Banser memang super! Yang saya maksud dengan “banser” disini bukan “ban serep” (ban cadangan) tapi Barisan Ansor Serbaguna. Dulu, pada pertengahan tahun 1930-an, Banser ini bernama Banoe (Barisan Nahdlatul Oelama) yang merupakan”sayap serbaguna” dari ANO (Ansor [u] Nahdlatul Oelama) yang dibentuk tahun 1934 yang kemudian berubah nama menjadi Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor). Selain ANO, dulu ada omas pemuda bernama Syubbanul Wathan atau “Pemuda Tanah Air” yang didirikan oleh “kiai patriotik” dan salah satu pendiri NU: KH Abdul Wahab Chasbullah (MbahWahab) pada tahun 1924.

Nama “Ansor” diambil dari sebutan para sahabat Nabi Muhammad dulu yang menemani beliau berhijrah atau bermigrasi dari Makah ke Madinah (dulu bernama Yatsrib) karena diancam dan dikejar-kejar para “begundal tengik” kafir Arab Quraisy Makah. Diharapkan dengan menyematkan nama “Ansor” ini, GP Ansor dan Banser ini bisa mengambil hikmah dari para sahabat Ansor di zaman Nabi Muhammad yang gigih membela dan melindungi nabi.

Dalam konteks kekinian, sosok nabi “menjelma” menjadi ulama atau kiai di lingkungan NU. Karena itu jangan heran kalau Banser ini berjibaku dan rela mati demi membela para kiai yang diserang oleh sejumlah pihak yang tidak suka atau benci dengan kiai. Seperti belakangan ini ada beberapa “pemuda-pemudi ingusan” yang menghina KH Mustafa Bisri (Gus Mus) maupun KH Maimun Zubair (Mbah Maimun—kapan-kapan saya mau menulis sosok kiai kharismatik ini) langsung didatangi oleh Banser ke rumah masing-masing dan ditemani menghadap atau sowan Gus Mus di Rembang dan Mbah Maimun di Sarang, Lasem.

Agar bisa melakukan pengawalan para kiai-ulama ini, Banser “dibekali” dengan berbagai ilmu bela diri, ilmu kanuragan dan “kesaktian” serta dasar-dasar kemiliteran (baris-berbaris, penghormatan bendera, dlsb). Selain Banser, ada lagi yang bernama Pagar Nusa. Yang ini adalah kelompok pecak silat + ilmu-ilmu kekebalan dan kesaktian yang juga dalam wadah NU. Selain berjibaku membela ulama, Banser juga dididik untuk berjibaku membela Tanah Air Indonesia tercinta dari ancaman serbuan para kelompok makar dan anti-nasionalisme.

Meskipun Banser ini sekilas seperti sosok-sosok yang “gagah perkasa” tetapi sebetulnya mereka ini adalah orang-orang yang “polos” dan humoris seperti umumnya karakter warga NU yang suka “mbanyol”. Banser ini juga gagah-perkasa kalau mengamankan para mubalig NU yang sedang ceramah di pengajian-pengajian. Cuma sayangnya, mungkin karena “kepolosannya” itu, Banser kadang-kadang tidak bisa membedakan antara penceramah/dai dan panitia. Dulu, waktu sering mengisi pengajian NU, para Banser bukannya mengawalku tetapi malah panitia yang dikawal karena mereka yang kebetulan berpakaian “ala kiai” dan duduk di mobil bagian tengah (sengaja saya minta duduk di tengah). Sementara saya kalau naik mobil, sukanya duduk di depan dan berpakaian ala kadarnya.

Maka, waktu mobil berhenti di area pengajian yang sudah ketat dikawal Banser, maka mereka pun menyusun pagar betis untuk mengawal dan membentengi para panitia yang dikiranya penceramah tadi sementara saya jalan sendirian he he. Banser memang super!

Artikulli paraprakBedakan Antara “Kafir” dan “Kristen”
Artikulli tjetërBabi, Ayam, dan Agama Semit (1)
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.