Hans Kung, Presiden Stiftung Weltethos (the Foundation for a Global Ethics), sebuah lembaga internasional yang bertujuan untuk membangun dialog antar agama dan perdamaian global, dalam salah satu karyanya Christianity and the World Religion (1986, 442) menulis: “the most fanatical and cruelest political struggles are those that have been colored, inspired, and legitimized by religion.” Mungkin Hans Kung terlalu berlebihan ketika merumuskan agama sebagai sumber malapetaka paling kejam dalam sejarah kemanusiaan. Rasisme, ethnocentrism, dan ideology adalah dua anak kandung zaman yang kita tahu juga menjadi faktor penting dalam proses penciptaan “sejarah kegelapan” yang menelan jutaan korban manusia.

Tetapi Hans Kung yang juga professor ecumenical theology di Universitas Tubingen, Jerman ini jelas tidak sedang berilusi ketika menyatakan agama sebagai penyebab utama dalam setiap aksi-aksi politik yang bengis. Kita harus akui secara jujur dan penuh penyesalan bahwa agama menjadi elemen penting dalam munculnya konflik-konflik kekerasan komunal di tingkat internasional dewasa ini mulai Irlandia Utara, Arab, Timur Tengah, Balkan, Sudan, Afghanistan, India, Bangladesh, sampai Indonesia.

Fakta “perang agama” ini belum termasuk countless data mengenai aksi-aksi vandalisme, terorisme, kerusuhan, penghinaan, pengrusakan, dan lain-lain seperti yang secara rutin dan istiqamah dilakukan oleh anggota Front Pembela Islam (FPI) dan kelompok agama sejenis. Juga data ini belum termasuk sejarah gelap “perang agama” yang terjadi dalam tradisi Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, dan agama-agama besar lain.

Ahli Islam dan Timur Tengah, Mark Juergensmeyer dalam salah satu karyanya, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence telah mendokumentasikan dengan baik data-data kerusuhan kontemporer yang diwarnai, diinspirasi, dan dilegitimasi oleh “agama-agama dunia,” untuk meminjam istilah Max Weber, mulai Islam, Protestan, Katolik, Yahudi, Buddha, Hindu, Sikh, dll.

Agama bisa menjadi mesin pembunuh dan pengrusak yang sadis, kata Juergensmeyer, karena ia memuat teks, ajaran, doktrin, slogan, jargon, simbol, adat-istiadat, dlsb yang mampu mengilhami, mendorong, dan menggerakkan para pelaku agama untuk melakukan tindakan kejahatan kemanusiaan yang kejam dan brutal, meskipun, ironisnya, para pelaku kriminalitas itu sendiri menganggapnya sebagai “perbuatan mulia” yang berpahala dengan ganjaran surga.

Kasus-kasus kekerasan berbasis agama yang dilakukan beberapa organisasi Islam militan-konservatif di Indonesia adalah salah satu contoh nyata bagaimana wacana, ajaran, dan simbol-simbol keagamaan (keislaman) telah “dieksploitasi” sedemikian rupa oleh para “oknum” Muslim untuk dijadikan sebagai “legitimasi teologis” guna menggerus dan melibas individu dan kelompok agama yang mereka anggap sesat, kafir, jahil, dlsb.

Kata kekerasan disini tidak hanya mengacu pada, meminjam istilah Johan Galtung, direct violence seperti kerusuhan, pengrusakan, pembakaran, dll sebagaimana dilakukan oleh FPI, FUI dan kelompok-kelompok “Islam pentungan” lain tetapi juga cultural violence berupa penghinaan, pelecehan, dan stigmatisasi menyesatkan lain yang menggunakan doktrin, diskursus, ajaran, teks, dan simbol-simbol keagamaan sebagai dasar legitimasi dan justifikasi. Dalam konteks ini, maka ormas seperti MUI sebetulnya juga telah melakukan “kekerasan agama” karena memproduksi fatwa-fatwa kebencian dan kesesatan yang dijadikan sebagai dasar kelompok “Islam Pentungan” untuk melakukan tindakan kekerasan fisik.

Selain memiliki “sisi buruk” atau “dimensi negatif” yang bisa mengispirasi lahirnya tindakan kejahatan dan kekerasan seperti yang saya paparkan di atas, agama juga memuat aspek-aspek baik dan positif yang bisa dijadikan sebagai “common ground” dan “fondasi teologis” untuk membangun hubungan antar dan intra agama yang lebih sehat, dinamis, berkualitas, dan manusiawi yang penuh dengan semangat toleransi dan pluralisme seperti yang dengan tepat dikemukakan Richard Solomon, presiden the United States Institute of Peace: ”while religion can and does contribute to violent conflict, it also can be powerful factor in the struggle for peace and reconciliation” (Smock, ed. 2002: viii).

Pernyataan ini sekedar untuk menegaskan watak “ambiguitas” sebuah agama atau apa yang oleh sejarawan Scott Appleby disebut “the ambivalence of the sacred.” Satu sisi agama bisa dijadikan sebagai sumber kekerasan, perang, kerusuhan, kebencian, permusuhan, pelecehan dlsb seperti dilakukan oleh kelompok “Islam Pentungan” dan kaum Muslim militan-konservatif lain tetapi pada saat yang sama ia bisa dijadikan sebagai medium untuk menggerakkan perdamaian, cinta-kasih, harmoni, keadilan, dan aksi-aksi kemanusiaan yang mulia sebagaimana disuarakan oleh kelompok Muslim moderat-progresif.

Agama bisa berperang sebagai “faktor pembelah” (divide factor) yang mengerikan seperti dalam beberapa kasus tragis dewasa ini yang terjadi di Palestine, Israel, Sudan, Kashmir, Irlandia Utara, Bosnia, Kosovo, Nigeria, dan masih banyak lagi, tetapi juga bisa berfungsi sebagai “elemen pemersatu” (unite element) yang powerful atas kelompok-kelompok agama yang terbelah dan tercerai-berai akibat perang dan kekerasan seperti yang dilakukan dengan tulus oleh Demond Tutu di Afrika Selatan, Mohandas Ghandi di India, Badsyah Khan di Pakistan, Abuna Elias Chacour di Israel dan Palestine, William Lowrey di Sudan, Roy Magee di Irlandia Utara, Father Sava Janjic di Kosovo, Imam Muhammad Ashafa di Nigeria, dlsb.

Agama bisa melahirkan tindakan kemanusiaan yang positif karena ia bisa menjadi “sumber makna” dan kebijakan (a source of meaning and wisdom). Agama menanamkan pada para pemeluknya apa yang oleh anthropolog Clifford Geertz disebut “vitalitas moral” yang hadir karena manusia (para pemeluk agama) yakin dan komitmen pada esensi “Realitas yang fundamental.”

Keyakinan pada “Realitas yang fundamental” inilah yang menjadikan agama bisa berfungsi sebagai “sumber makna” dan “oasis spiritual” bagi pemeluknya yang pada gilirannya mampu menjadi kekuatan penggerak aksi-aksi kemanusiaan dan solidaritas sosial yang berbudaya dan beradab. Selain itu, agama juga berisi ajaran, doktrin, teks, dan simbol-simbol yang positif dan mencerahkan yang bisa dijadikan sebagai “common values” dan basis teologis untuk membangun dialog peradaban antar kemanusiaan yang kondusif dan prospektif.

Ke depan, umat beragama khususnya kaum Muslim harus memperbanyak “amalan wirid” keislaman yang mencerahkan, mencerdaskan, dan menyejukkan ini. Islam yang agung ini hanya akan dihargai keagungannya oleh umat dan bangsa lain jika kaum Muslim mempraktekkan wajah keislaman yang dewasa, cerdas, ramah, santun, peaceful, dan demokratik. Perilaku umat Islam yang sangar, kasar, arogan, sinis, brutal, kejam, dan bengis seperti dipraktekkan golongan “Islam Pentungan” di Indonesia hanya akan memperburuk citra Islam. Alih-alih akan menegakkan Islam, citra agama “rahmatan lil alamin” ini justru melorot akibat perilaku-perilaku biadab golongan “Islam pentungan” ini.

Pekik takbir “Allahu Akbar” yang mereka kumandangkan dalam setiap aksi kekerasan adalah sebuah pemandangan paradoks dan ironi keagamaan sekaligus bentuk “pengkambinghitaman” terhadap Allah yang Maha Besar itu. Bagaimana tidak Allah Yang Maha Agung itu didengungkan oleh tangan-tangan kotor dan mulut-mulut kasar kaum “Islam Pentungan” untuk melakukan tindakan kejahatan kemanusiaan. Tindakan premanisme ini tentu bukan menambah apalagi meninggikan derajat Allah SWT tetapi justru sebaliknya: merosotkan dan bahkan menodai kebesaran Allah sendiri sebagai “Zat Maha Damai” (As-Salam).

Jika slogan mereka selama ini ingin membasmi kelompok keagamaan yang telah “menodai agama” dan “meresahkan masyarakat” maka semestinya mereka membasmi diri mereka sendiri yang telah jelas-jelas melakukan tindakan penodaan terhadap Islam sebagai agama damai dan meresahkan masyarakat dengan perilaku-perilaku konyol dan barbarian. Percayalah bahwa umat Islam ke depan tidak akan mampu mengarungi dunia yang semakin modern dan canggih jika para pemeluknya masih berwawasan dan berperilaku model “Islam Pentungan” ini. [SQ]

Artikulli paraprakSeksualitas dan Moralitas
Artikulli tjetërAa Gymn, Ahok dan Fir’aun
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini