Salah satu gejala, fenomena, dan pemandangan menarik, unik, sekaligus lucu dewasa ini adalah tentang perkembangan “Islam Arab” dan maraknya kaum Muslim “fans Arab” di Indonesia yang dibungkus dengan istilah atau slogan “nyunah Nabi” sementara masyarakat Arab sendiri bergerak “menuju Barat”.

Saya mengamati fenomena perkembangan perubahan ekonomi-sosial-budaya ini tidak hanya di kawasan Arab Teluk seperti Saudi, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Oman tetapi juga Yordania dan Lebanon.

 Globalisasi, modernisasi, teknologisasi, dan industrialisasi yang menyerbu kawasan ini sejak beberapa dekade lalu telah menimbulkan perubahan dramatis pada perilaku masyarakat dan perubahan sosial tadi.

Ada sejumlah indikator dan fakta yang bisa dipakai untuk mengukur ini. Misalnya tentang menjamurnya industri restoran makanan cepat saji ala Amrik (Pizza, McD dan sebagainya) yang mengeruk keuntungan trilyunan rupiah setiap tahunnya seperti pernah saya sebutkan sebelumnya.

“McDonaldisasi” telah mewabah di kawasan Arab dan masyarakat menyambutnya dengan riang-gembira. Tidak ada yang kampanye “boikot produk Barat” karena milik “orang-orang kapir” Kristen-Yahudi misalnya.

 Hanya segelintir ekstrimis sakit jiwa saja yang kadang melakukannya. Selebihnya, masyarakat Arab–tua-muda-anak, laki-laki-perempuan, bujang atau sudah berkeluarga–ramai-ramai rela mengantri “uyel-uyelan” di warung-warung fast foods ini.

Bukan hanya industri retoran fast foods saja yang mewabah, “industri kecantikan”, “industri pakaian”, “industri otomotif”, “industri telekomonikasi” dan industri-industri ala Barat lainnya juga ikut menjamur.

Saya sering bilang, dalam hal berpakaian misalnya, generasi muda lebih memilih “busana ala Barat” yang lebih simpel & kasual. Kaum perempuannya juga sama. Meskipun luarnya memakai abaya, di balik abaya itu mereka mengenakan jeans, kaos, training dlsb. Bagi masyarakat Arab, abaya hanya semacam “jaket” atau “bungkus luar” saja.

Hal lain yang menarik adalah perkembangan pesat Bahasa Inggris yang pelan-pelan menggerus eksistensi Bahasa Arab yang dianggap kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi.

Bahasa Inggris juga menjadi “bahasa elit” karena banyaknya industri2 besar dan trans-nasional selain sekolah-sekolah/kampus-kampus yang meniru model Barat. Bukan hanya itu, anak-anak & remaja juga menggemari Bahasa Inggris karena banyaknya game-game yang menggunakan “bahasa Londo” ini.

Kekhawatiran tentang “teknologi membunuh Bahasa Arab” ini direspons oleh Syaikha Moza, Kepala Qatar Foundation for Education, Science, and Community Development, dengan menggalang pembentukan “Forum Renaisans Bahasa Arab”…

Artikulli paraprakArab Kristen dan Injil Bahasa Arab
Artikulli tjetërArab Menjadi Barat, Indonesia Menjadi Arab (2)
Antropolog Budaya di King Fahd University, Direktur Nusantara Institute, Kontributor The Middle East Institute, Kolumnis Deutsche Welle, dan Senior Fellow di National University of Singapore.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini