Mau berjubah silakan, mau bercelana cingkrang silakan, mau berhijab silakan, mau berjenggot menjuntai juga silakan. Saya bukan anti jubah, anti hijab, anti celana cingkrang, anti jenggot dan lain sebagainya.
Kalau anti kolesterol emang ya. Bahkan mau merasa diri paling relijius, paling islami, paling nyunah, paling benar, paling lurus dlsb juga silakan saja. Merasa diri paling berhak sebagai penghuni surga kelak di alam akhirat & pemilik para bidadari yang aduhai juga tidak apa-apa, silakan saja.
Kemudian beranggapan atau berkeyakinan bahwa semua orang yang berbeda agama, beda paham dan aliran serta beda praktek keagamaan dengan anda akan nyasar nyemplung ke neraka juga sah-sah saja.
Kenapa boleh-boleh saja ? Karena semua itu adalah bagian dari “pluralisme sipil” yang harus dirawat dan dijaga pluralitas atau kemajemukannya. Orang yang melarang orang lain untuk berjenggot, berjubah, berhijab atau bercelana cingkrang itu misalnya sama derajatnya dengan orang yang melarang orang lain untuk berkebaya, berjeans, berkonde, berblankon, bersarung, dan seterusnya.
Teks-teks keagamaan itu tidak cukup hanya dibaca secara “leterlek” atau “harfiyah” saja. Perlu memahami sejarah & ilmu-ulmu lain agar tidak kehilangan konteks dan “pesan moral” dari teks-teks itu. Tanpa perangkat ini, maka umat beragama akan menjadi seperti robot yang kaku-regeng, bukan seperti manusia yang lentur dengan aneka ragam budaya dan perubahan zaman.
Yang saya kritik adalah tindakan pemaksaan dan kekerasan terhadap orang lain, kelompok lain, agama lain dan seterusnya hanya karena mereka beda agama, beda aliran, beda pakaian, beda ukuran celana, beda jenggot dan seterusnya. Jadi “pluralisme sipil” ok tapi kekerasan tidak boleh mendapatkan tempat di bumi pertiwi…