendaftar kuliah doktoral di BU. Segera saya menyiapkan berkas-berkas pendaftaran. Pak Bob turut membantu mengarahkan dan merevisi “Surat Lamaran S3” yang saya buat supaya “meyakinkan” komite penerimaan mahasiswa. Saya juga secepat kilat mendaftar tes GRE di kota Lynchburg yang jauh sekali dari tempatku tinggal. Butuh waktu berjam-jam naik mobil. Saya gak peduli. Saya minta tolong teman kuliah untuk mengantarku kesana. Hujan deras bergemuruh mengiringi perjalanan pulang-pergi kami. Dini hari baru sampai rumah.
Setelah berkas-berkas terkumpul, saya pun kirimkan via pos ke BU. Beberapa hari kemudian, Pak Bob kirim email. “Mas Manto, berkas-berkas lamaran Anda sudah saya terima dan kami sudah diskusikan dengan anggota komite penerimaan mahasiswa baru bahwa Anda telah diterima sebagai mahasiswa doktoral di BU.
Tetapi belum ada beasiswanya. Kami sepakat untuk mengirim berkas-berkas lamaran Anda untuk mendapatkan Muslim Studies Fellowship dari BU.”
Menurut Pak Bob, Muslim Studies Fellowship disediakan oleh Institute for the Study of Muslim Societies and Civilization di Boston University. Dan setiap tahun, kata Pak Bob, lembaga ini memberi beasiswa kepada dua orang mahasiswa doktoral di BU. Waktu itu ketua lembaga ini adalah Professor Herbert Mason, seorang sarjana ahli Islam dan studi Sufisme sekaligus murid kesayangan Louis Massignon yang legendaris itu.
“Saya kira CV Mas Manto cocok dan layak untuk bersaing mendapatkan beasiswa Muslim Studies Fellowship. Kita lihat saja perkembangannya seperti apa”.
Meskipun Pak Bob optimis, realitasnya tidak semudah berpoligami di Indonesia he he. Saya harus jungkir-balik meyakinkan komite pemberi beasiwa, khususnya Professor Mason. Bagaimana kisah perjuangan saya bersama Pak Bob untuk meyakinkan komite beasiswa bahwa saya layak mendapatkan “Muslim Studies Fellowship”? Bersambung lagi ah capek ngetik he he