Apa sih sebetulnya perbedaan mendasar antara dukun dan dokter? Kenapa sejumlah kelompok agama, dalam Islam misalnya, menganggap haram dan musyrik (menyekutukan Tuhan) jika mendatangi dukun sementara oke-oke saja kepada dokter? Jika mempercayai dukun dianggap sebagai “menyekutukan Tuhan”, bukankah semestinya mempercayai dokter juga sama? Kenapa “menggantungkan hidup” kepada dokter dianggap halal, sedangkan “menggantungkan hidup” kepada dukun dianggap haram?

Lebih lanjut, kenapa ziarah ke sejumlah kuburan para wali dan orang-orang yang dianggap sakti guna minta “wasilah” atau sarana penyebuhan sebuah penyakit dipandang sebagai tindakan kafir-musyrik, sementara mendatangi rumah sakit atau klinik kesehatan dipandang normal-normal saja? Jika kuburan dituduh sebagai “sarang kemusyrikan”, rumah sakit mestinya juga sama. Maka, jika kuburan dimusnahkan demi “pemurnian ajaran Islam” dan ketuhanan, maka rumah sakit harusnya juga sama: ikut dilenyapkan karena banyak orang yang “menuhankan” dokter. Tapi kenapa malah kuburan atau makam “dikambinghitamkan” dan dihujat dimana-mana, sementara rumah sakit dan klinik-klinik kesehatan dibangun (dan dikomersialkan) dimana-mana.

Jika orang boleh percaya kepada dokter, kenapa mereka dilarang percaya kepada dukun? Apakah karena dukun dianggap “memuja setan” sementara dokter tidak? Saya kira tidak juga. Banyak para dukun kontemporer yang agamis dan saleh yang metode penyembuhannya memadukan unsur-unsur keagamaan dengan tradisi, kebudayaan, dan kebijaksanaan lokal. Bagaimana hukumnya jika seorang Muslim “menggantungkan hidup” kepada seorang dokter non-Muslim atau mungkin seorang dokter ateis atau agnostik? Atau pasien non-Muslim yang dirawat oleh seorang dokter Muslim?

Selanjutnya, kenapa mantra dan “jampa-jampi” (dalam bahasa lokal) sebagai sarana pengobatan yang dilakukan oleh seorang dukun dianggap sebagai haram, sementara “mantra dan jampa-jampi” dengan menggunakan teks-teks Bahasa Arab yang diambil dari sebuah kitab misalnya dipandang sebagai halal? Kenapa air, dupa, kembang dan aneka medium pengobatan tradisional dianggap haram, sementara sarana “obat-obatan modern” (pil, kapsul, jarum suntik, inpus, dlsb) dipandang oke-oke saja?

Kembali pada pertanyaan saya diatas: apa sejatinya perbedaan antara dukun dan dokter? Bukankah perbedaanya hanya terletak pada nama, cara atau metode pengobatan, dan alat-alat atau sarana penyebuhan saja, bukan pada “substansi pengobatan”?

Horace Miner pernah menulis sebuah artikel klasik (terbit tahun 1956 di “American Anthropologist”) yang masih populer hingga kini dalam studi Antropologi berjudul “Body Ritual Among the Nacirema”. Artikel ini “memparodikan” praktek pengobatan modern (ala Amerika kontemporer) dengan “pengobatan tradisional” kelompok /suku Nacirema di Amerika Utara yang sebetulnya adalah sama saja: sama-sama sebuah “ritual tubuh”. Jadi, saya tegaskan lagi, apa sebetulnya perbedaan substansial antara dukun (atau apapun namanya) dengan dokter (atau apapun namanya)? [SQ]

Artikulli paraprakAntara Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia
Artikulli tjetërAntara Koh Ahok dan Habib Rizieq
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini