Di antara sekian “perburuan beasiswa” yang saya lakukan, yang paling mendebarkan adalah perjuangan mendapatkan beasiswa doktoral. Waktu itu, selepas menyelesaikan S2 di UKSW, saya sedang menyelesaikan studi masterku yang kedua (yang juga beasiswa dari sebuah lembaga di Amerika) di sebuah kota mini di Negara Bagian Virginia, AS.
Saat masih kuliah di Virginia itu, gairah untuk melanjutkan studi doktoral di Amerika begitu menggelora dan menggebu-gebu. Tapi bagaimana caranya? Kuliah doktoral di AS jelas sangat mahal dan sangat tidak mungkin bagi orang kere sepertiku bisa kuliah S3 di Paman Sam jika tanpa “beasiswa penuh”.
Saya pun mencoba mengumpulkan nyali untuk mengirim email ke beberapa professor di sejumlah kampus beken di AS dan mengutarakan minatku untuk studi doktoral sekaligus menanyakan kemungkinan mendapatkan beasiswa. Ada yang mencuekin, ada yang menjawab sambil lalu, ada pula yang cukup serius. Yang cukup serius menanggapi, antara lain, University of Virginia, Georgetown University, George Mason University, dan Boston University. Di antara empat kampus ini, yang paling serius menjalin komunikasi adalah Boston University (BU).
Di BU, yang saya kontak waktu itu adalah Professor Robert W. Hefner (Bob Hefner), salah satu Indonesianist kondang dan antropolog beken yang disertasinya dulu tentang masyarakat Tengger, Jawa Timur. Waktu itu, saya sendiri belum pernah bertemu Pak Bob (begitu saya biasa menyapanya). Beliau juga sama: belum pernah bertemu saya. Meski begitu, kami berdua sudah cukup familiar dengan tulisan masing-masing. Sepertinya Pak Bob cukup kaget saya email, cukup senang dan antusias mendengar saya berminat mau belajar antropologi di BU, sekaligus cukup cemas dan was-was bisa-tidaknya “memboyong” saya di BU.
Emang kenapa kok Pak Bob “cemas dan was-was segala”? Ya karena masalah beasiswa tadi dodol. Karena minimnya beasiswa inilah sehingga, menurut penuturannya, banyak kader hebat dari Indonesia yang ingin kuliah dan belajar dengannya di BU, tetapi selalu gagal maning, gagal maning.
Pak Bob menulis:
“Mas Manto, saya bisa usahakan Anda masuk di BU tetapi saya tidak berani menjamin apakah Anda akan mendapatkan beasiswa. Kompetisi untuk mendapatkan beasiswa doktoral di BU yang jumlahnya sangat terbatas sangat ‘brutal’ dan kompetitif sekali. Seorang professor seperti saya tidak memiliki pengaruh untuk mempengaruhi para dewan pengambil kebijakan / keputusan di kampus tentang siapa yang berhak dan layak untuk mendapatkan beasiswa. Semua tergantung dari kualitas akademik masing-masing pelamar dan sejauh mana berkas-berkas aplikan mampu meyakinan komite pemberi beasiswa itu.”
Membaca email Pak Bob itu, saya pun langsung lemes dedes seperti habis melihat “hantu komunis” he he. Sejenak saya urungkan niatku untuk kuliah S3 di AS.
Waktu itu saya pesimis. Mungkin orang kampung nggunung yang miskin seperti diriku memang tak pantas kuliah di kampus-kampus mentereng di AS.
Karena keterbatasan beasiswa itulah, maka setiap tahunnya Departemen Antropologi di BU hanya menerima sekitar 3-4 mahasiswa doktoral saja. Dan beasiswa itu bukan disediakan oleh Departmen Antropologi tetapi oleh sejumlah lembaga penyedia beasiswa di kampus. Untuk memperolehnya, para pelamar “harus bertarung” mengalahkan para kandidat pelamar beasiswa dari departemen-departemen lain.
Lalu, bagaimana kisah saya bisa meraih beasiswa S3 dan mengalahkan para pelamar lain dari BU? Kisah heroik perburuan mendapatkan beasiswa ini, saya lanjutkan di postingan berikutnya saja ya? Sabar dikit napa…?