Ibarat sebuah drama, Jakarta adalah “panggung sosial” dimana banyak orang dari politisi sampai tokoh agama, dari “wong gede” sampai “wong kere”, berperan aktif sebagai aktor atau aktris “panggung sandiwara” itu.
Demo akbar kemarin juga bagian dari “pentas drama” ini. Coba Anda perhatikan dengan seksama, ada sejumlah “tokoh nasional” pada unjug gigi teriak-teriak kesana-kemari, menghujat sana-sini, merasa dirinya sebagai orang paling bersih dan agamis tak berdosa secuilpun laksana Malaikat yang suci murni tak bernoda.
Sementara itu para cheerleaders dan penggembira bertingkah polah yang tidak kalah lucunya dengan para “penggede” mereka: teriak-teriak, marah-marah, foto-foto, merusak tanaman hijau, membuang sampah makanan-minuman sembarangan, mengotori pemandangan kota mereka sendiri yang sudah susah-payah ditata-rapi dan dibersihkan.
Ada pula yang membawa poster-poster dengan tulisan menggelikan, misalnya, “Yang memilih Ahok berarti takut kepada Ahok, padahal hanya Tuhan yang wajib ditakuti.” Orang milih Ahok (dengan suka rela) kok dikira takut kepada Ahok itu dari mana nalarnya coba? Pantesan saja, onta-ontaku pada tertawa cekikikan membaca poster-poster yang unyu-unyu ini.
Pula, dengan angkuhnya mereka mengepung jalan raya. Mungkin mereka pikir jalan raya Jakarta adalah milik engkong mereka. Tak kalah heroiknya, mereka ramai-ramai menghujat sistem demokrasi tanpa menyadari bahwa mereka bisa protes dan berdemo itu karena demokrasi.
Mereka bisa bebas berakting mengekspresikan diri menghujat kesana-kemari seenak wudelnya sendiri itu juga lantaran jasa demokrasi. Coba saja mereka berdemo besar-besaran di jalan raya di negara-negara yang sistem politik-pemerintahannya tidak menganut sistem demokrasi liberal seperti di Arab Saudi, China, atau Indonesia di zaman Pak Harto. Mereka sudah pasti “didor” atau dibui. Mikir…
Ada pula yang rajin istiqamah teriak-teriak anti-Cina padahal memakai aneka produk buatan Cina. Ada lagi para tokoh Muslim yang gemar menghujat Kristen-Yahudi-Amerika tetapi hobi koleksi mobil-mobil mewah buatan Amerika, gemar makan-minum di restauran-restauran cepat saji “made in” Amerika, serta menggunakan berbagai teknologi modern dan media sosial Internet yang diciptakan oleh Yahudi dan kaum ateis. Betul-betul sampah masyarakat.
Mereka berdemo konon karena marah kepada Ahok yang telah menghina Islam dan Al-Qur’an. Padahal masalahnya sudah jelas: bukan Ahok yang salah tetapi “oknum” pengedit video itu yang salah yang sengaja menyebar-luaskan video editannya itu di medsos guna menjatuhkan reputasi Ahok (konon si “oknum” ini sudah mengaui kesalahannya).
Lagi pula Ahok sudah minta maaf secara publik, kenapa masih marah-marah dendam dan mengsumpah-serapahi Ahok? Katanya kalian mau “nyunah rasul” dan mencontoh akhlak Nabi Muhammad, tetapi kenapa tidak kalian praktekkan? Bukankah dulu pada waktu Fathu Makkah, Nabi Muhammad memaafkan semua musuh-musuh yang membenci dan menganiayanya? Jika bukan ahklak Nabi Muhammad yang kalian contoh, lalu akhlak siapakah gerangan yang kalian tiru? Hayo?
Kalian begitu heroik memburu orang-orang yang menistakan agama Islam. Padahal justru kalian sendirilah sebetulnya yang telah merendahkan dan menghinakan agama Islam dengan perkataan, sikap, dan tindakanmu yang udik, norak, konyol, dan memalukan.
Jabal Dhahran, Arabia