Untuk sementara kita lupakan sejenak soal “ontran-ontran” Pilkada Jakarta yang bikin perut mules. Lagi-lagi Ahok, lagi-lagi Ahok. Bikin uhuk-uhuk. Hidup ini harus rileks, tidak perlu tegang terus, meskipun kita lahir di muka bumi ini sebagai “produk ketegangan” orang tua kita masing-masing he..he. Salah satu problem dari kelompok agama konservaif dan “garis keras” itu adalah tidak memiliki selera humor, jadinya marah-marah dan ngamukan melulu.
Untuk sementara mari kita bahas Bahasa Indonesia dan bahasa negara tetangga kita tercinta, “negeri Upin-Ipin” Malaysia. Saya bukan ahli bahasa (linguistik) meskipun dulu waktu sekolah di Boston University, saya pernah mengambil mata kuliah “Linguistic Anthropology” yang diampu oleh Bu Nancy Smith-Hefner yang, seperti suaminya yang menjadi pembimbing akademik dan mentorku Pak Robert (Bob) Hefner, juga spesialis tentang Indonesia.
Konon Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia itu akarnya sama: Bahasa Melayu yang pada zaman dahulu kala menjadi bahasa lingua franca di kepulauan Melayu-Indonesia atau Asia Tenggara. Teapi jujur saja, dalam perkembangannya saya sering bingung karena banyak tata-bahasa, istilah dan kosa kata yang beda dan unik antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu di Malaysia. Pada waktu ceramah di Pontianak, saya pernah semobil dengan seorang dosen dari Malaysia, dan dia mengajukan pertanyaan yang membuat saya bingung:
“Bapak mengajar di Saudi itu memohon atau dipohon?”
Pikirku waktu itu, “Lo mengajar kok ‘di pohon’, emang saya Tarzan aaauuwoooo?”
Untung saja ada teman yang langsung memberi klarifiasi kalua maksudnya adalah “melamar atau dilamar”.
Ada banyak contoh lain, misalnya:
Rumah sakit bersalin (“hospital korban lelaki”—hah, korban lelaki? Kurang ajar memang laki-laki nih)
Jalan-jalan (“makan angin”—lo, angin kok dimakan? Entar masuk angin terus keluar angin dong he..he.)
Gampang (“banci”—aduh bok, kuliah virtual-nya banci banget he he)
Kementerian Agama (“Kementerian Tak Berdosa”—ah siapa bilang tak berdosa wong banyak korupsi juga disini he he. Untung sekarang Menagnya Pak Lukman Hakim Saifudin yang “wokeh” sekali)
Angatan Darat (“laskar hentak-hentak bumi”—njeblos nanti buminya dihentak-hentak terus)
Pocong (“hantu bungkus”—lontong kali ye dibungkus he he)
Dokter ahli jiwa (“dokter gila”—ha ha ha “no comment”)
Purnawirawan militer (“pasukan tak berguna”—nah ini baru bener, memang tak berguna mereka kalau kerjaannya bikin ribut terus mengacaukan bangsa tapi kalau gak ya gak)
Kementerian Hukum dan HAM (“Kementerian tuduh-menuduh”—menteri kok urusannya tuduh-menuduh sih he he)
Toilet (“bilik merenung”—mari kita merenung di WC kita masing-masing hehe)
Ini hanya contoh, silakan ditambahi sendiri kalau punya stok kata. Buat teman-temanku yang dari Malaysia, tidak ada maksud apa-apa dari postingan ini selain untuk melepas ketegangan tadi biar tidak “sutris” hehe. Saya kira Anda juga merasakan hal yang sama “lucunya” dengan kite-kite disini: misalnya “dokter gila” kok dibilang “dokter ahli jiwa” he he. [SQ]